Sekjen PBB Sebut Masa Depan Suriah setelah Kelompok Pembebasan Gulingkan Assad
Sekjen PBB sebut Suriah alami peristiwa yang menentukan keberlangsungannya.
REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Suriah kini menghadapi peluang bersejarah untuk mengejar masa depan yang damai dan stabil, ujar Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Minggu (8/12).
“Setelah 14 tahun perang brutal dan jatuhnya rezim diktator, hari ini rakyat Suriah dapat memanfaatkan kesempatan bersejarah untuk membangun masa depan yang stabil dan damai,” kata Guterres.
“Masa depan Suriah adalah hak rakyat Suriah untuk menentukan, dan Utusan Khusus saya akan bekerja sama dengan mereka untuk mewujudkannya,” tegasnya.
Ia menekankan pentingnya upaya besar untuk memastikan transisi politik yang tertib menuju pembaruan institusi. “Pada masa sensitif ini, penting untuk menjaga ketenangan, menghindari kekerasan, dan melindungi hak-hak seluruh rakyat Suriah tanpa diskriminasi,” tambah Guterres.
Guterres menegaskan pula bahwa keberadaan tempat dan personel diplomatik serta konsuler harus dihormati dalam segala situasi sesuai dengan hukum internasional.
Ke depan, ia menyoroti perlunya dukungan internasional untuk memastikan bahwa transisi politik Suriah bersifat inklusif, menyeluruh, dan selaras dengan aspirasi sah rakyatnya. “Kedaulatan, kesatuan, kemerdekaan, dan integritas teritorial Suriah harus dipulihkan,” ujarnya.
PBB juga tetap berkomitmen untuk menghormati kenangan mereka yang telah menderita selama konflik berlangsung. Guterres menegaskan dedikasi organisasi tersebut untuk membantu rakyat Suriah membangun negara yang menjunjung keadilan, kebebasan, rekonsiliasi, dan kesejahteraan bagi semua. “Inilah jalur menuju perdamaian yang berkelanjutan di Suriah.”
Setelah periode relatif tenang, bentrokan antara pasukan rezim Assad dan kelompok anti-rezim kembali pecah pada 27 November di daerah pedesaan barat Aleppo, kota besar di utara Suriah.
Selama lebih dari 10 hari, pasukan oposisi melancarkan serangan kilat, merebut kota-kota penting, dan pada Minggu berhasil menguasai ibu kota, Damaskus. Kemajuan cepat tersebut, didukung oleh unit militer yang membelot, menyebabkan runtuhnya rezim Assad setelah 13 tahun perang saudara.
Detik detik kejatuhan
Pertempuran antara pasukan rezim dengan kelompok oposisi kembali pecah pada 27 November lalu yang dimulai di kawasan pedesaan di barat Aleppo, sebuah kota besar di Suriah utara. Pada 30 November, kelompok oposisi berhasil merebut pusat kota Aleppo dan menguasai keseluruhan Provinsi Idlib.
Mereka pun merebut pusat kota Hama dari rezim pada 5 Desember. Kelompok oposisi turut merebut sejumlah permukiman di titik-titik strategis di provinsi Homs yang menjadi gerbang masuk ke Damaskus, sehingga semakin memacu upaya mereka maju ke ibu kota Suriah.
Pada Jumat (6/12), pasukan oposisi merebut kawasan Daraa di Suriah selatan dekat perbatasan dengan Yordania. Mereka terus merebut kendali di Provinsi Suwayda di Suriah selatan pada Sabtu, sementara kelompok oposisi setempat turut merebut kendali di Quneitra pada hari yang sama.
Kelompok oposisi anti-rezim Assad memasuki Damaskus dari sisi selatan ibu kota Suriah itu pada Sabtu. Pasukan militer pemerintah kemudian menarik diri dari kompleks kementerian pertahanan, kementerian dalam negeri, dan bandara internasional Damaskus.
Kota tersebut pun takluk pada pasukan oposisi pada Minggu, usai pasukan rezim Al-Assad kehilangan kendali atas keseluruhan kota. Sementara itu, Pasukan Nasional Suriah (SNA), kelompok oposisi lainnya, meluncurkan operasi militer melawan kelompok Kurdi PKK/YPG, yang oleh Turki dianggap sebagai organisasi teroris, pada 1 Desember, dan merebut kota Tel Rifaat.
Sikap Rusia
Kemlu Rusia, melalui pernyataan tertulisnya, menyatakan, kepergian Assad adalah hasil dari negosiasi antara rezimnya dengan kelompok-kelompok yang terlibat dalam perlawanan bersenjata.
Rusia juga mengeklaim bahwa Assad mengharapkan supaya perpindahan kekuasaan dapat berlangsung secara damai.
Sembari menyatakan keprihatinan atas situasi di Suriah, Rusia menyerukan semua pihak untuk menghindari kekerasan dan menyelesaikan semua isu melalui upaya politis.
Sementara itu, Kemlu Rusia mengatakan bahwa pihaknya telah berkomunikasi dengan semua kelompok oposisi di Suriah dan mendorong mereka untuk menghormati pandangan semua kelompok etnis dan agama di negara tersebut.
Rusia turut menyatakan dukungan untuk menjalankan proses politik yang inklusif sebagaimana amanat Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 2254 yang disahkan pada 2015.
Pangkalan militer Rusia di Suriah tetap berada dalam kondisi siaga, meski tak ada ancaman langsung yang dihadapi personel militer tersebut, ucap Kemlu Rusia.
Rusia juga akan mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk memastikan keselamatan warga negara Rusia yang menetap di Suriah.