Sedekah, Kemunafikan, dan Kehancuran Agama
Bersedekah menjadi tuntunan dalam beragama.
Oleh : KH Abu Hasan Mubarok*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sangat jelas dan gamblang, Allah swt telah menyebut dan menjelaskan orang-orang yang termasuk para pendusta agama. Surat al Ma’un merupakan surat yang menjelaskan hal ini secara rinci dan gamblang.
Imam al Baghawi (w. 516 H) dalam Ma’alim Tanzil menyebutkan sebuah Riwayat dari Muqatil, bahwa surat ini turun berkaitan dengan peristiwa yagn dialami oleh Ash bin Wail as suhami, ada pula yang menyebutkan berkaitan dengan peristiwa al Walid bin al Mughirah. Sementara Imam Atha menuturkan dari Abdullah bin Abbas bahwa surat ini berkaitan dengan perilaku orang-orang munafiq.
Ada empat ciri orang yang disebut dalam surat al ma’un yang disifati para pendusta agama. Keempat ciri tersebut adalah: 1) orang yang suka menghardik anak yatim, 2) orang yang tidak suka mengkampanyekan bantuan makanan untuk orang-orang miskin, 3) orang yang lalai dalam sholatnya dan juga suka pamer dalam ibadah, 4) orang yang enggan bersedekah dengan barang yang baik.
Pada ayat ke-5 dan ke-6, secara jelas disebuatkan orang yang solat. Padahal solat adalah salah satu bentuk ibadah yang paling sacral dalam Islam. Bahkan menempati posisi rukun Islam ke-2. Rasulullah saw sendiri menggambarkan sholat sebagai tiang agama.
Namun, kenapa pondasi yang sangat penting ini masuk ke dalam kategori para pendusta agama? Diibaratkan agama adalah rumah, dan tiangnya adalah solat.
Kita semua memahami bahwa rumah tanpa tiang akan roboh. Tapi siapa yang bisa menyangka, bahwa robohnya rumah itu disebabkan karena tiang penyangganya. Apa sebab? Karena tiang penyangganya “jabuk” atau menggunakan kayu rapuh.
Kerapuhan tiang ini disebabkan karena kurang seimbang dalam takaran semen, pasir, dan air, bisa jadi karena kurang pas pengadukannya, namun keburu dicorkan. Atau tiang kayu yang keropos di dalamnya, sementara tampilan di luar sangat elok dan gagah.
Ternyata yang menyebabkan kerapuhan, kerontokan, tidak kuatnya adukan itu karena dua faktor, yaitu pertama, faktor kelalaian dan kedua, faktor suka pamer.
Kelalaian itu diakibatkan karena menyepelekan proses dan prosedur dalam pembuatan. Menganggap bahwa tahapan-tahapan yang harusnya dilakukan, selalu diabaikan. Akibatnya kurang matang, namun sudah disantap.
Sementara, suka pamer disebabkan karena lemahnya hati dan ketundukan terhadap urusan duniawi. Sehingga amalan ibadah pun akhirnya dijadikan ajang untuk mencari keuntungan pribadi atau golongan, dan dirinya melupakan bahwa dalam hal sholat, janji kita adalah sesungguhnya solatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanya untuk Allah semata.
Hal yang sama dalam hal besedekah. Bersedekah adalah tuntutan dalam agama, bersedekah merupakan bentuk ketaatan kita kepada Allah swt. Bersedekah merupakan bukti bahwa kita menjalani ajaran agama. Namun siapa yang menyangka, justru dengan bersedekah kita menghancurkan agama kita sendiri. Kok bisa?
Zaman digital menuntut interaksi di alam maya lebih intens dibanding di alam nyata. Orang lebih suka membuat konten-konten digital agar bisa berinteraksi dengan manusia lebih banyak.
Di era sekarang ini, jualan konten lebih mudah, meriah dan cepat meraup keuntungan yang banyak. Oleh karenanya setiap aktifitas manusia akan dijadikan konten digital, dengan harapan dapat meraih keuntungan. Keuntungan itu bisa berupa materi ataupun non materi. Tergantung pada niatnya.
Fenomena bersedekah dengan cara pura-pura memberikan sesuatu kepada orang lain, atau membuat jebakan dengan uang yang seolah-olah miliki orang yang ditanya, padahal uang itu ada miliknya. Bisa juga dalam hal, pengujian kejujuran seseorang secara disengaja, namun dengan cara mempublikasikan di media. Apa niat ingin memberi? Ataukah ada niatan lain? Semuanya menjadi misteri. Semoga tidak menjadi sedekah penghancur agama.
Menurut penjelasan Imam al Baghawi dalam tafsirnya, dengan disertai lima pendapat ulama bahwa ayat ke-5 merupakan sifat-sifat orang munafiq. Sementara menurut Qatadah bahwa orang yang lalai itu adalah orang yang tidak mempedulikan apakah dia solat atau tidak solat. Jadi yang menjadi fokusnya adalah konten sedekahnya, bukan apakah sedekahnya diterima atau tidak.
Pendapat ketiga menyebutkan bahwa orang yang hancur agamanya adalah ketika beribadah dia tidak mengharapkan pahala apabila ia mengamalkan suatu ibadah, dan tidak pula hawatir atau takut akan siksa bila ia meninggalkan ibadah itu.
Imam Mujahid menilai bahwa orang yang lalai itu adalah orang yang mengambil sikap meremehkan terhadap suatu amalan ibadah. Sementara Imam al Hasan menilai orang yang hancur agamanya adalah karena dalam beribadah ia bertujuan pada riya (dipertontonkan), dan apabila meninggalkan amalan ibadah tersebut, ia tidak ada rasa penyesalan. Wallahu a’lam
*Ketua Umum MUI Penajam Paser Utara