Pengamat: Suriah Dikhawatirkan Bakal Jadi 'Libya Jilid Dua'
Rezim Assad kini runtuh usai 50 tahun menguasai Suriah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masa depan Suriah pasca-tumbangnya rezim Assad masih menimbulkan pertanyaan. Menurut pakar ilmu hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Dina Sulaeman, dalam beberapa tahun terakhir pemerintahan presiden Bashar al-Assad secara umum mampu menjaga stabilitas nasional.
Dina mengaku pernah mengunjungi beberapa kota besar di Suriah dalam kurun tahun 2022-2023 lalu. Menurutnya, situasi umumnya baik-baik saja di sana.
"Kelompok-kelompok milisi bersenjata memang masih ada di Idlib, dan juga sel-sel ISIS tersebar di pinggiran-pinggiran kota. Namun, secara umum situasinya terkendali saat itu," ujar Dina saat dihubungi Republika, Senin (9/12/2024).
Jatuhnya Damaskus ke pihak keompok oposisi dan hengkangnya Bashar al-Assad ke luar negeri prakis mengubah situasi. Dina mengatakan, pelbagai pemberitaan melaporkan bahwa kekacauan (chaos) terjadi di banyak kota.
Para personel dari kelompok-kelompok oposisi bersenjata berpawai di jalan. Bahkan, sebut Dina, penjarahan toko milik warga juga terjadi di beberapa titik.
"Jual beli senjata sekarang menjadi bebas. Orang-orang sekarang ketakutan akhirnya membeli senjata. Ini enggak aneh kalau terjadi chaos," ucap Dina.
Ketiadaan otoritas (law and order) dari pemerintah pusat berpotensi menjadikan masa depan Suriah kian tak pasti. Dina mengatakan, dirinya khawatir bila Suriah akan menjadi seperti Libya pasca-runtuhnya kekuasaan Muammar Gaddafi.
Pada 2011 lalu, aliansi militer negara-negara Barat yang dipunggawai Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris, menyerbu Tripoli untuk menggulingkan Gaddafi dari tampuk kekuasaan. Hasilnya, lanjut Dina, kini Libya memiliki taraf perekonomian dan sosial yang lebih buruk daripada dahulu ketika masih dipimpin Gaddafi.
"Dahulu Libya adalah negara paling makmur se-Afrika. Kaya raya luar biasa. Namun, begitu tumbang pemimpinnya (Gaddafi), yang terjadi adalah chaos. Saya khawatirnya di Suriah juga hal itu yang akan terjadi," ujar Dina.
Selain itu, ia juga mengkhawatirkan bahwa Suriah akan jatuh pada ekstremisme. Dalam wawancara dengan media baru-baru ini, Hayat Tahrir al-Sham (HTS) sebagai kubu yang memimpin pengambilalihan Damaskus dari rezim al-Assad telah menegaskan komitmennya untuk menghormati hak semua orang.
Namun, menurut Dina, pernyataan pemimpin HTS masih perlu pembuktian lebih lanjut. Pasalnya, Taliban ketika pada akhirnya berhasil menguasai Afghanistan pun menjanjikan kebijakan-kebijakan yang moderat, semisal pendidikan untuk kaum perempuan.
"Tapi nggak lama, sekarang balik lagi seperti dulu. Perempuan dipersulit untuk sekolah dan lain-lain. Ekstremitas agama muncul lagi di Afghanistan. Jadi, apakah betul nanti ketika HTS berkuasa pasti enggak ekstrem lagi, seperti yang dijanjikan?" tukas dia.