Masa Depan Pemberantasan Korupsi Saat IPK Indonesia dalam Tren Penurunan
Skor IPK Indonesia versi Transparency International menurun 5 tahun terakhir.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono
Tidak ada kabar yang bikin gembira soal pemberantasan korupsi di Indonesia selama lima tahun belakangan. Pengusutan hukum para pelaku korupsi memang terlihat masif dilakukan oleh lembaga-lembaga penegak hukum, dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung), pun Polri. Mulai dari penyelidikan, penyidikan, sampai pada penghakiman, dan penghukuman badan oleh pengadilan.
Namun semuanya itu terbukti tak menghasilkan sistem yang membuat Indonesia benar-benar menjadi negara yang terbebas dari hama korup. Buktinya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tak bergerak positif. Skor IPK Indonesia versi Transparency International menurun, dan stagnan dari 40 ke 34 skala 100 sepanjang 2019-2024.
Skor tersebut menjerat Indonesia tetap berada di zona negara-negara yang dilabel korup di seluruh dunia di peringkat 109 dari 118. Di ASEAN, masalah pemberantasan korupsi ini, membuat Indonesia tak bisa lebih baik ketimbang Timor Leste, Vietnam, Thailand, Malaysia, apalagi Singapura. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengungkapkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia menurun dalam skala 5 dari skor 3,92 pada 2023 menjadi 3,85 pada 2024.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada awal-awal 2024 pernah merilis sejumlah faktor penyebab penurunan, dan stagnasi IPK Indonesia. Dalam catatannya ICW mengatakan, sejumlah persoalan yang menjadi sebab Indonesia tak maju-maju dalam persepsi korupsi.
Pertama, absennya pemerintahan sebelumnya dalam upaya pembenahan sistem hukum untuk memperkuat pemberantasan korupsi. Alih-alih menjadi pemimpin dalam pembenahan sistem hukum di Indonesia, rezim berkuasa dalam lima tahun terakhir justeru sibuk turut campur menjadikan politik sebagai instrumen pelemahan terhadap lembaga antikorupsi seperti KPK.
“Padahal selama ini pemerintah memiliki setumpuk tunggukan legislasi nasional yang diyakini dapat menyokong agenda-agenda pemberantasan korupsi. Seperti mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal, hingga revisi terhadap UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang sesuai dengan norma-norma konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC),” demikian menurut ICW seperti dikutip Republika, Ahad (8/12/2024).
Pemimpin pemerintahan selama ini, pun menurut ICW seperti melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang belakangan mengarah pada pelemahan-pelemahan terhadap lembaga independen antikorupsi seperti KPK. Padahal mengacu pada Pasal 3 UU KPK 19/2019 menempatkan posisi presiden sebagai pemimpin, atau atasan administratif bagi KPK.
Posisi tersebut mengharuskan presiden mengambil sikap tegas atas setiap upaya-upaya dari dalam, maupun dari luar yang mengarah pada aksi-aksi pelemahan, dan pehilangan peran KPK sebagai lembaga pemimpin utama pemberantasan korupsi. “Akan tetapi hal tersebut tidak dikerjakan. Akibatnya kinerja-kinerja pemberantasan korupsi KPK kian menurun, bahkan mengalami kemerosotan tajam dalam tingkat kepercayaan di masyarakat,” kata ICW.
Hal lain yang membuat Indonesia mengalami stagnasi juga dengan melihat ‘sukses’ bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kedua lembaga eksekutif dan legislatif tersebut dinilai berhasil mendegradasi pemaknaan korupsi melalui produk-produk legislasi bersama yang tak mendukung penguatan pemberantasan korupsi.
Korupsi dalam sejumlah produk perundangan tak lagi ditempatkan sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Fakta tersebut terlihat dalam UU Pemasyarakatan 2022 yang memberikan kelonggaran untuk pemberian remisi, atau diskon masa hukuman bagi para terpidana kasus korupsi.
Pun batas minimal pemenjaraan yang lebih ringan terhadap pelaku korupsi seperti dalam Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Pidana 2023. Pemberantasan korupsi Indonesia juga kian bobrok dengan melihat realitas banyak aparat-aparat, dan pejabat-pejabat di sektor penegakan hukum yang semestinya di barisan terdepan dalam perang melawan korupsi malah terlibat, bahkan menjadi pelaku utama dalam praktik korupsi.
Sepanjang 2020-2024 publik terus merekam kasus-kasus yang menyeret para jaksa, perwira-perwira kepolisian ke dalam penjara lantaran menjadi tokoh utama dalam skandal korupsi. Kasus suap-gratifikasi Jaksa Pinangki Sirna Malasari, Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte contohnya.
Paling miris pada 2023, Ketua KPK Firli Bahuri sendiri, ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan pemerasan oleh Polda Metro Jaya terkait penanganan kasus di Kementerian Pertanian (Kementan). Di KPK sendiri terungkap berbagai pelanggaran etik berupa penerimaan-penerimaan fasilitas, dan uang dari pihak-pihak berperkara yang dilakukan oleh Wakil Ketua KPK 2022 Lili Pintauli Siregar.
Pun juga belasan, bahkan puluhan pegawai KPK yang diseret ke sidang etik internal lantaran terungkap melakukan pungutan liar (pungli) terhadap para tahanan KPK. Juga melihat kasus-kasus korupsi yang melibatkan para pejabat dan hakim-hakim pemutus perkara. Seperti korupsi yang dilakukan oleh Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA) Gazalba Saleh.
Baru-baru ini, pun Kejaksaan Agung (Kejagung) menangkap pejabat tinggi di MA Zarof Ricar sebagai tersangka penerimaan suap-gratifikasi, bersama-sama tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo terkait pengaturan vonis terhadap terpidana pembunuhan Greogorius Ronald Tannur putra politikus Edward Tannur.
“Komitmen pemberantasan korupsi dari aparat-aparat penegak hukum semakin rendah,” begitu menurut ICW.
Belum lagi, menurut ICW melihat tren pemidanaan terhadap para pelaku korupsi di tingkat pengadilan, yang sepertinya tak berpihak pada efek-efek penjeraan. ICW mencatat sepanjang 2022, rata-rata pemidanaan para terpidana korupsi hanya berkisar 3 tahun 4 bulan dari total 2.249 terdakwa dalam penanganan 2.056 perkara korupsi yang ditangani oleh Kejagung, KPK, maupun Polri, dengan total kerugian negara sebesar Rp 48,78 triliun.
Tren vonis pemidanaan kurang lebih 40 bulan terhadap koruptor tersebut tak berubah pada periode tahun berikutnya, meskipun pada kuantitas penanganan korupsi menurun pada angka 1.649 kasus dengan total 1.718 terdakwa. Namun sepanjang 2023, angka kerugian negara dari kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh tiga lembaga hukum Kejagung, KPK, dan Polri tersebut meningkat mencapai Rp 82,6 triliun.
“Jadi omong kosong kalau ada yang mengatakan kita ini, sudah serius dalam menindak pelaku tindak pidana korupsi. Vonis yang rata-rata 3 tahun 4 bulan sepanjang 1 Januari sampai 31 Desember 2023 ini, adalah kategori ringan, yang sama sekali tidak memberikan efek penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Dan tren vonis terhadap pelaku tindak pidana korupsi ini, menunjukkan, bahwa kita, belum benar-benar serius dalam pemberantasan tindak pidana korupsi,” kata peneliti hukum, dan korupsi ICW Kurnia Ramadhana, beberapa waktu lalu.
Pelemahan KPK masih berlanjut
Pada Kamis (21/11/2024) lalu, DPR resmi memilih lima pemimpin KPK 2024-2029. Namun, dari lima pemimpin KPK yang baru terpilih oleh Komisi III tersebut, tak satupun sebagai representasi sipil yang independen. Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi mengatakan, terpilihnya pemimpin KPK dari unsur-unsur kepolisian, dan kejaksaan, kehakiman, serta pemeriksa keuangan dinilai sebagai penyempurnaan dari skenario pelemahan KPK.
“Keputusan DPR memilih lima pimpinan KPK dari unsur kepolisian, kejaksaan, hakim, dan mantan anggota BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), secara politik telah mengikis sifat independensi KPK,” kata Hendardi kepada Republika beberapa waktu lalu.
Hendardi mengingatkan, KPK adalah lembaga utama pemberantasan korupsi yang masuk dalam kategori sebagai badan konstitusional yang krusial dan harus independen. Oleh karena itu kata Hendardi, semestinya Komisi III menghindari memilih para komisioner KPK yang memiliki figur dengan latar belakang terafiliasi ke lembaga-lembaga aparat penegak hukum lain.
Pun yang berasal dari pemerintahan. Karena dikatakan Hendardi, para pemimpin KPK dengan latar belakang tersebut memiliki kecenderungan dapat dikendalikan. Walaupun Hendardi mengakui, mereka yang terpilih sebagai pemimpin KPK itu sejatinya memang mempunyai hak sama untuk dipilih dan menduduki jabatan di KPK.
Juga kata Hendardi, memang normatifnya Komisi III memiliki kewenangan mutlak dalam memilih para pemimpin KPK. Namun Komisi III semestinya paham benar riwayat konstitusional KPK yang dibentuk sebagai respons atas ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga negara dalam pemberantasan korupsi. Terutama, kata Hendardi dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri dan Kejaksaan.
“Seharusnya DPR memahami bahwa KPK dibentuk sebagai auxiliary state institution, yang merupakan antitesis atas kinerja ordinary state institution, yakni kepolisian dan kejaksaan yang sebelumnya dianggap tidak akuntabel dalam pemberantasan korupsi,” ujar Hendardi.
Memilih pemimpin KPK dengan latar belakang kepolisian, ataupun jaksa, menurut Hendardi akan memunculkan kebiasan-kebiasaan pribadi sebagai pemimpin KPK yang tunduk terhadap hirarki dan kepangkatan. Situasi tersebut, menurut Hendardi bakal tetap mengancam peran utama KPK.
“Representasi calon perwakilan masyarakat sipil sebagai penanda dan variabel penjaga independensi KPK sekali tidak ditimbang oleh DPR sebagai ikhtiar, minimal dalam menjaga independensi KPK,” ujar Hendardi.
Dan situasi tersebut kata Hendardi, semakin membuat KPK sulit diandalkan. “Formula kepemimpinan KPK seperti saat ini, akan sulit mendapatkan kepercayaan publik. Dan ini seperti menyempurnakan pelemahan KPK sebagaimana ketika DPR dan pemerintah merivisi UU KPK 2019,” kata Hendardi.
Komisi III DPR, pada Kamis (21/11/2024) resmi memilih lima pemimpin KPK untuk periode 2024-2029 mendatang. Lima yang terpilih itu diantaranya, Setyo Budiyanto yang memiliki latar belakang kepolisian.
Selanjutnya adalah Fitroh Cahyanto yang berlatar belakang sebagai jaksa. Lalu ada Ibnu Basuki Widodo yang berlatar belakang hakim. Dan Johanis Tanak yang juga berlatar belakang kejaksaan. Nama terakhir yang terpilih adalah Agus Joko Pramono yang tercatat pernah sebagai wakil ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Nasib pemberantasan korupsi
Belum ada satupun lembaga kemasyarakatan pegiat hukum, dan antikorupsi di Indonesia, yang menempatkan KPK kembali sebagai aparat penegak hukum paling dipercaya. Sepanjang 2020-2024 tingkat kepercayaan masyarakat terhadap KPK merosot.
Dari riset banyak lembaga survei, menempatkan KPK saat ini pada rentang 52, sampai 65 persen soal tingkat kepercayaan. Oktober 2024, survei Indikator Politik menempatkan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang paling bawah setelah Polri, Pengadilan, dan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam hal tingkat kepercayaan masyarakat.
Padahal KPK pada periode sebelum 2019, pernah di tingkat kepercayaan tertinggi mencapai 82 sampai 84 persen, paling dipercaya dari lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Degradasi penilaian publik terhadap KPK selama tahun-tahun belakangan bukan tanpa sebab.
Sejak 2019 pecah-belah internal KPK, dan pelemahan KPK dari pihak luar melalui perevisian UU KPK, serta apatisme masyarakat terhadap sejumlah kepemimpinan di KPK turut memengaruhi penilaian publik. Dan berbagai skandal para komisionernya belakangan membuat lembaga utama pemberantasan korupsi itu sulit diandalkan.
Namun begitu, KPK masih diharapkan kembali tampil sebagai pemimpin pemberantasan korupsi. Mantan penyidik senior KPK Novel Baswedan mengatakan, konstitusinalitas KPK masih memberikan kewenangan yang lebih besar dalam misi melawan korupsi ketimbang lembaga penegak hukum lainnya seperti Polri, maupun Kejaksaan. Menurut Novel, peran KPK, masih dibutuhkan untuk masa depan.
“Dengan KPK yang sekarang lemah, dan juga bermasalah belakangan ini, kepentingan pemberantasan korupsi bukan berarti tidak lagi penting. Pemberantasan korupsi masih harus tetap menjadi prioritas,” kata Novel kepada Republika, Jumat (6/12/2024).
Novel adalah salah-satu korban dalam usahanya untuk mempertahankan integritas dan independensi KPK. Akan tetapi kepemimpinan KPK yang baru memecatnya bersama-sama 70-an pegawai KPK lainnya pada 2021-2022.
Pemecatan Novel dan kawan-kawannya itu merupakan bagian dari pecah-belah internal KPK yang terjadi pascaterpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK pada 2019. Novel yang kehilangan mata kirinya akibat serangan air keras pada 2017 itu mengakui, pelemahan KPK dalam lima tahun terakhir memang disebabkan kebobrokan internal kepemimpinan di KPK. Dan faktor eksternal kolaborasi politik antara pemerintahan dan DPR.
“Lemahnya KPK karena pemerintah dan DPR yang justru membuat kebijakan-kebijakan yang melemahkan KPK. Walaupun ada peran pimpinan KPK yang membuat keadaan KPK menjadi lebih buruk lagi,” kata Novel.
Namun menurutnya, KPK masih menjadi harapan bagi masyarakat. Novel pun berharap di pemerintahan baru yang saat ini dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto mampu menjawab harapan publik untuk mengembalikan kiprah KPK sebagai lembaga utama yang independen dalam pemberantasan korupsi.
“Pemerintahan saat ini mestinya berkepentingan untuk memastikan agenda-agenda pemberantasan korupsi tetap berjalan dengan berkelanjutan dan dilakukan oleh lembaga yang independen,” kata Novel.
Menurut Novel penguatan peran lembaga pemberantasan korupsi saat ini memang beralih ke Kejagung melalui sepak terjang Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sejak 2019. Novel yang kini menjadi bagian dari Satgas Pencegahan Korupsi di Polri juga menunggu kiprah Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) yang pada Oktober 2024 dibentuk oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo.
Keberhasilan Jampidsus-Kejagung dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi jumbo dalam lima tahun terakhir, dan munculnya Kortastipidkor diharapkan tak mengundang spekulasi pembubaran KPK. Namun, kata Novel, munculnya kiprah Jampidsus-Kejagung, dan Kortastipidkor menguatkan realitas, bahwa pemberantasan korupsi selama ini masih kurang mempan. Itu sebabnya, kata Novel, perlu bagi pemerintahan saat ini mengembalikan kiprah KPK dengan penguatan.
“Pilihannya adalah apakah pemerintah akan tetap menggunakan KPK atau menggunakan lembaga yang lainnya. Dalam pandangan saya, penguatan KPK, tetap merupakan pilihan yang paling efektif dan efisien,” kata Novel.
Dia berharap, Presiden Prabowo sendiri yang menjadi pemimpin dalam misi penguatan KPK. Pun menjadi pemimpin dalam pemberantasan korupsi.
“Apa pun pilihannya, komitmen Presiden untuk memerangi praktik-praktik korupsi menjadi keharusan. Dan lebih baik lagi bila Presiden bisa memimpin langsung dalam upaya pemberantasan korupsi yang sinergi, objektif, dan berkelanjutan,” ujar Novel.
Dia optimistis dengan pengembalian peran dan independensi KPK oleh Presiden Prabowo bisa membantu program-program pemerintah dalam memajukan kesejahteraan masyarakat. “Pemberantasan korupsi adalah kepentingan setiap pemerintahan. Karena semua agenda pembangunan untuk pelaksanaan visi dan misi pemerintahan, akan terus terhambat bahkan terhadang oleh praktik-praktik korupsi. Semakin masif korupsinya, maka akan semakin menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat,” ujar Novel.