Kekhawatiran Akademisi Pilkada Kembali Lewat DPRD, Daulat Rakyat Bisa Dipangkas
Pelaksanaan Pilkada langsung juga tetap mesti dikritisi agar bisa lebih baik.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Para pengajar ilmu negara, dan tata negara meminta Presiden Prabowo Subianto tak gegabah melanjutkan usulan dan wacananya untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Wacana tersebut dinilai para akademisi hanya menguntungkan para elite partai politik (parpol). Sistem pemilihan tersebut dianggap akan menyingkirkan peran-peran masyarakat sebagai pemilik kedaulatan, dan pemegang hak suara dalam menentukan kepemimpinan.
Dosen Hukum Tata Negara (HTN) di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur (Jatim) Haidar Adam mengatakan, memang sebetulnya, mengacu Konstitusi Undang-undang Dasar (UUD) 1945 soal pemilihan kepala daerah itu tak ada klausul soal dipilih langsung oleh rakyat, atau melalui DPRD.
“Dalam persepektif normatif, di dalam UUD 1945, secara spesifik terkait pemilihan gubernur, bupati, dan walikota, atau pilkada menggunakan terminologi ‘dilakukan secara demokratis’,” kata Haidar saat dihubungi Republika dari Jakarta, Sabtu (14/12/2024).
‘Secara demokratis’ tersebut, menurut Haidar memang memunculkan defenisi yang luas. Pun ‘secara demokratis’ tersebut harus diakui mengakomodir dua pendapat yang setuju dengan pilkada melalui DPRD dengan konsep pemilihan tak langsung, dan kubu yang menghendaki pemilihan dilakukan langsung melalui peran rakyat sebagai pemilik hak suara.
“Artinya kemudian, pemilihan dengan model apapun, apakah itu langsung atau tidak langsung, selama itu merepresentasikan karakteristik demokratis, maka hal tersebut terkualifikasi di dalam terminologi ‘secara demokratis’ sebagaimana yang dimaksud dalam UUD 1945 sebagai konstitusi itu,” ujar Haidar.
Selama rezim orde baru, pemerintahan Presiden Soeharto menguatkan kontrol terhadap kepala-kepala daerah dengan mengimplementasikan ‘secara demokratis’ dalam konstitusi tersebut, melalui perundang-undangan turunannya.
Orba menjalankan aturan pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota dengan sistem pemilihan yang tak langsung melalui lembaga keterwakilan di DPRD. Pun juga di level kepemimpinan nasional, sistem pemilihan yang tak langsung tersebut dengan menyerahkan kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam memilih, dan menunjuk presiden sebagai mandataris.
“Nah, di situ yang kemudian, selama berpuluh-puluh tahun, sirkulasi kepentingan, sirkulasi kekuasaan, dan bobot demokratisasi dalam menentukan kepemimpinan di daerah, maupun di tingkat pusat, hanya dimiliki oleh elite-elite partai politik (parpol) saja, tanpa ada memperhitungkan peran rakyat,” kata Haidar.
Kesadaran rakyat sebagai pemilik kedaulatan, muncul dengan lahirnya era reformasi yang mengubah semua sistem, termasuk dalam masalah kepemiluan sebagai arena kontes kepemimpinan. Yaitu dengan mengembalikan kedaulatan rakyat sebagai pemilik suara, dalam menentukan langsung siapa pemimpinnya.
“Itu yang kemudian sejak era reformasi (kepentingan elite-elite politik) dipangkas sedemikian rupa, dengan memunculkan ide-ide yang mengharuskan adanya partisipasi langsung dari rakyat sebagai pengakuan negara terhadap rakyat sebagai pemilik kedaulatan, dan pemilik suara yang menentukan siapa pemimpinnya,” ujar Haidar.
“Dan dalam konteksnya pilkada, (pemilihan langsung oleh rakyat) itu merupakan suatu progresifitas dalam sistem hukum kepemiluan kita, dengan ikhtiar untuk menghubungkan langsung antara tujuan bernegara yang berbasis pada kehendak rakyat melalui perannya sebagai pemilik suara dan pemilik kedaulatan,” kata Haidar.
Menurut Haidar, jika hubungan langsung antara negara, dan rakyat tersebut kembali diputus melalui pemilihan kepemimpinan di lembaga perwakilan, situasi tersebut akan kembali menyingkirkan peran masyarakat.
“Kalau misalnya ide dikembalikan ke DPRD itu kembali dijalankan, maka akan kembali memunculkan kepentingan bernegara, hanya akan menjadi kepentingan-kepentingan elite politik semata. Dan rakyat akan kembali ditinggalkan,” ujar Haidar.
Haidar memandang, melihat kualitas lembaga keterwakilan seperti DPRD, maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat pusat selama ini, yang tak pernah lepas dari kepentingan elite semata, alih-alih memprioritaskan perannya sebagai lembaga wakil rakyat.
“Dan itu bisa kita lihat bagaimana peran-peran DPRD, maupun DPR pusat itu belum bisa merepresentasikan perannya sebagai wakil rakyat, padahal mereka juga dipilih oleh rakyat,” kata Haidar.
Karena itu menurut Haidar, wacana maupun usulan mengembalikan pilkada melalui DPRD itu, harus selalu dikritisi agar tak terealisasi. Meskipun kata Haidar, harus dinilai objektif bahwa sistem pemilihan langsung oleh rakyat yang selama ini berjalan, patut dikritisi agar semakin berkualitas baik.
Walaupun, kata Haidar mengakui, pelaksanaan pilkada, maupun pemilihan pemimpin nasional secara langsung selama ini yang memang memakan biaya tinggi.
Pelucutan pilpres langsung
Pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona pun mengatakan serupa. Yance memandang, usulan Presiden Prabowo mengembalikan sistem pilkada melalui DPRD sebagai langkah kemunduran dalam berdemokrasi di Tanah Air.
“Saya menilai pandangan Presiden Prabowo yang mengusulkan pemilihan kepala daerah oleh DPRD, bukan lagi pemilihan langsung sebagai komitmen yang lemah terhadap demokrasi,” kata Yance saat dihubungi Republika dari Jakarta, Jumat (13/12/2024).
Yance curiga penyampaian Presiden Prabowo itu punya maksud terselubung.
Yance menilai, Presiden Prabowo yang melempar usulan agar pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD sebetulnya merupakan anak tangga pertama dalam wacana politik mengembalikan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden melalui peran MPR.
“Kalau ini (pilkada melalui DPRD) dibiarkan, bisa menjalar. Jangan-jangan Presiden Prabowo, pun sebenarnya juga mau mengembalikan pemilihan presiden oleh MPR, bukan lagi langsung oleh rakyat,” ujar Yance.
Yance mengingatkan masyarakat dan pegiat sipil mengkritisi wacana tersebut. Karena semestinya, kata Yance pemilihan secara langsung kepala daerah, pun juga kepala negara oleh rakyat yang selama ini sudah dilakukan, merupakan buah bagus dari pohon reformasi yang sudah tertanam seperempat abad.
Pohon reformasi tersebut yang semestinya tetap dirawat untuk selalu menghasilkan buah demokrasi yang berkualitas baik. “Semangat demokratisasi yang sudah diwariskan dari reformasi adalah salah-satunya gagasan tentang kedaulatan rakyat, kedaulatan di tangan rakyat, yang itu diwujudkan dalam pemilihan kepala daerah, pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat,” kata Yance.
Presiden Prabowo Subianto, saat berpidato pada HUT Partai Golkar ke-60, Kamis (12/12/2024) melemparkan wacana untuk pemilihan kepala daerah dikembalikan kewenangannya ke DPRD. Menurut Prabowo model pilkada yang tak langsung itu lebih efisien ketimbang pelaksanaan pilkada langsung yang selama ini menurutnya memakan biaya tinggi.
Presiden Prabowo memberikan beberapa referensi pelaksanaan kepala daerah di negara-negara demokrasi besar lainnya di kawasan Asia, maupun Asia Tenggara.
“Mari kita berfikir, mari kita tanya, apa sistem ini, berapa puluh triliun habis dalam satu dua hari, dari negara, maupun dari tokoh-tokoh politik masing-masing. Saya lihat negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih anggota DPRD, sekali milih, ya sudah, DPRD itulah yang milih gubernur, milih bupati,” kata Presiden Prabowo.
Presiden Prabowo yang juga ketua umum Partai Gerindra itu mengajak ketua-ketua umum partai politik (parpol) lainnya yang hadir di gelaran HUT Golkar untuk setuju. Bahkan, kata Presiden Prabowo, kalau bisa langsung saja disetujui. “Ini sebetulnya begitu banyak ketua umum partai di sini sebenarnya bisa kita putuskan malam ini juga,” kata Prabowo.