Tarif PPN Indonesia Diklaim Lebih Rendah Dibandingkan Negara Lain
Kenaikan tarif PPN memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim bahwa tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku di Indonesia saat ini sebesar 11 persen dan akan naik menjadi 12 persen pada tahun 2025, masih relatif rendah jika dibandingkan dengan sejumlah negara lain. Menurut Sri Mulyani menegaskan, kebijakan ini merupakan langkah penting untuk memperkuat penerimaan negara.
Ia pun membandingkan tarif PPN di beberapa negara lebih tinggi. Salah satunya, Brasil yang mengenakan tarif PPN sebesar 17 persen dengan tax ratio 24,67 persen, Afrika Selatan 15 persen dengan tax ratio 21,4 persen, dan India 18 persen dengan tax ratio 17,3 persen. Bahkan, Turki memiliki tarif PPN hingga 20 persen dengan tax ratio 16 persen.
"Tarif PPN di Indonesia, meskipun naik menjadi 12 persen, masih tergolong lebih rendah dibandingkan dengan banyak negara di dunia," ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi di Kantor Kemeneterian Koordinator Bidang Perekonomian, Senin (16/12/2024).
Namun, Sri Mulyani juga mencatat beberapa negara yang memiliki tarif PPN lebih rendah dari Indonesia, seperti Thailand (7 persen), Singapura (9 persen) dan Australia (10 persen). Di sisi lain, ia mengingatkan tax ratio Indonesia yang saat ini berada di sekitar 10,4 persen masih terbilang rendah. Oleh karena itu, peningkatan tax ratio menjadi salah satu fokus pemerintah dalam pengelolaan fiskal ke depan.
Sri Mulyani menekankan, meskipun tarif PPN Indonesia lebih rendah, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki pengumpulan pajak agar dapat memperkuat APBN. Diketahui, kenaikan tarif PPN yang diputuskan pemerintah akan memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara, yang diperkirakan dapat mencapai hingga Rp 75 triliun pada 2025.
Kebijakan ini juga akan didukung dengan berbagai stimulus ekonomi untuk menjaga daya beli masyarakat, seperti diskon listrik untuk rumah tangga dan bantuan pangan. Dengan kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen, pemerintah berharap dapat meningkatkan efisiensi perpajakan sekaligus memperbaiki pengelolaan fiskal di tengah tantangan ekonomi global yang tidak menentu.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengungkapkan bahwa penerimaan negara diperkirakan akan meningkat sebesar Rp 75 triliun pada 2025 akibat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang naik menjadi 12 persen.
Kenaikan tarif PPN ini, yang berlaku mulai 1 Januari 2025, akan menyumbang besar terhadap pendapatan negara, meskipun barang-barang kebutuhan pokok seperti beras, telur, dan daging tetap dibebaskan dari PPN.
"(Estimasi penerimaan setelah PPN 12 persen) itu sekitar Rp 75 triliun dari PPN," ujar Febrio saat ditemui usai Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi di Jakarta, Senin (16/12/2024)
Febrio menambahkan, pemerintah juga memberikan berbagai insentif untuk sektor-sektor strategis, seperti industri otomotif dan kesehatan, yang diperkirakan akan memberikan dampak positif terhadap perekonomian dan penerimaan negara. "Penerimaan negara akan terus dipantau, dan kebijakan fiskal ini akan kami kelola dengan hati-hati," ungkapnya.
Pemerintah, lanjutnya, juga akan terus mendengarkan aspirasi masyarakat mengenai keadilan dalam perpajakan. Kebijakan untuk mengenakan PPN pada barang-barang mewah seperti produk premium dan layanan kesehatan VIP adalah langkah pemerintah untuk memastikan agar kontribusi pajak lebih merata.
Mulai Januari 2025 pemerintah resmi menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen. Namun, beberapa barang dan jasa tetap akan dibebaskan dari PPN, termasuk kebutuhan pokok seperti beras, daging, dan ikan.
Untuk barang-barang seperti minyak goreng dan tepung terigu, pemerintah memberikan tarif PPN yang lebih rendah, yakni 1 persen yang ditanggung oleh pemerintah.