Terinspirasi Surah Maryam, Wanita Inggris Ini Memeluk Islam
Ameena Blake menuturkan pengalamannya dalam meraih hidayah Illahi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ameena Blake merupakan seorang mualaf asal Inggris. Sejak kecil, ia tidak mengenal kedua orang tua kandungnya. Bahkan, saat masih berusia bayi satu bulan, dirinya sudah dititipkan ibunya--yang masih berumur 17 tahun kala mengandung--ke panti asuhan.
“Aku lahir pada 12 Oktober 1973—bertepatan dengan 15 Ramadhan. Aku adalah anak yang tak teringinkan," kata Ameena menuturkan kisahnya, seperti dilansir All American Muslim.
Nasibnya berubah tak lama kemudian. Sepasang suami istri dari Liverpool mengadopsinya pada 1974. Mereka adalah Norman dan Sylvia Blake. Masing-masing berprofesi dosen dan seniman.
Di rumah keluarga Blake, Ameena tumbuh menjadi seorang gadis yang ceria. Ia sangat dekat dengan ayah angkatnya.
Seperti umumnya anak-anak muda, Ameena pun memiliki banyak teman. Sayangnya, ia mudah terpengaruh oleh pergaulan yang kurang baik. Dalam arti, gadis ini cenderung menyukai pesta atau menghabiskan waktu dengan jalan-jalan, bukannya belajar.
Tiap akhir pekan, ia mengajak beberapa temannya untuk masuk ke dalam tempat hiburan. Di sana, mereka melalui malam dengan berjoget dan bersenang-senang.
Namun, siapa sangka hobi clubbing itulah yang mempertemukannya dengan Islam. Cerita bermula sejak dirinya berkenalan dengan seorang kawan baru. Layla, demikian namanya, merupakan perempuan Inggris keturunan Pakistan.
Walaupun seorang Muslim, Layla beberapa kali ikut dalam pesta minuman keras di klub bersama dengan Ameena. Pernah pada suatu Sabtu malam, gadis ini mabuk berat. Dengan tergopoh-gopoh, ia pun dirangkul Layla untuk pulang.
Karena masih dini hari, perempuan berdarah Pakistan itu membawa kawannya ke flat tempat tinggalnya. Kebetulan, kedua orang tuanya sedang berada di luar kota. Langsung saja, Layla memapah temannya yang sedang tak sadarkan diri itu ke kamarnya.
Keesokan paginya, Ameena terbangun. Untuk beberapa saat, ia merasa terkejut karena berada di dalam kamar yang bukan miliknya. Mengetahui pertolongan Layla, ia pun merasa terharu dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Sesudah membersihkan diri, Ameena hendak bersantai sejenak di dalam kamar kawannya itu. Tanpa sengaja, gadis ini melihat sebuah buku yang bersampul biru. Pada bagian cover, terdapat ukiran-ukiran indah yang membuatnya penasaran.
“Itu Alquran, kitab suci orang Islam. Dan ‘ukiran’ itu bukanlah hiasan, melainkan huruf Arab yang berarti ‘Alquran yang mulia’,” ujar Ameena menirukan perkataan Layla kepadanya saat itu.
Ia lalu membuka-buka mushaf tersebut. Ternyata, isinya tidak hanya teks berbahasa Arab, tetapi juga terjemahannya. Pada sebuah halaman, Ameena mendapati beberapa ayat yang menyebut nama Maria (Maryam), yakni ibunda Nabi Isa. Layla kemudian menjelaskan, Islam adalah agama yang memuliakan keduanya. Bahkan, ada satu surah di dalam Alquran yang dinamakan persis seperti nama Maryam.
Ameena saat itu merasa familiar dengan kandungan surah Maryam. Sebab, kedua orang tua angkatnya tergolong religius. Mereka rutin mengajaknya ke gereja. Di rumah pun, Norman dan Sylvia Blake sering kali menghabiskan waktu sore dengan membaca buku-buku keagamaan.
Mengenal Islam
Sejak momen itu, Ameena mulai tertarik mempelajari agama. Ia pun rajin membaca kitab agama yang dipeluk orang tua angkatnya. Dibandingkannya hasil pembacaan itu dengan Alquran.
Menurut Layla, semua orang Islam meyakini bahwa Alquran adalah firman Allah, bukan buatan manusia. Pernyataan itu membuatnya tertarik.
Saat mengunjungi flat tempat Ameena tinggal, kawannya itu mengakui bahwa pengetahuannya tentang agama belum begitu memadai. Ameena pun disarankan untuk berdiskusi dengan tetangganya, yang kebetulan adalah seorang mualaf.
Beberapa hari berikutnya, gadis ini memberanikan diri untuk berkenalan dengan tetangga Muslim tersebut. Ia bernama Dawood. Setelah mengutarakan maksudnya, ia pun mulai mengajukan berbagai pertanyaan tentang Alquran.
“Siapa yang menulis Alquran? Bagaimana membuktikan bahwa ini adalah firman Tuhan? Bagaimana dengan fakta-fakta saintifik? Itulah berbagai hal yang ingin kudapatkan jawabannya,” ucap Ameena.
Dengan runtut dan jelas, Dawood memaparkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Menyimaknya, Ameena merasa cukup puas. Ajaran Islam menurutnya terdengar masuk akal.
Sejak saat itu, ia pun sering kali berdiskusi dengan Dawood mengenai aspek-aspek keislaman. Hingga pada suatu hari, saat keduanya sedang mengobrol tiba-tiba terdengar suara dari komputer milik mualaf tersebut.
Dawood lalu menjelaskan, suara yang sedang didengarkannya itu adalah azan. “Ketika mendengarnya (azan), seluruh diriku seperti tenggelam dalam perasaan yang hangat dan lembut. Aku kira, pada saat itulah untuk pertama kalinya merasakan manisnya iman,” kenang Ameena.
Sebelum pulang, ia diberikan sebuah kepingan CD oleh Dawood. Benda itu berisi rekaman video dakwah yang berjudul “Ar-Risalah” (Pesan). Durasinya sekitar tiga jam. Ameena mengatakan, dirinya akan menonton tayangan itu hingga tuntas.
Dalam beberapa pekan ke depan, ia membagi waktunya untuk dapat menamatkan “Ar-Risalah.” Ada salah satu bagian dari video tersebut yang membuatnya terkesima, yakni perihal sejarah azan. Muazin pertama dalam historiografi Islam adalah Bilal bin Rabah. Sahabat Nabi SAW ini mengalami pelbagai ujian dalam hidupnya, tetapi selalu tegar dan teguh di jalan tauhid.
Menjadi Muslim
Tak terasa, sudah berbulan-bulan Ameena rutin mempelajari agama tauhid. Ia melakukannya dengan membaca berbagai buku atau menonton video yang direkomendasikan kawannya. Atas saran Dawood, ia pun mulai mengikuti kajian-kajian keislaman secara langsung.
Ada satu masjid yang berlokasi cukup jauh dari rumahnya. Di tempat ibadah ini, terdapat seorang imam yang mengikuti tarekat sufi. Pada suatu hari, Ameena pun ikut dalam pengajian yang digelarnya.
Setelah beberapa pertemuan, ia memberanikan diri untuk meminta izin berdiskusi. Sang imam dengan senang hati menerimanya. Kesempatan ini dimanfaatkannya untuk mengajukan berbagai pertanyaan tentang Islam.
Imam tersebut dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dari Ameena. Termasuk di antaranya mengenai pandangan Alquran terhadap sains. Ulama itu menjelaskan, banyak ayat dalam Kitabullah yang menyuruh manusia untuk menggunakan akal pikirannya. Dengan memanfaatkan potensi akal, setiap insan dapat merenungi kemahakuasaan Allah.
Pada musim gugur tahun 1992, Ameena pun memantapkan hatinya. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid dengan bimbingan imam setempat.
“Alhamdulillah, itulah langkah pertamaku dalam berislam,” kenangnya. Sejak memeluk Islam, ia pun memilih nama baru, yakni Ameena. Itu terinspirasi dari nama ibunda Rasulullah SAW.
Sedikit persoalan terjadi pada dirinya. Beberapa bulan berlalu sejak keislamannya, Ameena belum juga lancar melaksanakan shalat. Sering kali, ia lupa redaksi doa yang mesti dibaca dalam shalat. Harapannya, beberapa teman dapat mengajarinya, tetapi mereka tak kunjung punya waktu.
Ameena tidak berputus asa. Ia terus belajar hingga benar-benar lancar dalam beribadah. Seorang kawannya di masjid, Tracy, juga selalu memberikan motivasi kepadanya.
Hingga terjadilah peristiwa yang kian menyadarkan dirinya. Ayah Tracy terkena serangan jantung dan wafat beberapa saat kemudian. Ameena pun turut berduka.
Ia mengenang, almarhum terkenal sebagai seorang yang saleh. “Saya melihat jenazah almarhum tersenyum, seperti ada cahaya pada wajahnya. Orang-orang mengenalnya sebagai pribadi yang saleh. Maka saya kaitkan senyumnya itu dengan hasil dari keberkahan shalatnya,” katanya.