Badai Chido Diduga Tewaskan Ribuan Warga Mayotte Prancis, 39 Korban Terkonfirmasi
Lambatnya bantuan dan air bersih membuat penduduk Mayotte marah.
REPUBLIKA.CO.ID,PARIS — Pejabat Prancis di Mayotte mengatakan, korban jiwa akibat Badai Chido yang menghantam pulau tersebut sepuluh hari yang lalu bertambah dari 35 menjadi 39 orang. Mayotte merupakan wilayah Prancis yang terletak di Samudera Hindia, di antara Madagaskar dan pesisir timur Afrika.
Pihak berwenang mengatakan, Badai Chido diperkirakan menewaskan ribuan orang. Namun upaya menghitung korban jiwa kemungkinan akan sulit dilakukan karena mayoritas Mayotte beragama Islam yang segera mengubur kerabat dan keluarga mereka. Tak hanya itu, terdapat fakta banyak korban tewas merupakan imigran tanpa dokumen.
Keterlambatan datangnya bantuan dan air bersih - yang sudah menjadi masalah sebelum bencana - membuat penduduk Mayotte, wilayah termiskin di Prancis, marah.
Mohamed Abdou, seorang dokter di Pamandzi, menyebut hari berkabung nasional Prancis sebagai “aksi politik” protes pengabaian Prancis terhadap infrastruktur, listrik dan distribusi bantuan, di Mayotte. Sementara penduduk lainnya menyoraki Presiden Emmanuel Macron yang berkunjung pekan lalu.
Sebelumnya dilaporkan Macron berdebat keras dengan korban badai Chido di Mayotte. Saat disoraki warga, Macron membalasnya dengan mengatakan wilayah itu akan berada dalam "masalah yang lebih parah" tanpa bantuan Prancis.
Satu pekan setelah Chido menghantam Mayotte, warga masih kesulitan mengakses air bersih. "Tujuh hari dan kalian tidak bisa memberi air kepada warga," teriak seorang pria kepada Macron yang berkunjung ke pulau itu pekan lalu.
"Jangan adu domba warga, bila anda adu domba warga, kita akan kacau," kata Macron pada masa di pemukiman Pamandzi, Kamis (16/12/2024) lalu.
"Anda bahagia menjadi bagian Prancis, bila bukan Prancis anda akan berada dalam masalah 10 ribu kali lebih parah, tidak ada tempat di Samudera Hindia yang lebih banyak menerima bantuan," tambahnya.
Macron kerap mendapat masalah saat bertukar pandangan di muka publik. Ia mengatakan bermaksud menyampaikan "apa yang sebenarnya" tapi seringkali melewati batasan dan dianggap tidak sensitif atau merendahkan. Hal ini berkontribusi pada turunnya popularitas presiden selama tujuh tahun ia berkuasa.
Pada Jumat (17/12/2024) anggota parlemen dari partai oposisi mengomentari pernyataan Macron."Saya pikir presiden tidak menemukan kata-kata yang tempat untuk menenangkan rekan-rekan senegara di Mayotte, yang dengan ungkapan itu, selalu merasa diperlakukan berbeda," kata anggota partai National Rally (RN) yang berhaluan sayap kanan, Sebastien Chenu.
Anggota parlemen dari sayap kiri Eric Coquerel juga mengomentari kata-kata Macron yang menurutnya "sama sekali tidak bermartabat."