Sektor Pariwisata Terintegrasi Mampu Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi, Begini Analisisnya
Per Oktober 2024, kunjungan wisatawan mancanegara mencapai 1,19 juta orang.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom yang juga eks Staf Khusus Menteri Keuangan Masyita Crystallin mengungkapkan potensi sektor pariwisata berkonsep terintegrasi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, potensi itu tidak terlepas dari sederet tantangan yang menjadi PR ke depan.
“Aktivitas pariwisata diperkirakan menyumbang 12,69 miliar dolar AS, mencerminkan dampak penting sektor ini pada pertumbuhan ekonomi,” kata Masyita dalam keterangannya kepada Republika, Jumat (27/12/2024).
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) Oktober 2024, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) mencapai hingga 1,19 juta kunjungan, meningkat sekitar 22 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu (year on year/yoy).
Angka tersebut menunjukkan pariwisata Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan. Menurutnya, kemampuan sektor pariwisata dengan memadukan berbagai jenis sektor dalam satu kesatuan produk jasa menjadikan sektor tersebut sangat cocok untuk didorong lebih jauh.
Masyita mengungkapkan, peningkatan investasi di sektor pariwisata yang terintegrasi dengan pengembangan produk lokal disebut terbukti mampu memberikan dampak besar bagi perekonomian. Ia menyebut, hasil simulasi menggunakan data input-output menunjukkan adanya potensi penciptaan jutaan lapangan kerja, khususnya di sektor pertanian, manufaktur, dan jasa.
“Sebagai gambaran, setiap stimulus sebesar Rp 1 triliun pada sektor-sektor tersebut dapat menghasilkan 200 hingga 300 ribu lapangan pekerjaan,” kata dia.
Dia mencontohkan pada sektor pertanian. Ada potensi belasan triliunan dari investasi pada 12 komoditas utama seperti rumput laut, karet, hasil pemeliharaan hewan lainnya, ubi kayu, kopi, kelapa sawit, jasa pertanian kehutanan dan perikanan, unggas dan hasil-hasilnya, hasil perkebunan lainnya, tebu, ternak dan hasil-hasilnya kecuali susu segar, dan padi.
“Bila masing-masing komoditas tersebut diinvestasikan Rp 1 triliun secara bersamaan, sekitar Rp 12 triliun dapat menciptakan lebih dari 2,7 juta lapangan kerja atau peningkatan PDB (Produk Domestik Bruto) sebesar 0,09 persen,” tuturnya.
Lalu pada sektor manufaktur, ada 10 komoditas utama yang potensial. Yaitu alas kaki, hasil pengawetan dan penyamakan kulit, hasil pemotongan hewan, barang-barang dari kulit, minuman tak beralkohol, kapal dan jasa perbaikannya, karet remah dan karet asap, jalan jembatan dan Pelabuhan, produk farmasi, dan barang-barang hasil industri pengolahan.
“Sektor manufaktur dapat menciptakan lebih dari 2,1 juta lapangan kerja atau peningkatan PDB sebesar 0,069 persen jika diinvestasikan Rp 10 triliun pada 10 komoditas,” terangnya.
Selanjutnya, pada sektor jasa, investasi potensial yang serupa ada pada 13 komoditas. Yakni jasa pendidikan pemerintah, jasa dana pensiun, jasa pemerintahan lainnya, jasa kesehatan pemerintah, jasa angkutan rel, jasa pemerintahan umum, jasa pendidikan swasta, jasa keuangan perbankan, jasa lembaga keuangan lainnya, perdagangan mobil dan sepeda motor, penyediaan makan dan minum, serta jasa persewaan dan jasa penunjang usaha, dan jasa lainnya.
Ia menuturkan, dengan stimulus yang sama yaitu Rp 1 triliun per komoditas, dapat menciptakan hingga 3,2 juta lapangan kerja, atau meningkatkan PDB sebesar 0,099 persen.
“Dengan potensi besar yang dimiliki sektor pariwisata, investasi yang terintegrasi di berbagai sektor pendukung seperti pertanian, manufaktur, dan jasa menjadi kunci untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” ujarnya.
Pemerintah diharapkan dapat memperkuat komitmen melalui kebijakan yang mendukung konektivitas, diversifikasi produk wisata, dan pengembangan sumber daya manusia.
“Jika dikelola dengan strategi yang tepat, pariwisata tidak hanya mampu menjadi motor penggerak ekonomi, tetapi juga sarana untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat secara luas, sekaligus memperkokoh posisi Indonesia sebagai destinasi unggulan di kancah global,” terangnya.
Lima Tantangan Sektor Pariwisata
Masyita menambahkan, ada setidaknya lima tantangan dalam pengembangan sektor pariwisata di Indonesia. Menurutnya, Indonesia sangat kaya akan potensi fisik dan non fisiknya, namun belum termanfaatkan untuk dikapitalisasi agar memiliki nilai tambah yang lebih tinggi.
Tantangan pertama adalah masalah infrastruktur. Ia menyebut, meski daya saing harga dalam dimensi infrastruktur dan jasa cukup baik, namun fasilitas transportasi udara, pelabuhan, dan darat masih jauh tertinggal dibandingkan negara pesaing. Sebagai negara kepulauan, konektivitas antardaerah memang menjadi krusial.
Data BPS menunjukkan mayoritas wisman masuk ke Indonesia melalui jalur udara sebesar 72 persen, sementara melalui laut hanya 18,3 persen.
Kedua, inovasi pelayanan wisata dan eksplorasi budaya belum tergali dengan maksimal. Menurutnya, narasi yang kuat tentang daya tarik budaya dan keunikan lokal perlu dikembangkan lebih lanjut untuk meningkatkan minat wisatawan. Ia menyebut, wisata budaya dan ekowisata memiliki daya tarik besar jika dikelola dengan pendekatan yang tepat.
Ketiga, aspek keberlanjutan. Lingkungan hidup yang terjaga adalah fondasi pariwisata berkelanjutan, namun Indonesia masih menghadapi tantangan dalam pengelolaan sampah dan konservasi alam. Menurutnya, keberlanjutan adalah kunci masa depan pariwisata. Hal tersebut tidak hanya berdampak pada kelangsungan sektor pariwisata tetapi juga pada citra Indonesia di mata dunia.
“Jika kita tidak menjaga lingkungan, pariwisata kita akan kehilangan daya tariknya dalam jangka panjang,” ujar dia.
Keempat, lingkungan pendukung pariwisata yang kurang optimal. Ia menyebut, indikator seperti keamanan, kesehatan, higienitas, dan pasar tenaga kerja masih membutuhkan peningkatan. Para wisatawan, khususnya dari negara maju, sangat memperhatikan aspek-aspek ini dalam memilih destinasi.
“Wisatawan dari Eropa dan Amerika Utara, misalnya, selalu mempertimbangkan keamanan dan fasilitas kesehatan sebelum memutuskan untuk berkunjung. Ini harus menjadi perhatian utama kita,” kata dia.
Kelima, kurang optimalnya pendukung usaha wisata, terutama teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Informasi tentang destinasi wisata belum dikelola dengan baik, sehingga wisatawan asing sering kesulitan mendapatkan akses informasi yang akurat dan terpercaya.
Mengutip Data Pew Research Center, disebutkan bahwa negara-negara dengan tingkat perjalanan keluar negeri tertinggi, seperti Swedia dan Belanda, belum menjadi fokus utama promosi pariwisata Indonesia. Padahal, potensi pasar ini sangat besar.
“Promosi digital dan pendekatan berbasis data harus menjadi prioritas jika kita ingin menjangkau wisatawan global,” tegasnya.