Mengapa Pemerintah tak Genjot Pajak dari Sektor Ini? Salah Satunya Pajak Orang Super Kaya
Pemerintah bisa mencari cara selain PPN untuk menggenjot penerimaan pajak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menekankan pentingnya pemerintah untuk mencari cara lain dalam menggenjot penerimaan pajak. Pernyataan ini menanggapi kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen untuk barang mewah per 1 Januari 2025.
Ia pun memberikan beberapa saran strategis yang bisa diterapkan untuk meningkatkan pemasukan negara secara lebih signifikan dan berkelanjutan. Salah satu usulan Bhima adalah penerapan pajak kekayaan, yaitu pajak yang dikenakan atas total harta yang dimiliki oleh individu dengan kekayaan luar biasa.
"Pajak ini akan dipungut sebesar 2 persen dari total harta orang super kaya, yang selama ini belum diterapkan di Indonesia. Estimasi penerimaan dari pajak kekayaan ini bisa mencapai Rp81,6 triliun jika diterapkan," ungkapnya kepada Republika, Rabu (1/1/2025).
Ia menambahkan, negara-negara maju seperti yang tergabung dalam OECD dan G20 sudah mendorong penerapan pajak kekayaan untuk memperbaiki sistem perpajakan yang lebih adil. Bhima juga merekomendasikan agar pemerintah segera menerapkan pajak karbon, yang sudah diamanatkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
"Pajak karbon ini bisa langsung diterapkan pada sektor industri yang memiliki dampak besar terhadap lingkungan, seperti PLTU batubara. Hasil dari pajak karbon ini dapat digunakan untuk mendanai transisi ke energi terbarukan dan memberikan dorongan pada sektor energi yang ramah lingkungan," katanya.
Kebijakan ini juga akan menciptakan lapangan pekerjaan baru serta mengurangi polusi udara yang dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Selain itu, Bhima juga menyarankan untuk menaikkan pajak produksi batubara di luar royalti.
"Ini bisa memberikan tambahan penerimaan negara yang cukup besar, mengingat Indonesia merupakan salah satu negara penghasil batubara terbesar di dunia," jelasnya.
Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada batubara dan mendorong penggunaan energi yang lebih bersih. Bhima juga mengingatkan pentingnya menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang yang selama ini menjadi sektor rentan terhadap penghindaran pajak.
"Pemerintah perlu lebih serius dalam menertibkan dan mengawasi sektor-sektor ini agar tidak ada lagi praktik-praktik penghindaran pajak yang merugikan negara," katanya.
Terakhir, Bhima mengingatkan agar pemerintah melakukan evaluasi terhadap insentif pajak yang tidak tepat sasaran. Salah satu contohnya adalah pemberian tax holiday untuk perusahaan smelter nikel yang mencatatkan laba besar.
"Perusahaan yang sudah sangat menguntungkan seharusnya tidak diberikan insentif pajak berlebihan, karena ini hanya akan mengurangi potensi penerimaan negara," tambahnya.
Chief Economist PermataBank sekaligus Head of Permata Institute for Economic Research (PIER) Josua Pardede memproyeksikan, implementasi tarif baru sebesar 12 persen atas PPN untuk barang mewah dapat meningkatkan pendapatan negara secara signifikan. Dengan basis penerimaan yang meluas (impor barang, penyerahan jasa/produk, dan pemanfaatan barang/jasa dari luar negeri), Josua mengatakan bahwa kebijakan ini dapat meningkatkan basis pajak secara substansial.
“Hal ini akan memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan PPN, mengingat konsumsi barang mewah cenderung meningkat pada kelompok masyarakat atas. Dengan penyesuaian penghitungan nilai lain sebagai DPP (sebesar 11/12 dari harga jual atau nilai impor), negara dapat memitigasi potensi kebocoran pajak,” kata Josua, Rabu.
Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa kebijakan ini juga berpotensi memberikan dampak langsung berupa pembiayaan program sosial yang lebih besar melalui peningkatan pendapatan negara. Dana ini dapat digunakan untuk subsidi dan program bantuan sosial yang mendukung kelompok rentan.
Meski tarif PPN naik, Josua mengatakan bahwa penerapan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yang lebih rendah (selama periode awal) memberikan ruang bagi konsumen akhir untuk beradaptasi dengan kebijakan ini.
“Kebijakan ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan pendapatan negara sekaligus mendukung pembangunan ekonomi,” imbuh dia.
Namun, agar dampak positif dirasakan oleh masyarakat menengah ke bawah, ia mengingatkan, pemerintah perlu memastikan penggunaan dana tambahan ini untuk program-program yang pro-rakyat. Langkah mitigasi inflasi juga diperlukan agar daya beli masyarakat tetap terjaga.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bakal mencari sumber penerimaan baru mengingat berkurangnya potensi penerimaan dari PPN. Sebelumnya, Kementerian Keuangan memperkirakan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen terhadap barang dan jasa umum akan memberikan setoran ke negara hingga Rp75 triliun.
Namun, proyeksi itu berubah lantaran Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk membatasi barang dan jasa yang terkena tarif PPN 12 persen hanya mencakup barang mewah.
“Kami akan optimalisasi penerimaan. Karena ada sesuatu yang hilang, maka kami harus optimalisasi di sisi yang lain,” ujar Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo saat konferensi pers di Jakarta, Kamis.
Dia menyebutkan ekstensifikasi dan intensifikasi akan menjadi fokus utama DJP dalam menggali potensi penerimaan pajak pada tahun ini. Ekstensifikasi pajak adalah kegiatan pengawasan yang dilakukan DJP terhadap wajib pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif, namun belum mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara intensifikasi pajak adalah kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah tercatat atau terdaftar dalam administrasi DJP dan dari hasil pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak.
Sebelumnya, proyeksi penerimaan negara senilai Rp75 triliun dari PPN 12 persen diungkapkan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu saat ditemui usai konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif & Berkelanjutan di Kantor Kemenko Perekonomian Jakarta, Senin (16/12/2024).
Dalam konferensi pers itu, Pemerintah menetapkan tarif PPN naik menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pengecualian tarif PPN 12 persen hanya berlaku pada barang dan jasa pokok yang dibebaskan dari pengenaan PPN serta tiga komoditas yang diberikan fasilitas PPN ditanggung pemerintah (DTP).
Untuk barang dan jasa lainnya, tarif yang dikenakan yaitu 12 persen. Namun, pada 31 Desember 2024, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan tarif PPN 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah.
Adapun barang dan jasa yang dikenakan tarif PPN 12 persen merupakan barang jasa yang sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Kementerian Keuangan kemudian merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024 yang mengatur tentang kebijakan tersebut, yang diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada hari yang sama.