Rupiah Masih Berada di Rp 16.000 Tertekan Dolar AS atas Kebijakan Proteksionisme Trump
Rupiah melemah 66 poin atau 0,41 persen menuju level Rp 16.198 per dolar AS.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih terpantau berada di level psikologis Rp 16.000-an per dolar AS. Pengamat menilai Mata Uang Garuda terus tertekan penguatan dolar AS atas kebijakan proteksionisme Presiden terpilih Donald Trump.
Mengutip Bloomberg, rupiah melemah 66 poin atau 0,41 persen menuju level Rp 16.198 per dolar AS pada penutupan perdagangan Kamis (2/1/2025). Pada perdagangan sebelumnya, rupiah berada di posisi Rp 16.173 per dolar AS.
“Presiden AS yang akan datang Donald Trump telah berjanji untuk mengenakan tarif tambahan pada China, yang diperkirakan akan memicu potensi perang dagang AS-China tahun ini setelah Trump menjabat akhir bulan ini,” kata Pengamat Mata Uang yang juga Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, Kamis (2/1/2025).
Selain itu, Ibrahim menyebut sentimen dari Bank Sentral AS/ The Federal Reserve mengenai kebijakan suku bunga yang cenderung hawkish juga memberi tekanan kepada rupiah.
“Pertemuan Federal Reserve pada bulan Desember mengisyaratkan lebih sedikit pemotongan pada 2025 karena inflasi tetap menjadi perhatian utama, yang selanjutnya meredam prospek pasar Asia,” jelasnya.
Di sisi lain, sentimen eksternal yang memengaruhi pasar mata uang domestik adalah kabar dari Korea Selatan dan China. Korea Selatan diketahui mengalami krisis politik yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah Presiden Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer pada 3 Desember 2024 lalu, yang dengan cepat ditarik kembali karena tekanan parlemen. Selanjutnya, Yoon dimakzulkan dan diskors dari jabatannya pada Desember, menghadapi tuduhan pemberontakan dan penyalahgunaan kekuasaan. Pengadilan Seoul telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadapnya.
Adapun di China, aktivitas manufaktur Tiongkok mengalami pertumbuhan yang lebih lemah dari yang diantisipasi pada Desember, menurut data indeks manajer pembelian swasta (PMI) yang dirilis pada Kamis, yang menunjukkan bahwa dampak dari langkah-langkah stimulus baru-baru ini memudar. Hasil PMI Caixin mengikuti data pemerintah awal minggu ini, yang juga mengindikasikan bahwa sektor manufaktur berkembang pada Desember tetapi dengan kecepatan di bawah ekspektasi.
Sentimen Dalam Negeri
Sementara itu, Ibrahim menilai beberapa faktor dalam negeri yang memengaruhi berfluktuasinya rupiah. Mulai dari data manufaktur hingga update angka inflasi. Namun, rupiah melemah di tengah data-data tersebut yang bergerak positif, menunjukkan sentimen eksternal lebih dominan memberi pengaruh.
Tercatat, Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur Indonesia kembali ekspansif usai berada di zona kontraksi selama lima bulan beruntun. Berdasarkan laporan terbaru S&P Global, Kamis (2/1/2025), PMI manufaktur Indonesia menguat ke level 51,2 pada Desember 2024 dari sebelumnya terkontraksi di 49,6 pada November 2024. Indeks kinerja manufaktur ini merupakan yang tertinggi sejak Mei 2024.
Kenaikan PMI tersebut didorong oleh kenaikan volume produksi dan permintaan baru secara bersamaan. Secara keseluruhan, produksi naik pada tingkat sedang. Namun, pada laju lebih cepat dibandingkan November 2024. Permintaan pasar secara umum dilaporkan menguat, baik di dalam maupun luar negeri. Volume penjualan ekspor baru naik, meski marginal, untuk pertama kali hanya dalam waktu kurang dari satu tahun.
“Perekonomian manufaktur Indonesia berakhir pada 2024 dengan catatan positif. Ekspansi untuk pertama kali sejak pertengahan tahun menunjukkan bahwa penjualan dan output naik. Terlebih lagi, besar harapan bahwa tren positif ini akan berlanjut. Dan banyak perusahaan optimistis produksi naik pada tahun ini, karena kondisi makro ekonomi stabil dan daya beli klien membaik sehingga lapangan kerja dan aktivitas pembelian naik,” ujar Ibrahim.
Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (2/1/2025) mengumumkan inflasi mencapai 0,44 persen (month to month/mtm) dan 1,57 persen (year on year/yoy) pada Desember 2024. Inflasi tahunan (yoy) yang tercatat pada Desember juga menjadi inflasi pada tahun berjalan.
Dengan hanya mencatat inflasi 1,57 persen, inflasi 2024 akan menjadi yang terendah dalam sejarah Indonesia. Sebagai catatan, inflasi terendah yang pernah dicatat BPS sebelumnya adalah pada 2020 yakni 1,68 persen. Rendahnya inflasi 2024 disebabkan sejumlah faktor mulai dari melemahnya daya beli serta melandainya harga bahan pangan pokok setelah terbang pada 2022 dan 2023.
“Untuk perdagangan besok (Jumat, 3 Januari 2025), mata uang rupiah diperkirakan fluktuatif, namun ditutup melemah di rentang Rp 16.180—Rp 16.270 per dolar AS,” tutup Ibrahim.