Inflasi Rendah, Daya Beli Melemah, Dampak Terburuk Dialami Kelas Menengah

Pada Kuartal IV 2023, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,46 persen (yoy)

ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho
Warga memilih makanan saat mengunjungi pasar malam dalam Tradisi Dandangan di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (5/3/2024). Tradisi setahun sekali yang berlangsung hingga Ahad (10/3) tersebut diikuti 680 pedagang dengan menjual berbagai produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari berbagai daerah untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan 1445 Hijriah sekaligus upaya mendukung UMKM naik kelas.
Rep: Dian Fath Risalah Red: Lida Puspaningtyas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inflasi Indonesia yang mencatat rekor terendah sepanjang sejarah di angka 1,57 persen pada 2024, diterjemahkan sebagai sinyal melemahnya daya beli masyarakat. Turunnya konsumsi rumah tangga, terutama di kalangan kelas menengah, menjadi sorotan para ekonom karena berpotensi memperlambat pemulihan ekonomi.

Baca Juga


Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) Tira Mutiara menyatakan, lemahnya daya beli masyarakat terlihat dari stagnasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang selalu lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi sejak kuartal IV 2023.

“Pada kuartal IV 2023, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,46 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,04 persen. Tren ini berlanjut sepanjang 2024, dengan konsumsi rumah tangga hanya tumbuh di kisaran 4,91 persen (yoy),” ungkap Tira dalam keterangan, Jumat (3/1/2025).

Mirisnya, kelas menengah, yang selama ini menjadi pilar konsumsi domestik, menjadi kelompok paling terdampak. Survei konsumen Bank Indonesia menunjukkan penurunan signifikan pada Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) untuk kelompok dengan pengeluaran Rp 3,1 juta hingga Rp 5 juta.

“Kelompok dengan pengeluaran Rp 3,1 juta–Rp 4 juta mengalami penurunan IKK tertinggi sebesar 5,7 poin pada Oktober 2024. Penurunan ini mencerminkan lemahnya daya beli kelas menengah,” jelas Tira.

Melemahnya kelas menengah ini tak hanya berdampak pada konsumsi, tetapi juga berimbas pada pelambatan sektor usaha yang bergantung pada belanja domestik.

“Kelas menengah memiliki kecenderungan belanja lebih tinggi dari kelas atas, tetapi dengan pendapatan yang lebih stabil dibanding kelas bawah. Penurunan daya beli mereka menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi,” tambahnya.

Salah satu penyebab melemahnya daya beli adalah ketidakpastian kebijakan ekonomi pemerintah, terutama terkait rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Meski kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan, ketidakpastian yang ditimbulkan memengaruhi pola konsumsi masyarakat.

“Masyarakat memilih menahan konsumsi besar sebagai langkah antisipasi terhadap potensi kenaikan harga akibat PPN. Sikap wait and see ini diperkuat oleh kecenderungan masyarakat untuk menghindari risiko kerugian di tengah ketidakpastian ekonomi,” ujar Tira.

Tira menekankan, pemerintah harus segera memberikan kepastian dalam kebijakan ekonomi untuk memulihkan daya beli masyarakat.

“Sinyal positif dan kepastian dari pemerintah sangat diperlukan untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian,” katanya.

Dengan kontribusi konsumsi rumah tangga mencapai lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), daya beli masyarakat menjadi kunci bagi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah diharapkan segera mengambil langkah konkret agar pemulihan ekonomi tidak terhambat oleh lemahnya konsumsi domestik.

Kelas menengah tergerus, ekonomi terancam - (Dok Republika)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler