Bukan Muhammad, Ini Nabi Terbanyak Disebut Allah dalam Alquran Plus Situs Peninggalannya
Melalui Alquran yang diturunkan kepada Muhammad, Allah mengungkap kisah banyak nabi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kitab Suci Alquran yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad, ternyata paling banyak menyebut nama nabi sebelum putra Abdullah. Ya, Nabi Musa. Allah menyebut Musa yang berjuluk kalimullah hingga 136 kali.
Di dalam Surah al-Kahfi, Nama Nabi Musa disebut hingga 13 kali. Di antara ayat tersebut mengisahkan pertemuan Musa dengan Khidir sebagai berikut:
قَالَ لَهُۥ مُوسَىٰ هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَىٰٓ أَن تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
qāla lahụ mụsā hal attabi’uka ‘alā an tu’allimani mimmā ‘ullimta rusydā
Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (ayat 66)
قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا
Qāla innaka lan tastaṭī’a ma’iya ṣabrā
Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku (ayat 67).
Ayat selanjutnya menjelaskan perilaku Nabi Khidir yang diberikan bocoran oleh Allah terkait beberapa fenomena yang akan terjadi di masa depan, sehingga dia bersama Nabi Musa dapat melakukan sesuatu bermanfaat dan mencegah kemungkaran.
Kelanjutan kisah Musa bersama Khidir tertulis dalam ayat berikut ini yang mudah kita pahami bersama tanpa merujuk kitab tafsir.
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَا رَكِبَا فِى ٱلسَّفِينَةِ خَرَقَهَا ۖ قَالَ أَخَرَقْتَهَا لِتُغْرِقَ أَهْلَهَا لَقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا إِمْرًا
fanṭalaqā, ḥattā iżā rakibā fis-safīnati kharaqahā, qāla a kharaqtahā litugriqa ahlahā, laqad ji`ta syai`an imrā
Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar (ayat 71).
قَالَ أَلَمْ أَقُلْ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا
qāla a lam aqul innaka lan tastaṭī’a ma’iya ṣabrā
Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku” (ayat 72).
قَالَ لَا تُؤَاخِذْنِى بِمَا نَسِيتُ وَلَا تُرْهِقْنِى مِنْ أَمْرِى عُسْرًا
qāla lā tu`ākhiżnī bimā nasītu wa lā tur-hiqnī min amrī ‘usrā
Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku” (ayat 73).
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَا لَقِيَا غُلَٰمًا فَقَتَلَهُۥ قَالَ أَقَتَلْتَ نَفْسًا زَكِيَّةًۢ بِغَيْرِ نَفْسٍ لَّقَدْ جِئْتَ شَيْـًٔا نُّكْرًا
fanṭalaqā, ḥattā iżā laqiyā gulāman fa qatalahụ qāla a qatalta nafsan zakiyyatam bigairi nafs, laqad ji`ta syai`an nukrā
Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar” (ayat 74).
۞ قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا
qāla a lam aqul laka innaka lan tastaṭī’a ma’iya ṣabrā
Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” (ayat 75)
قَالَ إِن سَأَلْتُكَ عَن شَىْءٍۭ بَعْدَهَا فَلَا تُصَٰحِبْنِى ۖ قَدْ بَلَغْتَ مِن لَّدُنِّى عُذْرًا
qāla in sa`altuka ‘an syai`im ba’dahā fa lā tuṣāḥibnī, qad balagta mil ladunnī ‘użrā
Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku” (ayat 76).
فَٱنطَلَقَا حَتَّىٰٓ إِذَآ أَتَيَآ أَهْلَ قَرْيَةٍ ٱسْتَطْعَمَآ أَهْلَهَا فَأَبَوْا۟ أَن يُضَيِّفُوهُمَا فَوَجَدَا فِيهَا جِدَارًا يُرِيدُ أَن يَنقَضَّ فَأَقَامَهُۥ ۖ قَالَ لَوْ شِئْتَ لَتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْرًا
fanṭalaqā, ḥattā iżā atayā ahla qaryatinistaṭ’amā ahlahā fa abau ay yuḍayyifụhumā fa wajadā fīhā jidāray yurīdu ay yangqaḍḍa fa aqāmah, qāla lau syi`ta lattakhażta ‘alaihi ajrā
Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu” (ayat 77).
قَالَ هَٰذَا فِرَاقُ بَيْنِى وَبَيْنِكَ ۚ سَأُنَبِّئُكَ بِتَأْوِيلِ مَا لَمْ تَسْتَطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
qāla hāżā firāqu bainī wa bainik, sa`unabbi`uka bita`wīli mā lam tastaṭi’ ‘alaihi ṣabrā
Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya (ayat 78).
أَمَّا ٱلسَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَٰكِينَ يَعْمَلُونَ فِى ٱلْبَحْرِ فَأَرَدتُّ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَآءَهُم مَّلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
ammas-safīnatu fa kānat limasākīna ya’malụna fil-baḥri fa arattu an a’ībahā, wa kāna warā`ahum malikuy ya`khużu kulla safīnatin gaṣbā
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera (ayat 79).
وَأَمَّا ٱلْغُلَٰمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن يُرْهِقَهُمَا طُغْيَٰنًا وَكُفْرًا
wa ammal-gulāmu fa kāna abawāhu mu`minaini fa khasyīnā ay yur-hiqahumā ṭugyānaw wa kufrā
Adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran (ayat 80).
فَأَرَدْنَآ أَن يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِّنْهُ زَكَوٰةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
fa aradnā ay yubdilahumā rabbuhumā khairam min-hu zakātaw wa aqraba ruḥmā
Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya/ayat 81).
وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أأَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِى ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْههِ صَبْرًا
wa ammal-jidāru fa kāna ligulāmaini yatīmaini fil-madīnati wa kāna taḥtahụ kanzul lahumā wa kāna abụhumā ṣāliḥā, fa arāda rabbuka ay yablugā asyuddahumā wa yastakhrijā kanzahumā raḥmatam mir rabbik, wa mā fa’altuhụ ‘an amrī, żālika ta`wīlu mā lam tasṭi’ ‘alaihi ṣabrā
Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”. (ayat 82)
Situs peninggalan Nabi Musa
Berbagai upaya dilakukan untuk menguak sejarah Nabi Musa. Bagaimanapun, Musa AS adalah sosok nabi yang mendapat tempat berharga dalam sejarah tiga agama samawi, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam. Musa diperintahkan berdakwah dan memimpin Bani Israel bersama saudaranya Harun. Selain itu, Musa AS juga mempunyai misi untuk menegakkan tauhid kepada penguasa Mesir ketika itu, yakni Firaun. Berikut ini beberapa jejak Nabi Musa yang bisa ditelusuri hingga saat ini.
Lokasi penyeberangan
Meski saat ini belum bisa dipastikan di manakah lokasi tepat titik penyeberangan itu, Nuweiba diyakini oleh sejumlah peneliti sebagai lokasi itu. Nuweiba berada di Teluk Aqaba. Pada 1978, penyelam dari Amerika Serikat mengaku mengambil foto roda kereta mesir kuno.
Selain Nuweiba, ada juga yang berpendapat bahwa titik penyeberangan itu ada di Delta Nil dan Laut Merah atau juga di Danau Timsah, sebelah utara Teluk Suez. Alquran mengabadikan kisah penyeberangan ini dalam surah asy-Syu'ara ayat 60-67. Sehingga dengan demikian, maka di lokasi ini pula bala tentara Firaun tenggalam, tetapi jasad penguasa Mesir itu selamat dan utuh.
Puncak Sinai
Di perbukitan Sinai inilah, Nabi Musa berbicara dengan Allah SWT. Kisah tersebut diabadikan dalam Alquran surah Thaha ayat 9-14 atau menerima sepuluh wasiat kebajikan menurut kepercayaan Yahudi. Puncak bukit ini menghitam, konon—berdasarkan sejumlah sumber sejarah—akibat tak mampu menahan nur Ilahi.
Lokasi bukit ini terletak di Sinai Selatan. Bukit yang memiliki ketinggian 2.285 m dari permukaan laut ini memiliki keistimewaan tersendiri. Allah SWT bersumpah demi bukit ini, seperti yang tertuang di surah at-Tiin ayat 2. “Dan demi Bukit Sinai.”
12 Mata Air
Situs ini terletak di perbatasan Provinsi Suez dan perbukitan Sinai, 165 KM dari ibu kota Mesir, Kairo. Sumber mata air ini adalah peninggalan Musa AS, setelah Allah SWT memerintahkan untuk memukulkan tongkatnya.
Keluarlah 12 mata air dengan volume air melimpah yang menyelamatkan rombongan Bani Israil pimpinan Musa dari bencana kehausan, pascapelarian dari kejaran Fir'aun. (QS al-Baqarah [2]: 60). Dari kedua belas mata air itu, saat ini hanya lima saja yang mampu bertahan dan cuma satu sumur saja yang berair yakni bi'r as-syekh dengan kedalaman 40 kaki.
Profil
Nabi Musa as lahir pada 1527 SM di tengah keluarga Bani Israil di Mesir. Kala itu, Mesir dikuasai oleh Firaun yang zalim. Musa bin Imran bin Qahat bin Azar bin Lawi bin Yaqub beribukan Yukabad. Saat dewasa, Nabi Musa beristrikan putri Nabi Syuaib, yaitu Shafura.
Sejarah mencatat, keturunan Nabi Yakub, yakni Bani Israil, menetap di Mesir pada masa Nabi Yusuf as, setelah mereka hijrah dari Kan’an (Palestina). Atlas Sejarah Nabi dan Rasul yang ditulis Sami bin Abdullah bin Ah mad al- Maghluts menyebutkan, mere ka adalah orang-orang yang bertauhid dan memegang te guh agama yang dibawa Ibra him as.
Keimanan Bani Israil itu bertolak belakang dengan kaum Firaun yang menyembah berhala dan patung. Hari demi hari, tahun demi tahun, perkembangan Bani Israil di Mesir menimbulkan kekha watiran di benak Firaun. Ma ka, sikap dan perilaku sewe nang-wenang ditimpakan Firaun kepada mereka.
Di tengah kondisi sulit bagi Bani Israil ini, lahirlah Musa as. Saat itu, sang ibu, Yukabad, menyembunyikan perihal kelahiran anaknya yang ternyata berjenis kelamin laki-laki. Padahal, saat itu, Firaun telah memerintahkan orang-orangnya untuk membunuh setiap bayi lakilaki Bani Israil. Atas ilham dari Allah SWT, ibu Musa kemudian menghanyutkan bayi nya ke sungai Nil.
Terkait hal ini, Allah ber firman, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia, dan apabila kamu kha watir terhadapnya, maka ha nyutkannya dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan jangan pula bersedih hati karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu dan menjadikannya salah seorang dari para Rasul.’” (QS Al-Qashash: 7).
Janji Allah terbukti. Musa ditemukan oleh keluarga Firaun. Bahkan, atas permin taan teguh sang istri, Firaun mengizinkan mencari wanita untuk menyusuinya hingga mereka menemukan ibunda Musa untuk menyusui bayi itu. Musa kemudian tumbuh di tangan para rabi dan pemuka agama dalam istana Firaun.
Setelah dewasa, Allah menganugerahi Musa hikmah dan ilmu pengetahuan. Ia diutus menjadi nabi dalam sebuah pelarian dari Firaun yang bermaksud menyiksa dirinya dan kaumnya. Saat berada di pegunungan Sinai, Allah menyerunya, “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan di rikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS Thaaha: 14).
Firman itu menjadi pertanda awal kenabian Musa. Allah juga mengutus saudara Musa, Harun bin Imran bin Qahats bin Azar bin Lawi bin Yakub, untuk membantunya. Mereka berdua juga diperintahkan untuk bersifat lembut pada Firaun. Namun, pera ngai Firaun tak berubah de ngan sikap lembut itu. Firaun bahkan mengejek Musa dan Harun serta menuding mereka datang dengan membawa sihir. Allah menurunkan mukji zat nya pada tongkat Musa yang bisa berubah menjadi ular saat Firaun memerintah kan para penyihirnya un tuk melawan Musa.
Firaun kemudian berkonspirasi untuk membunuh Musa dan menyiksa Bani Israil. Menghadapi siksaan yang terus-menerus dari Firaun dan kaumnya, Bani Israil lalu berkumpul di sekitar Musa dan meminta kepada sang Nabi untuk menge luar kan mereka dari Mesir. Mu sa pun membawa mereka me nuju Kan’an melalui daratan Sinai. Firaun dan pasukannya mengejar mereka.
Mukjizat Allah kembali ditunjukkan pada Bani Israil saat Musa menyibak lautan (Laut Merah) sehingga me reka dapat menyeberanginya dengan selamat. Sementara, Firaun, di tengah pengejarannya, ditenggelamkan bersama seluruh kaumnya oleh Allah.