Eks Kepala Mossad Israel: Israel Gagal Capai Tujuan Utama Perang di Gaza Palestina
Israel paling banyak membunuh balita, anak, dan warga sipil Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski Israel sebelumnya habis-habisan membombardir Hamas Palestina, militer negara zionis yang terkenal terbaik di dunia, gagal menghabisi kelompok Hamas di Palestina. Zionis Israel pada akhirnya mengakui bahwa Hamas masih berpengaruh sangat besar dan mengendalikan Gaza Palestina.
Channel 12 Israel memberitakan bahwa tujuan utama perang sebagaimana ditentukan oleh Pemerintah Israel, adalah untuk menghancurkan Hamas. Namun pada kenyataannya, Hamas masih berdiri tegak sekarang. Satu tahun dan 3 bulan perang, IDF telah menewaskan tokoh penting gerakan perlawanan tersebut, namun yang paling banyak mereka bunuh adalah balita, anak, dan orang-orang sipil.
Memang benar bahwa Hamas menerima pukulan yang sangat keras, namun mereka masih tetap berjuang. Faktanya, mereka mengendalikan situasi di Jalur Gaza dan mengelola segala sesuatunya di sana.
Dalam hal ini, mantan kepala Mossad, Tamir Pardo, berbicara di saluran tersebut, mengenang Perang Vietnam di ibu kota, Saigon. Dia berkata, “Pada hari terakhir perang, ada dua perwira berpangkat kolonel, seorang Amerika dan seorang lagi dari Vietnam Utara. Kemudian orang Amerika tersebut berkata kepada perwira tersebut: Orang Vietnam: “Dalam seluruh perang, kami tidak pernah kalah dalam satu pertempuran pun,” yang kemudian dijawab oleh perwira tersebut: “Ini mungkin benar, tetapi ini mungkin benar, tapi besok pagi, kamu Amerika, akan pergi dan kami akan tetap di sini.”
Pardo menekankan, " Perang tidak hanya dimenangkan di medan perang. Medan perang adalah bagian awal dari perang, namun yang terpenting adalah akhirnya."
Dia menunjukkan bahwa "pemerintah Israel bersikeras untuk tidak mengumumkan bagaimana mengakhiri perang, yang merugikan tentara, merugikan prosedur tempur tentara, dan menyebabkan kerugian besar bagi kami, karena Israel tidak mengatakan bagaimana mereka ingin mengakhiri perang."
Jelang gencatan senjata
Pemerintah Gaza, Sabtu (18/1) mengumumkan mereka telah menyelesaikan rencana komprehensif untuk menyikapi perjanjian gencatan senjata antara faksi-faksi Palestina dan Israel, yang dijadwalkan mulai berlaku Ahad (19/1) pagi.
Rencana tersebut “bertujuan untuk secara bertahap mengembalikan situasi normal di wilayah tersebut, termasuk langkah-langkah darurat di lapangan, terutama mengamankan area yang terdampak dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga,” kata Kantor Media Gaza dalam sebuah pernyataan.
Pernyataan itu menjelaskan bahwa tim-tim khusus dari berbagai kementerian dan lembaga pemerintah akan mulai melaksanakan rencana tersebut di lapangan untuk memastikan keselamatan warga dan memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Polisi Palestina akan bertugas menjaga keamanan dan ketertiban sedangkan pemerintah kota akan menangani pembersihan area yang terdampak, membuka kembali jalan, dan memperbaiki infrastruktur, termasuk sistem air dan listrik.
Pemerintah Gaza menegaskan kesiapan lembaganya untuk melaksanakan langkah-langkah tersebut, dengan tim-tim lapangan khusus dari berbagai kementerian yang akan mengawasi pelaksanaan rencana itu agar kehidupan warga dapat kembali normal secepat mungkin.
Qatar mengumumkan kesepakatan gencatan senjata tiga tahap, Rabu (15/1) malam, untuk mengakhiri lebih dari 15 bulan serangan genosida Israel di Jalur Gaza.
Gencatan senjata ini dijadwalkan mulai berlaku pada pukul 08.30 waktu setempat (06.30 GMT) pada Minggu.
Menurut otoritas kesehatan setempat, hampir 47.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas, dan lebih dari 110.700 lainnya terluka akibat perang genosida Israel di Gaza sejak 7 Oktober 2023.
Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas perang yang dilancarkan di wilayah tersebut.
Lebanon dan Presiden Prancis
Presiden Lebanon Joseph Aoun menekankan pentingnya penarikan pasukan Israel dari wilayah selatan Lebanon dalam tenggat waktu yang telah ditetapkan oleh perjanjian gencatan senjata.
Pernyataannya disampaikan dalam pertemuan dengan Presiden Prancis, Emmanuel Macron, di Istana Kepresidenan di Baabda, sebelah timur Beirut, pada Jumat (17/1), sebagaimana dilaporkan Kantor Berita Nasional Lebanon.
Aoun menyoroti pentingnya memperkuat gencatan senjata yang mulai berlaku pada 27 November 2024 dan memastikan Israel menarik diri dari wilayah yang masih diduduki dalam jangka waktu 60 hari.
Ia juga menyerukan pembebasan tawanan Lebanon yang ditahan oleh Israel serta rekonstruksi desa-desa yang hancur akibat agresi terbaru Israel.
Berdasarkan ketentuan gencatan senjata, Israel diwajibkan menarik pasukannya ke selatan Garis Biru – batas wilayah de facto – secara bertahap, sementara tentara Lebanon akan dikerahkan ke wilayah selatan Lebanon dalam kurun waktu 60 hari.
Data dari Kementerian Kesehatan Lebanon menunjukkan bahwa sejak serangan Israel ke Lebanon dimulai pada 8 Oktober 2023, setidaknya 4.068 orang tewas, termasuk perempuan, anak-anak, dan petugas kesehatan, sementara 16.670 lainnya terluka.
Namun, pihak berwenang Lebanon melaporkan telah terjadi lebih dari 564 pelanggaran gencatan senjata oleh Israel, yang menyebabkan 37 orang tewas dan 45 lainnya terluka.
Dalam pembicaraan dengan Macron, Aoun juga mendesak perusahaan energi Prancis, Total, untuk melanjutkan eksplorasi minyak di blok-blok lepas pantai Lebanon.
Selain itu, Presiden Lebanon menyatakan minatnya untuk menghadiri KTT Uni Eropa yang dijadwalkan berlangsung pada Maret 2025 sebagai tanggapan atas undangan dari Pemimpin Administrasi Siprus Yunani, Nikos Christodoulides, yang berkunjung ke Beirut pada 10 Januari lalu.
Aoun menyampaikan terima kasih kepada Macron atas upaya Prancis membantu Lebanon, termasuk melalui kerja utusan khusus Jean-Yves Le Drian dan Komite Quintet, dalam menyelesaikan kekosongan jabatan presiden yang berkepanjangan dan memfasilitasi pemilihannya setelah lebih dari dua tahun kebuntuan politik.
Parlemen Lebanon memilih Aoun sebagai presiden pada 9 Januari. Empat hari kemudian, ia menunjuk hakim Nawaf Salam untuk membentuk pemerintahan baru.
Kunjungan Macron tersebut merupakan kunjungan kepala negara pertama ke Lebanon sejak Aoun terpilih.
Presiden Prancis itu juga mengadakan pertemuan terpisah dengan Perdana Menteri Interim Najib Mikati, Ketua Parlemen Nabih Berri, dan Perdana Menteri Terpilih Nawaf Salam.
Dalam pernyataan resmi, kepresidenan Prancis menyebutkan bahwa kunjungan itu bertujuan mendukung kedaulatan, kemakmuran, dan persatuan Lebanon.
Prancis memainkan peran penting dalam Komite Quintet yang mengawasi pelaksanaan gencatan senjata yang melibatkan Amerika Serikat, Lebanon, Israel, dan pasukan penjaga perdamaian PBB (UNIFIL).
Prancis juga memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Lebanon, yang berakar dari mandatnya atas negara tersebut pada 1920 hingga 1943.
- mossad
- israel
- Palestina
- gaza
- tel aviv
- netanyahu
- amerika serikat
- operasi badai al aqsa
- thufan al aqsa
- two state solution israel dan palestina
- solusi dua negara palestina dan israel
- perdamaian di palestina
- hamas
- hizbullah
- IDF
- israel defense force
- bantuan untuk palestina
- bantuan untuk gaza
- bantuan kemanusiaan
- bantu palestina