Di Balik Ungkapan Penutup Ceramah
Ada kontribusi KH Ahmad Abdul Hamid memopulerkan dua perkataan penutup ceramah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian umat Islam, khususnya warga Nahdliyin, tidak merasa asing dengan ungkapan “billahit taufiq wal hidayah” dan “wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thariq.” Keduanya kerap dijumpai pada bagian akhir ceramah atau surat-menyurat yang bertema keagamaan. Biasanya, ujaran itu disampaikan tepat sebelum salam penutup, baik dalam kesempatan formal maupun informal.
Ternyata, KH Ahmad Abdul Hamid merupakan yang pertama kali memperkenalkan pemakaian dua ujaran tersebut. Pada 1960-an, mubaligh kelahiran Kendal, Jawa Tengah, itu mula-mula menciptakan “billahit taufiq wal hidayah”, sebelum “wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thariq.”
Awalnya, para kiai Nahdlatul Ulama (NU) marak menggunakan kalimat tersebut. Lama kelamaan, ungkapan itu kian populer di tengah masyarakat. Bahkan, tak sedikit pejabat negara yang menutup pidatonya dengan perkataan tersebut.
Akhirnya, Kiai Ahmad menggagas ungkapan lainnya, yakni “wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thariq.” Kata-kata itu dirasakan cukup sulit untuk ditirukan kalangan non-Nahdliyin.
Baginya, penggunaan kalimat penutup itu dirasakan perlu untuk menjadi ciri khas kiai dan warga NU. Secara kebahasaan, kalimat tersebut berarti ‘Dan Allah adalah Zat yang memberikan petunjuk ke jalan yang selurus-lurusnya.” Hingga saat ini, ide sang alim kelahiran tahun 1915 itu terus menjadi kalimat penutup salam ala Nahdliyin.
Kreativitas Kiai Ahmad tidak hanya di sana. Sebab, dirinya masyhur dengan reputasi keilmuannya, termasuk dalam berkarya. Di sepanjang hayatnya, ia telah menghasilkan banyak kitab, baik dalam bahasa Indonesia, Jawa, maupun Sunda. Mayoritasnya menggunakan aksara Arab-Pegon. Di samping menulis langsung, ia juga tak jarang menerjemahkan berbagai kitab dari bahasa Arab.
Di antara karya-karyanya adalah I’anatul Muhtaj fi Qisshati al-Isra’ wal Mi’raj; Risalatun Nisa’- Risalah al-Huquq al-Zaujain; Tashilut Thariq; dan Fasholatan Jawa.
Selanjutnya, ada pula Fasholatan Sunda, Sabilul Munji Fi Tarjamati Maulid al-Barzanji, Risalatus Shiyam, serta Terjemah Yasin, Waqi’ah dan al-Mulk. Secara khusus, sang kiai juga mengarang Miftahud Da’wah Wat-Ta’lim. Buku yang terdiri atas dua jilid itu berisi beberapa tema pembelaan terhadap amaliah Nahdliyin, semisal tahlil, tawassul, ziarah kubur, talqin, dan sebagainya.
Buah tangan ulama tersebut sangat digemari masyarakat. Hal itu terbukti dengan kesuksesan pihak yang menerbitkan bukunya. Ambil contoh, PT Karya Toha Putra, yang terkenal sebagai penerbit buku tuntunan shalat hingga puluhan juta eksemplar. Pada mulanya, perusahaan itu mencetak dan menyalurkan buku Yasin Tahlil karya sang alim yang pernah berguru selama empat tahun di Makkah al-Mukarramah itu.
KH Ahmad Abdul Hamid wafat pada 16 Syawal 1418 H, bertepatan dengan 14 Februari 1998. Kepergiannya meninggalkan duka bagi Muslimin, khususnya Jam’iyah NU. Lautan manusia mengiringi pemakaman sang pengasuh Pondok Pesantren al-Hidayah Kendal itu.