Plengkung Gading Bakal Ditutup, Tengok Dulu Sejarahnya di Keraton Yogyakarta
Dilihat modelnya, Benteng Keraton meniru sistem perbentengan Belanda di Batavia.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Silvy Dian Setiawan
Kabar penutupan Plengkung Gading yang berlokasi di Patehan, Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta, DIY, ramai menjadi perbincangan di media sosial. Plengkung Gading sendiri merupakan pintu atau gerbang yang melengkung berwarna putih, yang mana menghubungkan Jalan MT Haryono dan kawasan yang ada dalam Beteng (Benteng) Keraton Yogyakarta.
Plengkung berdiri di sebelah selatan Alun-Alun Selatan Yogyakarta, yang juga disebut sebagai Plengkung Nirbaya. Plengkung Gading juga merupakan salah satu dari lima Plengkung Keraton Yogyakarta yang menjadi sarana keluar masuk Beteng Keraton Yogyakarta.
Selain Plengkung Gading, empat plengkung lainnya adalah Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan di sebelah timur laut, Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem di sebelah barat laut, Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari di sebelah barat, dan Plengkung Madyasura atau Plengkung Gondomanan di sebelah timur. Plengkung Madyasura kadang disebut juga Plengkung Tambakbaya atau Plengkung Buntet (tertutup).
Pada tiap Plengkung terdapat jembatan gantung yang dapat ditarik ke atas, sehingga Plengkung tertutup dan jalan masuk ke dalam benteng terhalang oleh jagang. Semula, Plengkung ini terbuka dari pukul 06.00 WIB hingga 18.00 WIB. Namun, jam buka ini kemudian dilonggarkan menjadi 05.00 WIB hingga 20.00 WIB, ditandai dengan bunyi genderang dan terompet dari prajurit di Kemagangan.
Humas Keraton Yogyakarta, Vinia R Prima mengatakan, desain Benteng Keraton Yogyakarta berbeda dibanding benteng-benteng kerajaan Mataram Islam sebelumnya. Terutama tampak pada gerbang-gerbang yang tersebar di segala penjuru Beteng.
Benteng Keraton Yogyakarta juga disebut sebagai tembok Baluwarti, yang merupakan tembok yang mengelilingi kawasan Keraton. Sri Sultan Hamengku Buwono I atau Pangeran Mangkubumi merupakan sosok yang merancang benteng ini, dan dulunya ia belajar banyak dari jatuhnya ibukota Mataram-Kartasura ke tangan pemberontak pada peristiwa Geger Pacina/Perang Cina pada 1740-1743.
Dalam peristiwa itu, pasukan Pemberontak Cina dan Jawa bergabung melawan VOC. Mereka menyerbu dan merebut Keraton Kartasura karena memandang bahwa Sri Susuhunan Paku Buwono II (1727-1749) memihak VOC.
"Dilihat dari modelnya yang mirip dengan benteng-benteng Eropa, kemungkinan besar Benteng Keraton meniru sistem perbentengan Belanda di Batavia yang sempat diamati oleh Patih Kadipaten, Mas Tumenggung Wiroguno selama kunjungannya ke sana pada awal 1780-an,” kata Vinia kepada Republika.co.id di Yogyakarta, Rabu (22/1/2025).
Dibandingkan dengan bangunan-bangunan lain yang ada di Keraton Yogyakarta, tembok Baluwarti yang awalnya hanya berupa pagar dari kayu, merupakan bagian paling akhir yang diselesaikan oleh Pangeran Mangkubumi. Benteng ini selesai dibangun pada tahun Jawa 1706 atau tahun 1782 Masehi.
Pembangunan benteng dipimpin oleh R Rangga Prawirasentika Bupati Madiun, kemudian dilanjutkan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom yang di kemudian hari bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono II. Sri Sultan Hamengku Buwono II pun masih memperkuat lagi Benteng Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahannya.
Saat itu, ia merasa bahwa ketegangan dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda semakin meningkat dan peperangan akan segera terjadi. Sultan kemudian memanfaatkan kehadiran rombongan pekerja yang datang saat acara Garebeg Puasa untuk memperkuat pertahanan Keraton.
Pada 13 November 1809, keempat sudut benteng dibuat menonjol keluar. Keempat sudut benteng ditambah dengan bangunan baru, sehingga berwujud segi lima. Pada ketiga sudut yang menjorok keluar diberi semacam sangkar sebagai tempat penjagaan yang disebut bastion.
Bentuknya seperti tabung dengan lubang-lubang kecil untuk mengintai. Pada dinding antar bastion, diberi longkangan sebanyak sepuluh buah sebagai tempat memasang meriam. Bangunan baru itu disebut juga sebagai Tulak Bala, yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Pojok Beteng, atau kadang disingkat sebagai Jokteng.
Namun, salah satu sudut benteng ini kemudian hancur saat Perang Geger Sepehi pada 20 Juni 1812. Bala tentara Inggris yang saat itu menguasai Jawa, dan menyerang Keraton Yogyakarta.
Mereka berhasil meledakkan gudang mesiu yang berada di Pojok Beteng Timur Laut. Perang ini juga membuat Plengkung Madyasura ditutup secara permanen sebagai bagian dari strategi pertahanan, setelah sebelumnya pihak Keraton Yogyakarta mendengar bahwa pasukan musuh berencana masuk melalui Plengkung tersebut.
Atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), pintu masuk ke dalam benteng di sisi timur baru dibuka lagi tahun 1923 dengan dibongkarnya Plengkung Madyasura. Sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII ini pula Plengkung tidak pernah lagi ditutup. Bahkan, demi memperlancar lalu lintas, Plengkung Jagasura dan Plengkung Jagabaya dirombak menjadi gapura terbuka.
Vinia menuturkan, saat ini sebagian besar Benteng Keraton Yogyakarta telah tertutup oleh pemukiman warga. Bahkan, tidak ada lagi jagang yang tersisa, kalau pun ada hanyalah selokan di sisi Pojok Beteng.
“Tidak diketahui dengan pasti kapan bangunan benteng, dan jagang tertutup oleh pemukiman. Namun ada dua peristiwa besar yang dapat dilihat sebagai acuan yakni gempa bumi pada 1867, dan pendudukan Jepang pada 1942-1945," ucap Vinia.
Gempa bumi pada 1867 membuat kerusakan cukup parah di Kota Yogyakarta. Banyak rumah rusak, termasuk rumah para Abdi Dalem. Didorong oleh rasa kemanusiaan, Sri Sultan Hamengkubuwono VI (1855-1877) memperkenankan para Abdi Dalem untuk menempati tempat-tempat terbuka di sisi-sisi benteng dan reruntuhan Tamansari sebagai tempat tinggal sementara.
Rupanya kebijakan ini berlanjut terus sampai dengan keturunan-keturunan dari Abdi Dalem yang bersangkutan. Hal yang sama juga terjadi pada masa pendudukan Kerajaan Jepang, di mana-mana rakyat ketakutan dan mencari perlindungan.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang memerintah waktu itu pun kemudian memutuskan untuk menampung warga di sisi dalam, dan sekitar benteng. Keadaan ini tetap dibiarkan, bahkan ketika masa pendudukan Kerajaan Jepang berakhir.
Dalam perkembangannya, pemukiman ini kemudian merusak benteng yang ada. Ditemukan ada pemilik rumah yang menempel di sisi benteng mengeruk dinding benteng guna menciptakan ruang yang lebih luas untuk rumahnya.
"Ada juga mereka yang menjebol tembok benteng untuk menciptakan akses keluar masuk, yang mana hal ini membuat beberapa bagian benteng tidak lagi terlihat sisanya, dan sepenuhnya tertutup oleh pemukiman," jelas Vinia.
Akibatnya, dari lima buah Plengkung yang ada, hanya tersisa dua yang masih utuh berbentuk gerbang melengkung, yaitu Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan, dan Plengkung Nirbaya atau Plengkung Gading.
Selain itu, Bangunan Tulak Bala yang masih utuh yakni Pojok Beteng Wetan (tenggara), Pojok Beteng Kulon (barat daya), dan Pojok Beteng Lor (barat laut). Sisa tembok benteng yang masih utuh hanya dari Plengkung Gading ke timur, sampai dengan Pojok Beteng Wetan.
"Persis di sebelah timur Pojok Beteng Kulon, dibuka jalan lengkap dengan lampu pengatur lalu lintas, sehingga pintu keluar masuk benteng bertambah," kata Vinia.
Sementara itu, terkait dengan isu akan ditutupnya Plengkung Gading, pihak Keraton pun buka suara. Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan, penutupan dilakukan untuk dilakukannya penataan.
Pasalnya, kawasan tersebut masuk dalam Sumbu Filosofi Yogyakarta. Sumbu Filosofi Yogyakarta sendiri sudah diakui sebagai warisan tak benda dunia pada 2023 lalu oleh UNESCO, sehingga dilakukan penataan di kawasan tersebut.
Meski isu penutupan Plengkung Gading ini sudah beredar di media sosial, namun pihak Keraton Yogyakarta menyebut belum ada keputusan pasti mengenai kapan penutupan akan dilakukan untuk dilakukannya penataan. Dengan begitu, hingga saat ini Plengkung tersebut masih dilewati oleh masyarakat.