Sejarah Berdirinya Nahdlatul Ulama (Bagian II - Habis)

KH Mas Alwi merupakan pengusul nama Nahdlatul Ulama.

ANTARA/M Ibnu Chazar
Santri mengibarkan bendera Merah Putih dan Nahdlatul Ulama saat mengikuti kirab santri di Desa Ciwulan, Telagasari, Karawang, Jawa Barat.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Memasuki tahun 1926, eksistensi Komite Hijaz menginspirasi Kiai Hasbullah. Ia membayangkan adanya sebuah organisasi yang menyatukan alim ulama tradisional di Tanah Air.

Baca Juga


Bagaimanapun, penggubah syair “Ya Lal Wathan” itu tidak berani mendeklarasikan sendiri. Dirinya pun menyampaikan gagasan tersebut kepada gurunya, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.

Kiai Hasyim tidak langsung menerima atau menolak usulan dari muridnya itu. Sang pendiri Pondok Pesantren Tebuireng lantas meminta pertimbangan (istisyarah) dari gurunya, Syaikhona KH Khalil Bangkalan. Sampai di sini, peranan dari sesama santri Kiai Khalil, yakni KH Raden As’ad Syamsul Arifin, amatlah besar.

Ulama yang berdarah bangsawan itu menyampaikan isyarat dari Kiai Khalil kepada pengasuh Pesantren Tebuireng itu. Penanda yang dimaksud ialah tasbih. Tidak sedikit pun tangan Kiai As’ad menyentuh benda yang dikalungkan pada lehernya itu. Ia sendiri menempuh perjalanan darat dari Bangkalan ke Tebuireng dengan berjalan kaki.

“Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” tanya Kiai Hasyim setelah mengambil tasbih dari lingkar leher sahabatnya itu.

Kiai As’ad hanya menjawab dengan berzikir, “Ya Jabbar, Ya Qahhar.” Dua asmaul husna tarsebut diulang-ulangnya sebanyak tiga kali, sesuai pesan Kiai Khalil.

Kiai Hasyim lalu berkata menafsirkan pesan gurundanya itu, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah.”

Ada pula kisah lain. Di samping tasbih dan zikir, isyarat berbeda juga pernah disampaikan kepada Kiai Hasyim. Kisahnya terjadi pada akhir tahun 1924. Kiai As’ad diminta Kiai Khalil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng.

Penyampaian tongkat itu disertai dengan pesan untuk membacakan surah Thaha ayat 17-23 sesampainya di Tebuireng. Firman Allah itu menceritakan mukjizat Nabi Musa AS. Saat Kiai Hasyim menerima kedatangan Kiai As’ad dan mendengarkan ayat tersebut dibacakan, hatinya langsung bergetar.

“Keinginan untuk membentuk jam’iyyah agaknya akan tercapai,” ujarnya sembari meneteskan air mata.

Maka pada 16 Rajab 1344 Hijriyah, atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 M, Kiai Hasyim mengadakan rapat bersama sejumlah ulama di Surabaya, Jawa Timur. Semuanya bersepakat untuk membentuk organisasi.

Mufakat telah dicapai. Hadirin lalu mendiskusikan perihal nama organisasi yang hendak didirikan. Turut serta dalam pertemuan ini ialah Kiai Mas Alwi, yang juga murid Kiai Khalil. Ulama yang berusia 35 tahun itu lantas mengusulkan nama Nahdlatul Ulama.

“Mengapa harus pakai nahdlatul? Kok tidak jam'iyah ulama saja?” tanya Kiai Hasyim.

“Karena tidak semua kiai memiliki jiwa nahdlah (bangkit). Ada kiai yang sekadar mengurusi pondoknya saja, tidak mau peduli terhadap jam'iyah,” jawab Kiai Mas Alwi.

Mendengar jawaban yang mantap itu, hadirin menyatakan setuju. Maka diputuskanlah bahwa nama organisasi ini adalah Nahdlatul Ulama.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler