Ekosistem Gambut dan Mangrove Kunci Penuhi Target Pengurangan Emisi

Pembasahan kembali lahan perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi karbon.

ANTARA FOTO/Auliya Rahman
Sejumlah siswa menanam pohon di hutan kota Nyaru Menteng, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Kamis (28/11/2024). Kegiatan aksi sosial peduli lingkungan dengan menanam pohon buah di lahan tanah gambut yang diinisiasi oleh PLN Unit Induk Pembangunan Kalimantan Bagian Barat tersebut dalam rangka memperingati Hari Menanam Pohon Indonesia serta sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Rep: Lintar Satria Red: Satria K Yudha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian gabungan terbaru menemukan ekosistem gambut dan mangrove dapat menjadi kunci untuk memenuhi target pengurangan emisi negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Hasil temuan tersebut menyebutkan, lebih dari setengah emisi karbon dari penggunaan lahan di Asia Tenggara dapat dimitigasi melalui konservasi dan restorasi pada lahan gambut dan mangrove.

Baca Juga


“Melestarikan dan merestorasi ekosistem gambut dan mangrove yang memiliki cadangan karbon besar di Asia Tenggara dapat memitigasi sekitar 770 megaton CO2 ekuivalen (MtCO2e) per tahun atau setara dengan hampir dua kali lipat emisi gas rumah kaca nasional Malaysia pada tahun 2023. Meskipun kedua ekosistem ini hanya menempati 5,4 persen dari luas daratan Asia Tenggara," kata peneliti dari Centre for Tropical Water and Aquatic Ecosystem Research (TropWATER), James Cook University, Australia, Sigit Sasmito dalam siaran pers Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Selasa (4/2/2025).

Temuan tersebut hasil penelitian terkait perubahan penggunaan lahan dalam kurun waktu 2001–2022, yang berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca (GRK). Asia Tenggara menyumbang sekitar sepertiga emisi karbon global akibat perubahan tata guna lahan, sebagian besar berasal dari hutan rawa gambut tropis dan mangrove termasuk akibat kebakaran.

Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wahyu Catur Adinugroho mengatakan, tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Vietnam menyumbang lebih dari 90 persen emisi di Asia Tenggara dari sumber-sumber emisi tersebut. Menurut Wahyu, besarnya kontribusi emisi ini sejalan dengan luasan ekosistem gambut dan mangrove, dimana Indonesia memiliki luasan terbesar dari kedua ekosistem ini, diikuti oleh Malaysia.

"Walaupun merupakan penyumbang emisi terbesar, Indonesia juga  memiliki potensi mitigasi perubahan iklim terbesar melalui kegiatan konservasi dan restorasi karena negara kita memiliki 3.4 juta ha hutan mangrove dan 13.4 juta ha lahan gambut,” kata Wahyu.

Penelitian yang diterbitkan di Jurnal Nature Communications ini, melibatkan peneliti dari Nanyang University Singapore, James Cook University Australia, Nanyang Technological University Singapore, Queensland University Australia, Institut Pertanian Bogor, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN),  Kementerian Kehutanan, dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN)  serta beberapa peneliti lain.


Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan lahan gambut tropis dan hutan mangrove terluas di dunia. Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim yang juga salah satu kontributor dalam penelitian ini, Haruni Krisnawati mengatakan, kedua ekosistem tersebut memiliki karakteristik fisik dan ekologi yang serupa. Terutama, tanahnya yang jenuh air serta terbatasnya oksigen dalam jangka waktu yang lama.

"Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tingkat dekomposisi bahan organik, sehingga ekosistem ini menjadi penyerap karbon paling efektif di Bumi, menyimpan sejumlah besar karbon di tanah mereka," kata Haruni.  

Selain itu, lebih dari 90 persen cadangan karbon di kedua lahan basah ini tersimpan di tanah, bukan pada berbagai tumbuhan (vegetasi) di atasnya. Artinya, sebagian besar karbon yang tersimpan bersifat “irrecoverable” atau rentan terhadap pelepasan karbon akibat aktivitas manusia dan jika hilang tidak mudah untuk dipulihkan.

Dengan karakteristiknya tersebut, baik lahan gambut maupun mangrove menjadi ekosistem penyerap karbon yang paling efisien di dunia dan menjadi solusi alami yang penting untuk memitigasi perubahan iklim serta membantu negara-negara mencapai target nol karbon.

“Namun ketika lahan gambut dan mangrove terganggu, biasanya karena alih fungsi lahan, mereka akan melepas karbon dalam jumlah besar ke atmosfer,” kata Sigit yang merupakan kepala penelitian ini.

Salah satu penulis artikel dan Senior Manager Karbon Kehutanan dan Iklim YKAN, Nisa Novita mengatakan melestarikan lahan gambut dan mangrove yang masih tersisa serta merestorasi ekosistem lahan basah yang terdegradasi merupakan solusi iklim alami hemat biaya yang dapat membantu negara-negara Asia Tenggara mencapai target pemangkasan emisi yang ditetapkan sendiri (NDC).

“Hal ini khususnya berlaku untuk Indonesia, di mana potensi mitigasi dari konservasi dan pemulihan lahan basah saja dapat melampaui target pengurangan emisi negara tersebut untuk tahun 2030 dalam skenario mitigasi tanpa syarat,” terang Nisa.

Analisis terperinci terkait hal ini dapat dilihat dalam jurnal sebelumnya, yang telah terbit di Environmental Letter. YKAN masih terus menyempurnakan perhitungan emisi gas rumah kaca untuk menilai dampak konservasi dan restorasi khususnya di lahan gambut.

Pengukuran emisi Gas Rumah Kaca dari tanah dan badan air dilakukan di berbagai jenis tutupan lahan di Kalimantan dan Sumatera. Dari pemantauan emisi gas rumah kaca jangka panjang selama beberapa tahun, YKAN melaporkan pembasahan kembali lahan perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi karbon bersih hingga 34 persen.

YKAN juga mengkaji emisi gas dari lahan gambut yang secara hidrologis tidak terganggu di Muara Siran, Provinsi Kalimantan Timur, dan menemukan bahwa lahan gambut alami menghasilkan emisi metana secara signifikan dengan emisi CO2 yang rendah.  Tidak hanya berperan untuk mitigasi perubahan iklim, lahan basah seperti rawa-rawa, gambut dan mangrove juga dikenal sebagai “ginjal” bumi karena mampu memurnikan air.

Lahan basah juga mampu melindungi dari erosi serta menjadi habitat bagi beragam satwa endemik, yang sebagian diantaranya kini terancam punah. Begitu pentingnya keberadaan lahan basah sehingga setiap tanggal 2 Februari diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tipe ekosistem lahan basah yang lengkap, seperti lahan gambut, mangrove, riparian, rawa, hingga sawah. Namun, saat ini belum ada data yang terverifikasi berapa luasan yang sudah terdegradasi dan perlu segera direstorasi.

“Selain dapat memberikan kontribusi besar terhadap perubahan iklim, pemulihan dan perlindungan ekosistem lahan basah juga penting di luar manfaat karbon untuk melindungi mata pencaharian masyarakat dan menjaga keanekaragaman hayati yang tinggi serta beragam ekosistemnya,” kata Nisa.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler