Prabowo Perintahkan Pengecer Bisa Jualan, Tapi di Lapangan LPG 3 Kg Masih Sulit

LGP 3 kg sulit didapat warga. dalam beberapa pekan terakhir.

Edi Yusuf
Warga antre membeli gas 3 kilogram di Jalan Rajawali, Kota Bandung, Selasa (4/2/2025). Masyarakat beberapa hari terakhir ini kesulitan mendapatkan gas elpiji 3 kg setelah ada aturan yang melarang warung pengecer untuk menjual LPG 3kg.
Rep: Kamran Dikarma Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Sejumlah warung pengecer dan pangkalan gas LPG tiga kilogram di Kota Semarang, Jawa Tengah (Jateng), mengaku belum memperoleh pasokan gas dari agen. 

Baca Juga


Padahal Presiden Prabowo Subianto sudah memerintahkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia agar pengecer untuk sementara tetap bisa menjual terlebih dahulu sampai proses menjadi sub pangkalan.

"Gas masih kosong. Agen belum ngantar lagi ke sini," kata Purwanti (41 tahun), seorang pengecer dan pemilik warung di Jalan Kelinci Raya, Kecamatan Gayamsari, Semarang Timur, Jawa Tengah, kepada Republika, Rabu (5/2/2025).

Purwanti mengungkapkan, ketiadaan pasokan dan stok gas LPG tiga kilogram sudah berlangsung hampir sebulan terakhir. "Saya sudah telfon ke agennya, tapi selalu dijawab 'kosong, kosong'. Nanti kalau ada mungkin dikirim," ucapnya.

Di warungnya, Purwanti memiliki 13 tabung gas LPG tiga kilogram atau gas melon yang kosong. Dia mengaku setiap hari selalu ada warga yang menanyakan ketersediaan gas melon di warungnya. Namun sejak tak adanya pasokan dari agen, Purwanti tak bisa memenuhi permintaan mereka. Purwanti menjual gas melon isi ulang Rp21 ribu.

Pemiliki warung dan pengecer gas melon di Kota Semarang lainnya, Subiono (82 tahun), juga mengaku belum memperoleh pasokan dari agen LPG. "Sudah dua minggu yang lalu (tidak ada pasokan)," kata Subiono ketika diwawancara di warungnya di Jalan Gergaji Klopo, Semarang Selatan.

Subiono mengungkapkan, sebelum adanya instruksi pengecer dilarang menjual gas melon, warungnya biasa mendapat suplai dari agen dua kali dalam sepekan. Dalam sekali suplai, dia memperoleh antara tujuh hingga sepuluh gas melon. "Harga dari agen Rp18.500. Saya jual Rp21 ribu," ujarnya.

Subiono pun menyambut kebijakan pemerintah yang kembali mengizinkan pengecer menjual gas melon. Dia juga mengaku siap jika harus menjadi sub-pangkalan. "Nanti kan ada petunjuk, termasuk ini (gas melon) maksimal harus dijual berapa. Kita nurut saja," ucapnya.

Subiono mengatakan, untuk memperoleh gas melon guna kebutuhan keluarganya, dia pun harus berkeliling. "Tadi pagi saya ngantre dari jam 5 pagi di (pangkalan gas) SPBU Jalan Veteran. Dapatnya cuma satu," katanya.

Tak hanya pengecer, kekosongan stok gas melon juga dihadapi pemilik pangkalan. Hal itu dialami Ibu Edi (54 tahun), pemilik pangkalan gas melon di Jalan Veteran, Semarang Selatan. Dia mengatakan, sudah lebih dari sepekan tak memperoleh pasokan.

Di pangkalannya, Ibu Edi menjual gas melon sesuai dengan harga eceran tertinggi, yakni Rp18 ribu. Ibu Edi mengungkapkan, dalam sekali pasokan, dia memperoleh 30 gas melon. "Saya utamakan jual untuk warga di sekitar sini," katanya.

Dalam proses penjualan, Ibu Edi menjatah satu KTP yang mewakili keluarga dengan satu gas melon. "Tapi di sini kan ada yang satu rumah dua keluarga. Jadi saya kasih dua (gas melon)," ujarnya.

Dia menjelaskan, penyertaan KTP pembeli dibutuhkan untuk keperluan administrasi dan laporan sebagai pangkalan. "Kalau saya enggak ngisi laporan nanti disetop (pasokan gas melon)," kata Ibu Edi.

Ibu Edi mengatakan, ketika adanya larangan pengecer menjual gas melon, banyak warga di luar kampungnya mencari gas ke pangkalannya. "Saya juga sering ditelepon atau di-WA 'Ibu ada gas enggak?'" katanya.

Dia mengaku cukup prihatin dengan situasi warga yang harus bersusah payah mencari gas melon. "Intinya kalau pemerintah melarang (pengecer menjual gas melon) seharusnya dikasih solusi yang tepat. Jangan sampai kita sebagai pangkalan juga disalahkan masyarakat," ujar Ibu Edi.

Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah (Jateng) Budyo Darmawan mengatakan saat ini pemerintah memang sedang berusaha memperketat pendistribusian gas LPG tiga kilogram. Sebab gas melon merupakan barang disubsidi pemerintah. Oleh sebab itu pendistribusiannya harus dipantau.

Budyo mengatakan, pendistribusian gas tiga kilogram dilaksanakan oleh Pertamina Patra Niaga dan berkoordinasi dengan dinas ESDM serta dinas perindustrian dan perdagangan. Dia menjelaskan, setelah diproduksi atau diisi ulang di Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE), gas LPG akan didistribusikan ke agen.

Agen kemudian melanjutkan rantai distribusi ke pangkalan. "Dalam tata niaga (pendistribusian gas LPG), sudah terakhir di pangkalan," kata Budyo.

Namun karena masyarakat selalu ingin memperoleh gas LPG dengan akses lebih mudah, muncul pengecer-pengecer. Budyo mengungkapkan, pangkalan menjual gas LPG dengan harga eceran tertinggi (HET). HET gas melon tahun ini yaitu Rp18 ribu. "Harusnya masyarakat mendapatkan harga elpiji itu (dengan harga) segitu," ucapnya.

Namun karena gas LPG di pangkalan diboyong oleh pengecer, harga jual ke masyarakat meningkat. "Kan ada margin. Mereka (pengecer) kan harus ada keuntungan," kata Budyo.

Menurutnya hal itu yang berusaha dibenahi pemerintah. Budyo mengatakan, saat ini pemerintah mendorong para pengecer untuk menjadi pangkalan gas LPG. Namun dia mengakui hal tersebut tak mudah dilakukan. Sebab pangkalan memiliki kewajiban dan tuntutan administrasi tertentu.

"Pengecer untuk menjadi pangkalan, dia dituntut kewajiban administrasi, mencatat, siapa yang membeli, dan sebagainya. Ini yang membuat pengecer itu agak sulit kita dorong untuk menjadi pangkalan," ujar Budyo. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler