Bisakah Saya Tetap Mencintai Indonesia tanpa Syarat?

Bagaimana saya dapat mencintai Indonesia disaat problematika terus mengalir tanpa henti?

retizen /Rizki Mubarok
.
Rep: Rizki Mubarok Red: Retizen
Pinterest: Hilal Sabilul Rosyad

"Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa ," begitulah potongan alinea pertama pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, setelah bertahun-tahun berlalu dan tujuh presiden silih berganti, saya masih terus bertanya-tanya: bisakah saya tetap mencintai negeri ini di tengah problematika yang terus mengalir?


Mencintai Indonesia rasanya seperti mencintai ibu sendiri—ada rasa bangga, bahagia, kecewa, bahkan marah. Ada banyak hal yang membuat saya kagum, tetapi tidak sedikit pula yang membuat saya merasa gelisah.

Negeri ini selalu dielu-elukan oleh para Politikus di sidang-sidang internasional, dipoles dengan narasi penuh harapan. Namun, terkadang di balik pidato yang menggebu-gebu, tersembunyi ketidakjujuran yang sulit untuk diabaikan. Ketidakjujuran dalam menegakkan hukum, dalam menyejahterakan rakyat, serta dalam menjaga janji yang telah diucapkan.

Disaat publik diramaikan dengan tagar #KaburAjaDulu, saya memilih untuk bertahan. Bukan karena saya tidak memiliki kesempatan untuk pergi, tetapi karena saya masih percaya bahwa saya dapat memberikan sesuatu bagi Indonesia.

Antara Cinta dan Realitas

Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya Jejak Langkah pernah menulis,

"Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya."

Demikian pula Chairil Anwar dalam puisinya Tanah Airku menuliskan,

"Di tanahku tercinta ini ku berpijak

Kasih dan cinta menyala dalam hati

Tempatku berlindung, rumahku tercinta

Indonesia, negeri yang kucintai."

Cinta terhadap negeri bukan hanya soal kebanggaan dan kebahagiaan, tetapi juga kesediaan untuk menerima segala kekurangannya. Sebagaimana yang dikatakan Kahlil Gibran,

"Cinta tak memberikan apapun, kecuali keseluruhan dirinya, utuh penuh. Ia pun tak mengambil apa-apa, kecuali dari dirinya sendiri."

Saya mungkin sering kecewa, tetapi tetap ada rasa bangga yang tidak bisa dihapus begitu saja. Ada hal-hal yang tidak dapat tergantikan—kehangatan saat berbincang di warung kopi, berbagi cerita tentang kehidupan bersama teman, membahas dinamika politik dengan santai, serta menikmati berbagai warisan budaya.

Saya tumbuh dengan cerita rakyat seperti Malin Kundang, Timun Mas, Lutung Kasarung, dan Sangkuriang. Kisah-kisah yang mungkin dianggap sekadar dongeng, tetapi justru menjadi bagian dari keunikan negeri ini.

Selain itu, saya mengenal dan bertemu dengan banyak teman dari berbagai latar belakang suku—Sunda, Jawa, Madura, Bugis, Betawi—dan mengenal lebih mendalam tentang keanekaragaman budaya. Saya mengenal berbagai kebudayaan unik seperti Seba Baduy yang dilestarikan oleh Masyarakat Baduy dalam mewarisi tradisi leluhurnya. Tradisi Benjang yang masih ada di pesisir kota bandung. Tradisi Tiwah yang dilakukan oleh suku dayak untuk acara proses pemakaman, Tradisi Pasola di Nusa Tenggara Timur berupa adu ketangkasan dengan kuda dan lembing sebagai bagian dari Pesta Adat Nyale, serta berbagai warisan leluhur yang membuatku percaya bahwa Indonesia memang sangat berharga.

Namun, di tengah derasnya modernisasi, saya bertanya-tanya: akankah semua ini tetap lestari? Ataukah suatu saat saya kehilangan alasan untuk tetap mencintai Indonesia?

Nasionalisme di Persimpangan

Istilah "nasionalisme" sering digaungkan, tetapi semakin lama, semakin sulit dipahami. Teman-teman saya yang berkuliah di luar negeri kerap dicap tidak nasionalis. Para aktivis yang memperjuangkan hak rakyat justru dianggap sebagai ancaman bagi negara. Lantas, apa sebenarnya makna nasionalisme?

Bagi saya, nasionalisme tidak bisa diukur hanya dari di mana seseorang tinggal atau seberapa sering ia menyanyikan lagu kebangsaan. Seorang seniman yang memperkenalkan karya Indonesia ke dunia internasional, seorang pebisnis yang membawa produk lokal ke pasar global, atau seorang atlet yang mengharumkan nama bangsa di kancah dunia—mereka semua adalah wujud nasionalisme. Guru yang mengajar dengan sepenuh hati demi kemajuan generasi muda pun tak kalah nasionalis.

Namun, di tengah semua itu, saya kembali bertanya pada diri sendiri: apakah saya benar-benar mencintai Indonesia, atau hanya karena kebetulan saya lahir dan tinggal di sini?

Cinta Tak Bersyarat

Saat masih banyak daerah di Indonesia yang berjuang melawan kemiskinan, sementara saya menikmati kenyamanan di ruangan ber-AC, saya merasa perlu mempertanyakan makna kecintaan saya terhadap negeri ini. Disaat saya lebih senang untuk bergaya western dibanding budaya lokal—dengan musik hip-hop, DJ, dan gaya hidup fancy—bisakah saya tetap disebut mencintai tanah air?

Mungkin ini hanyalah bagian dari dinamika kehidupan. Perubahan tidak bisa dihentikan, dan zaman terus bergerak maju. Namun, di tengah segala persoalan yang ada, pertanyaan terbesarnya adalah: bisakah saya masih tetap mencintai Indonesia tanpa syarat?

sumber : https://retizen.id/posts/510190/bisakah-saya-tetap-mencintai-indonesia-tanpa-syarat
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler