Buntut Korupsi Minyak, Ini Bahaya Mobil Pertamax Tapi Isi Pertalite Kata Pakar Otomotif

Rendahnya RON bisa memicu penumpukan carbon di ruang pembakaran.

Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pengendara saat akan mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) di Jakarta, Senin (2/10/2023).
Rep: Bambang Noroyono/Teguh/Antara Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung mengusut dugaan korupsi dalam importasi minyak mentah. Kejakgung menduga adanya manipulasi Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 90 yang dijual dan dipasarkan menjadi RON 92.

Baca Juga


Kerugian akibat tindak pidana korupsi ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang yang merugikan keuangan negara mencapai Rp 193,7 triliun.

“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga tersangka RS melakukan pembayaran, dan pembelian bahan bakar minyak RON 92. Padahal sebenarnya hanya membeli RON 90 atau lebih rendah,” begitu kata Qohar di Kejaksaan Agung (Kejagung), Jakarta, Senin (24/2/2025).

Kasus ini menjadi perhatian publik. Muncul kekhawatiran bahwa Pertamax yang mereka beli adalah Pertalite. Lantas bagaimana kendaraan yang sejatinya diisi Pertamax tapi ternyata malah pakai Pertalite?

Pakar Otomotif Bebin Djuana mengatakan, jika kualitas mesin masih mumpuni, maka rendahnya nilai RON hanya berdampak pada performa mesin, paling banter mesin ngelitik. Namun yang mesti diwaspadai, biasanya rendahnya RON bisa memicu penumpukan karbon di ruang pembakaran sampai catalitic converter.

"Untuk jangka menengah sampai jangka panjang pemilik kendaraan dihadapkan pada biaya perbaikan dan pemeliharaan yang besar," ujarnya kepada Republika, Selasa (25/2/2025). 

Menurut Bebin, pada awal pakai Pertalite, kendaraan tentu hanya merasakan perubahan performa. "Namun setelah beberapa waktu mungkin muncul gejala lain tergantung dengan kondisi mesin dan pemeliharaan selama ini," ujarnya.

Kejahatan lain

Menurut keterangan Qohar, dari RON 90 yang didatangkan dengan harga RON 92 itu, PT Pertamina Patra Niaga melakukan kejahatan lain berupa blending atau pencampuran melalui stroge atau depo.

 

“Kemudian dilakukan blending di stroge atau depo untuk selanjutnya dijadikan RON 92 yang hal tersebut tidak diperbolehkan,” ujar Qohar.

Dari BBM RON 90 lalu memanipulasinya menjadi RON 92 tersebut untuk dilepas dan dijual ke masyarakat dengan harga jenis bahan bakar beroktan tinggi.

Vice President (VP) Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menegaskan pihak holding menghormati penegak hukum dalam menjalankan tugas dan kewenangan. Kejagung melakukan penyelidikan lebih lanjut perihal kasus hukum yang mendera subholding Pertamina.

"Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar, dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah," kata Fadjar dalam pesan singkat, Selasa (25/2/2025).

Selanjutnya, ia menuliskan komitmen perusahaannya. Pertamina Grup, kata dia, menjalankan bisnis dengan berpegang pada prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai Good Corporate (GCG) serta peraturan berlaku.

Kasus hukum yang mendera PPN atau dalam hal ini Riva Siahaan, berkaitan dengan kualitas Pertamax. Lalu bagaimana pertanggungjawaban Pertamina kepada konsumen?

"Pertamina menjamin, pelayanan distribusi energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama, dan tetap berjalan normal seperti biasa," jawab Fadjar.

Sebelumnya ia meminta semua pihak menunggu hasil penyelidikan lanjutan Kejaksaan Agung. Republika.co.id kemudian menghubungi Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari. Namun sampai berita ini ditulis, belum ada jawaban dari Corsec PT PPN tersebut.

Selain dugaan praktik blending Pertamax, masih ada beberapa potensi pelanggaran hukum lainnya. Berbagai kasus tersebut mengakibatkan kerugian negara menyentuh angka Rp 193,7 triliun.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler