Hamas Sambut Baik Proposal Pemimpin Arab untuk Rekonstruksi Gaza, Israel dan AS Menolak
Pemimpin negara-negara Arab kembali menolak rencana pemindahan paksa warga Gaza.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Kelompok perjuangan Palestina, Hamas, menyambut baik rencana rekonstruksi Jalur Gaza yang disepakati pada Selasa (4/3/2025) dalam KTT darurat negara-negara Arab di Kairo. Hamas juga mendukung seruan KTT untuk memboikot Israel secara politik dan ekonomi.
KTT tersebut menegaskan kembali penolakan terhadap pemindahan paksa rakyat Palestina dari tanah mereka, menyebut rencana Mesir sebagai “rencana Arab yang komprehensif” serta menegaskan komitmen untuk memberikan dukungan finansial, material, dan politik bagi pelaksanaannya.
Dalam pidatonya di KTT, Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi mengumumkan bahwa Mesir telah menyusun rencana rekonstruksi Gaza tanpa memindahkan penduduknya. Al-Sisi menyerukan dukungan internasional dan regional untuk rencana tersebut serta pembentukan dana khusus guna merealisasikannya.
Dalam pernyataannya usai KTT, Hamas menyatakan bahwa pertemuan tersebut merupakan langkah penting menuju keselarasan Arab dan Islam dalam mendukung perjuangan Palestina, terutama di tengah serangan Israel yang terus berlanjut serta upaya pemindahan paksa di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem.
Hamas memuji para pemimpin Arab yang menolak segala upaya untuk mengusir rakyat Palestina atau melemahkan perjuangan nasional mereka, dengan menyebutnya sebagai pesan bersejarah bahwa peristiwa Nakba kedua tidak akan dibiarkan terjadi.
Kelompok tersebut juga menyambut baik seruan boikot terhadap Israel secara komersial dan politik, menggambarkannya sebagai langkah strategis yang sangat efektif untuk mengisolasi Israel dan menekan negara tersebut agar mematuhi hukum internasional.
Hamas mendesak agar semua langkah diambil guna memastikan keberhasilan rencana rekonstruksi. Selain itu, Hamas juga mengapresiasi upaya Mesir dalam mempersiapkan konferensi internasional untuk rekonstruksi Gaza serta mendukung pembentukan komite pendukung masyarakat guna mengawasi bantuan, rekonstruksi, dan tata kelola Gaza sebagai bagian dari negara Palestina.
Hamas menekankan pentingnya implementasi rencana rekonstruksi, percepatan penyaluran bantuan kemanusiaan, serta upaya memperkuat gencatan senjata dan memastikan penerapan kesepakatannya. Dalam konferensi pers, Sekretaris Jenderal Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit, menegaskan bahwa rencana rekonstruksi Gaza yang diajukan Mesir merupakan respons dunia Arab terhadap usulan Presiden AS Donald Trump untuk merelokasi penduduk Gaza.
Trump berulang kali menyerukan “pengambilalihan” Gaza dan pemindahan penduduknya untuk mengubahnya menjadi destinasi wisata. Rencana tersebut ditolak oleh dunia Arab dan banyak negara lain yang menganggapnya sebagai bentuk pembersihan etnis.
Salah satu elemen utama dalam rencana rekonstruksi Gaza adalah fase awal yang berlangsung selama enam bulan, diikuti dengan periode dua tahun, dengan penolakan tegas terhadap segala upaya pemindahan penduduk Palestina. Fase ketiga disebut sebagai “Fase Rekonstruksi Kedua” yang diperkirakan berlangsung selama dua setengah tahun.
Rencana itu juga mencakup pembentukan komite administrasi Gaza untuk mengelola wilayah tersebut selama periode transisi enam bulan. Komite itu akan bersifat independen dan terdiri dari para teknokrat non-partisan yang beroperasi di bawah naungan pemerintah Palestina.
Sebelumnya, pada Selasa, juru bicara Hamas, Hazem Qasem, mengatakan kepada Anadolu bahwa kelompoknya tidak akan terlibat dalam pengaturan administrasi Gaza di masa depan kecuali ada kesepakatan nasional. Sejak serangan brutal Israel ke Gaza pada Oktober 2023, hampir 48.400 warga Palestina telah tewas -- mayoritas perempuan dan anak-anak -- dan lebih dari 111 ribu lainnya terluka.
Serangan yang menghancurkan wilayah tersebut sempat dihentikan oleh kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang berlaku sejak 19 Januari. Namun, Israel menghentikan masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza pada Minggu setelah pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu menolak memulai negosiasi terkait fase kedua kesepakatan gencatan senjata antara Tel Aviv dan Hamas.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Kepala Pertahanan, Yoav Gallant, atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza. Selain itu, Israel juga menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) terkait agresinya terhadap Jalur Gaza.
Pemerintah Donald Trump langsung menolak proposal KTT darurat negara-negara Arab di Kairo. Washington mengklaim rencana negara-negara Arab "tidak merujuk pada realita bahwa Gaza saat ini tidak bisa dihuni dan warganya tidak bisa secara manusiawi hidup di wilayah yang diliputi serpihan dan bom-bom yang gagal meledak".
Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS mengatakan, bahwa Donald Trump, dikutip the New Arab, Rabu (5/3/2025), tetap bertahan pada rencananya dalam membangun kembali Gaza. Yang mana diketahui, rencana Trump akan memaksa sebagian atau semua warga Palestina keluar dari Gaza.
Terpisah, Israel juga menolak proposal dari para pemimpin Arab. Tel Aviv menyatakan, bahwa proposal itu, "gagal melihat realitas yang ada" dan menuduh Otoritas Palestina dan Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) "korup" dan "mendukung terorisme".