Armada Kargo Laut Makin Lamban, Berikut Alasannya
Slow steaming berisiko tinggi, hambat kinerja mesin.
ShippingCargo.co.id, Jakarta—Armada kargo laut dalam global tercatat berlayar pada kecepatan rata-rata terendah sepanjang sejarah, mengikuti strategi *slow steaming* untuk menghemat biaya bahan bakar dan memenuhi regulasi emisi. Data terbaru menunjukkan kapal kontainer dan kapal barang besar kini melaju 10-15% lebih lambat dibanding dekade lalu. Tren ini mencerminkan upaya industri menghadapi tekanan ekonomi dan lingkungan, meski berisiko mengganggu efisiensi rantai pasok global.
Kenaikan harga minyak dunia pasca-konflik geopolitik dan aturan lingkungan ketat seperti Indeks Intensitas Karbon (CII) IMO 2023 memaksa perusahaan pelayaran mengadopsi *slow steaming*. Dengan mengurangi kecepatan 2-4 knot, konsumsi bahan bakar bisa dipangkas hingga 30%, sekaligus menurunkan emisi karbon. Namun, langkah ini juga dipicu melambatnya permintaan pengiriman global pasca-pandemi, yang memaksa operator menyesuaikan kapasitas armada.
Pelambatan kecepatan berkontribusi pada penurunan emisi CO industri pelayaran hingga 15% dalam setahun. Namun, konsekuensinya adalah penambahan waktu transit 3-7 hari per rute utama Asia-Eropa atau Trans-Pasifik. Hal ini berpotensi memperparah ketidakpastian rantai pasok, terutama untuk komoditas *time-sensitive* seperti elektronik dan bahan mentah industri, per Splash 247.
Perusahaan seperti Maersk dan MSC merespons dengan menambah jumlah kapal baru berteknologi eco-design yang efisien pada kecepatan rendah. Aliansi pelayaran juga mengatur ulang jadual layanan untuk meminimalkan blank sailings (pelayaran kosong). Inovasi seperti sistem propulsi hidrodinamik dan pelumas mesin rendah gesekan semakin diterapkan untuk memitigasi dampak slow steaming pada kinerja kapal.
Para analis mengkhawatirkan tren ini hanya solusi sementara. Pelambatan ekstrem berisiko menyebabkan engine fouling (penumpukan residu mesin) yang justru meningkatkan biaya perawatan. Selain itu, ketergantungan pada *slow steaming* bisa menghambat investasi dalam bahan bakar alternatif seperti metanol atau amonia hijau, yang seharusnya menjadi fokus transisi energi jangka panjang.
Industri pelayaran kini berada di persimpangan. Di satu sisi, *slow steaming* membantu memenuhi target iklim sambil bertahan di tengah fluktuasi permintaan. Di sisi lain, strategi ini berpotensi mengunci sektor dalam siklus "lambat dan boros" jika tidak diimbangi percepatan adopsi teknologi hijau. Keberhasilan akan bergantung pada kolaborasi regulator, operator, dan penyedia teknologi untuk menciptakan skema operasional yang berkelanjutan—baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Pelambatan armada laut dalam menjadi paradigma unik di era transisi energi: semakin lambat kapal bergerak, semakin besar peluang industri memenuhi target iklim. Namun, tanpa terobosan kebijakan dan inovasi yang revolusioner, strategi ini mungkin hanya menjadi batu loncatan menuju krisis efisiensi yang lebih dalam. Keputusan yang diambil hari ini akan menentukan apakah perlambatan ini adalah langkah taktis atau jalan mundur bagi maritim global.