3 Alasan Utama Mengapa Netanyahu Ngotot Khianati Gencatan Senjata dengan Hamas
Netanyahu lebih memilih suara ekstremis sayap kanan daripada opsi Amerika.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Israel di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu selalu mengkhianati apa yang sudah disepakati. Gencatan senjata yang merupakan acuan perdamaian di Timur Tengah, malah diabaikannya. Dalam hal ini, Netanyahu lebih memilih opsi ekstrem sayap kanan pendukungnya yang haus darah, seperti suasa-suara Bezalel Smotrich, pimpinan Shin Bet, dan mayoritas suara di Knesset.
Lebih dari 150 warga Palestina dibunuh Israel sejak kesepakatan gencatan senjata di Gaza diberlakukan pada 19 Januari 2025, kata kantor media Gaza dalam pernyataan pada Sabtu.
"Kami melihat penjajah sengaja meningkatkan kejahatan terhadap warga sipil dalam beberapa pekan terakhir," kata pernyataan itu.
Ditambahkan, 40 warga Palestina di Gaza telah kehilangan nyawa dalam dua pekan terakhir.
Kantor itu berkata Israel "mengincar para penduduk yang mengumpulkan kayu bakar atau menginspeksi rumah mereka, sehingga mereka tewas akibat tembakan pasukan Israel."
Pernyataan itu disampaikan menyusul serangan udara Israel di Beit Lahia, Gaza utara, yang menewaskan sembilan warga Palestina, termasuk jurnalis dan pekerja kemanusiaan.
Sembari mengutuk serangan itu sebagai "pembantaian mengerikan," kantor media Gaza menuding Israel meningkatkan agresi di tengah banyaknya perintah militer dari pemimpin Israel.
Semua individu yang diincar Israel adalah warga sipil yang bekerja di area pengungsian dan melakukan dokumentasi media untuk badan amal, menurut kantor itu.
Kantor media Gaza juga mendesak Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICJ) untuk mengambil tindakan segera terhadap kejahatan perang Israel, khususnya yang dilakukan oleh pemimpinnya, Benjamin Netanyahu.
Kementerian Kesehatan Palestina sebelumnya memastikan bahwa korban luka dalam serangan di Beit Lahir itu telah dievakuasi ke Rumah Sakit Indonesia di Gaza utara.
Menurut saksi mata, serangan udara Israel mengincar tim bantuan yang membagikan tenda buat warga yang terdampak agresi Israel.
Pusat Perlindungan Jurnalis Palestina melaporkan tiga wartawan tewas akibat serangan itu ketika sedang mendokumentasikan upaya bantuan kemanusiaan bagi warga Gaza.
Serangan itu menunjukkan pelanggaran Israel terhadap gencatan senjata yang ditengahi oleh Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat.
Tahap pertama gencatan senjata itu berlangsung selama 6 pekan dan berakhir awal Maret lalu. Namun, Israel menolak melanjutkan gencatan senjata ke tahap kedua yang mencakup pertukaran lebih banyak sandera dengan Hamas.
Netanyahu menghentikan negosiasi untuk gencatan tahap kedua. Dia justru berusaha memperpanjang tahap pertama tanpa komitmen untuk memenuhi syarat kemanusiaan dan militer dalam kesepakatan.
Di lain pihak, Hamas terus berkomitmen mematuhi gencatan senjata. Mereka mendesak mediator untuk memastikan kepatuhan Israel dan mendorong negosiasi gencatan senjata tahap kedua.
Sejak Oktober 2023, agresi Israel ke Jalur Gaza telah menewaskan lebih dari 48.500 warga Palestina di Gaza dan menghancurkan wilayah kantong tersebut. Sebagian besar korban jiwa adalah wanita dan anak-anak.
Tiga penyebab Netanyahu khianati gencatan senjata
Analis Soal Gaza dan Israel di Al Jazeera Ahmad al-Hila menyatakan, Netanyahu memilih untuk tidak mematuhi perjanjian gencatan senjata yang ditandatanganinya di bawah tekanan utusan AS Steve Witkoff, karena beberapa alasan, yang paling penting di antaranya adalah:
Pertama, komitmennya untuk menghentikan perang di Gaza dan menarik diri sepenuhnya, sebagaimana disepakati, dapat menyebabkan runtuhnya koalisi pemerintahannya, dan dengan demikian menyebabkan pemilihan parlemen. Semua jajak pendapat memperkirakan dia tidak akan memenangkan pemilihan ini, yang berarti dia akan menjadi minoritas di Knesset dan mengundurkan diri dari jabatan perdana menteri. Ini secara efektif akan menandai berakhirnya karier politiknya yang menyedihkan.
Kedua: Netanyahu akan menjalani pemeriksaan komisi penyelidikan resmi, yang mungkin akan menganggapnya bertanggung jawab secara historis atas kegagalan 7 Oktober (Operasi Perisai Pelindung), dan atas kegagalannya mencapai tujuan perang brutal di Gaza, yang berdampak strategis bagi Israel baik di dalam negeri maupun internasional.
Ketiga: Kaum ekstrem kanan memandang perjanjian itu sebagai kekalahan bersejarah bagi Israel, yang gagal dalam perangnya di Gaza dan kehilangan citranya sebagai kekuatan pencegah yang ditakuti di Timur Tengah. Militernya telah kehilangan reputasinya sebagai kekuatan yang tak terkalahkan, pada saat Mahkamah Internasional sedang mempertimbangkan apakah Israel melakukan genosida, dan Perdana Menterinya Netanyahu dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional atas kejahatan perang.
Alasan-alasan yang dikemukakan oleh kelompok sayap kanan ekstrem Israel ini tidak selalu sejalan dengan sudut pandang pemerintah AS yang ingin mencapai sejumlah hal baik.
a) penghentian perang di Jalur Gaza, karena kelanjutannya dapat memberikan dampak negatif terhadap kunjungan Presiden Trump ke Arab Saudi sekitar satu atau satu setengah bulan lagi, pada saat ia tengah berupaya menjalin kemitraan ekonomi dan mencapai "perdamaian" melalui normalisasi dengan Israel.
b) Pembebasan tahanan, terutama mereka yang memiliki kewarganegaraan Amerika, merupakan hak yang ingin dimanfaatkan Presiden Trump sebagai pencapaian bersejarah bagi pemerintahannya dalam bulan-bulan pertama keberadaannya.
Hal ini menjelaskan mengapa utusan AS untuk urusan tahanan Adam Boehler menghubungi Hamas secara langsung, dan menanggapi kekhawatiran Israel serta panggilan dari Menteri Urusan Strategis Israel Ron Dermer, dengan mengatakan: "Kami bukan agen Israel, dan Amerika memiliki kepentingan khusus yang membuatnya berkomunikasi dengan Hamas."
Perbedaan posisi antara Washington dan Netanyahu ini belum mencapai titik kritis di mana pemerintah AS akan mendorong Netanyahu untuk melanjutkan persyaratan gencatan senjata, khususnya tahap kedua perjanjian tersebut.
Netanyahu memobilisasi teman-teman Israel di Washington untuk menekan pemerintahan Trump agar menghentikan kontak langsung dengan Hamas dan berpihak pada persyaratannya. Ia khawatir pemerintah AS akan mencapai kesepakatan dengan Hamas, yang memaksanya untuk menyetujuinya tanpa persetujuannya, karena ia tidak akan dapat mengatakan tidak kepada Presiden Trump.
Lebih jauh lagi, kontak langsung Amerika dengan Hamas menghilangkan akses eksklusifnya terhadap informasi yang diberikan kepada Washington oleh Israel, yang ingin menjelek-jelekkan Hamas dan Palestina sebagai teroris dan manusia hina.
- Palestina
- gaza
- israel
- tel aviv
- netanyahu
- amerika serikat
- operasi badai al aqsa
- thufan al aqsa
- two state solution israel dan palestina
- solusi dua negara palestina dan israel
- perdamaian di palestina
- hamas
- hizbullah
- IDF
- israel defense force
- bantuan untuk palestina
- bantuan untuk gaza
- bantuan kemanusiaan
- bantu palestina
- genosida