Adat Ngarot Lelea, Tradisi Menembus Batas Masa

Adat Ngarot tetap eksis karena kesadaran dan sinergi seluruh elemen bangsa.

republika
Arak-arakan adat Ngarot Lelea sebuah tradisi adat yang hingga kini masih terus diselenggarakan setiap tahun.
Rep: Joko Sadewo Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- “Pinginnya sih adat Ngarot ini tetap ada terus, biar setiap tahun Desa Lelea bisa ramai terus. Karena Ngarot ini selalu kami tunggu-tunggu”.

Baca Juga


Begitulah ungkapan Chintia, seorang gadis remaja asal Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Sebuah harapan akan terus terjaganya Ngarot Lelea, sebuah tradisi yang sudah puluhan tahun berjalan, dan tetap eksis hingga saat ini.

Ngarot merupakan tradisi masyarakat Lelea, yang dilakukan untuk menyambut masa tanam. “Ngarot merupakan pesta warga desa Lelea yang diwariskan oleh Ki Buyut Kapol, yang merupakan pemilik lahan pertanian di Lelea,” kata Kuwu Lelea, Raidi.

Ngarot berasal dari kata ngaleueut, yang artinya menikmati jamuan. Menurut Raidi, tradisi Ngarot dimulai sekitar abad ke-16 atau sekitar tahun 1647 di masa Ki Kuwu Canggara Wirena.

Tapi ada pula yang menyebut Ki Buyut Kapol yang memulainya. Ki Buyut Kapol merupakan pemilik lahan seluas 2 hektare yang letaknya sekarang ada di depan Balai Adat Lelea. Ki Buyut Kapol sering memberikan pelatihan pertanian pada anak muda Lelea.

“Awalnya Ngarot ini dilakukan di rumah Ki Buyut Kapol, tapi lama-lama ke balai desa. Sejak itu ada permintaan siapapun yang menjadi kepala desa wajib menyelenggarakan tradisi Ngarot,” jelas Raidi.

Dalam Ngarot Lelea, ada sejumlah elemen penting di dalamnya. Mulai dari menghiasi rambut gadis Ngarot dengan rangkaian bunga kenanga, iringan musik tradisional, gadis Ngarot, perjaka Ngarot, prosesi adat, hingga arak-arakan.

Di kepala gadis akan dihiasi dengan rangkaian bunga, yang utamanya adalah bunga kenanga. Bunga tersebut dirangkai dalam bilah bambu, yang kemudian diselipkan di sela-sela rambut mereka.

Agar tidak mudah layu, bunga kenanga tersebut direndam dalam air yang diberi ramuan khusus. Walaupun di dalamnya juga ada mistis kuat, bahwa hanya gadis yang masih perawan yang boleh ikut adat Ngarot. Sebab, bunga di kepala gadis Ngarot akan layu jika dikenakan gadis yang sudah tidak perawan. Lebih mengerikan lagi, mereka yang sudah tidak perawan tapi ikut Ngarot maka akan kena aib.

Raidi menyebut bunga di kepala gadis Ngarot menjadi simbol keindahan dan kehormatan. “Jadi dengan bunga itu, sebenarnya merupakan pesan agar gadis-gadis Lelea bisa menjaga diri dan kehormatannya. Mereka harus bisa menjaga batas-batas dalam bergaul,” ungkap Raidi.

Perias gadis Ngarot, Mak Kanedah, sedang memasang rangkaian bunga kenanga ke kepala seorang peserta adat Ngarot Lelea. - (republika/sadly rachman)

 

Para gadis yang sudah dihiasi dengan baju tradisional dan bunga kenanga di kepala ini, kemudian berkumpul di rumah adat Lelea. Di tempat tersebut, ada sejumlah prosesi adat yang dilakukan. Di antaranya, simbolisasi panca usaha tani. “Ini adalah simbolisasi mewariskan tradisi pertanian pada generasi selanjutnya,” kata Raidi.

Dalam prosesi ini ada penyerahan bibit padi dari Kuwu kepada anak muda Lelea. Lalu ada penyerahan air kemakmuran dari ibu Kuwu. “Air ini diambil dari beberapa mata air keramat, yang ada nilai historisnya,” ungkap Raidi.

Ada juga penyerahan pupuk dari Modin. Penyerahan pupuk ini merupakan simbol perlunya menjaga kesuburan tanah. “Keempat adalah Raksa Bumi, Raksa itu menaungi atau orang yang mengurus sawah yang ada di desa, itu namanya Pak Raksa. Pak Raksa menyerahkan perlambangnya berupa alat pertanian seperti cangkut dan pedangan,” jelas Raidi.

Terakhir, lanjut Raidi, tetua desa menyerahkan sejumlah tanaman yang berguna untuk mengusir hama. “Namanya Nyambeti bahannya dari pohon dringo, bawang putih, kunyit, ditumbuk jadi satu dijadikan obat. Nanti disatukan dengan seikat sambeten, yaitu kumpulan dari daun kilayu, beringin, andong, krasak (daun pisang raja batu yang sudah kering),” papar dia.

Setelah berbagai proses adat dilakukan, bersama dengan para perjaka, tetua adat, gadis Ngarot kemudian diarak keliling desa. Arak-arakan ini diikuti juga dengan iringan musik tradisional.

Layaknya sebuah pesta, dalam adat Ngarot juga ditampilkan tarian dan musik tradisional masyarakat setempat. “Ada genjringan, tayub, reog, dan sebagainya,” jelas Raidi.

Tradisi yang terus bertahan

Sekalipun sudah berumur ratusan tahun, adat Ngarot Lelea hingga kini masih terus bertahan. Modernisasi yang juga merambah kawasan tersebut, seolah tidak mampu menggusur Ngarot  dari kehidupan masyarakat Lelea. Raidi mencontohkan, kakeknya yang menjadi kepala desa sejak 1922-1944, juga terus menerus menyelenggarakan adat Ngarot Lelea, selama mengemban jabatannya.

Bahkan Raidi menyebut kalau Ngarot Lelea tidak dilaksanakan, masyarakat akan mempertanyakan dan geger. “Jadi tidak akan ada yang berani menghentikan, kalau berani tidak menyelenggarakan bisa-bisa didemo. Jauh-jauh hari warga sudah akan menanyakan pelaksanaan Ngarot,” ungkap Raidi.

Keinginan menjaga eksistensi Ngarot Lelea juga tercermin dari dukungan masyarakat Desa Lelea. Perias gadis Ngarot, Mak Kanedah, mengaku sudah puluhan tahun menjadi perias dan perangkai bunga untuk adat Ngarot. Ia mengaku sudah menjalaninya sejak masih muda. Dengan dibantu warga Lelea lainnya, Mak Kanedah, menyiapkan rangkaian bunga yang akan dipasang di rambut gadis Ngarot.

Saat pelaksanaan Ngarot, sedari subuh, rumahnya sudah didatangi puluhan gadis Lelea. Mereka adalah para gadis Ngarot yang hendak dirias dengan baju adat dan rangkaian bunga kenanga. 

 

Aktivitas ini tidak hanya dii rumah Mak Kanedah. Ada banyak titik yang juga menjadi tempat persiapan para gadis Ngarot.

Salah seorang gadis Ngarot Lelea, Chintia mengaku, pesta adat Ngarot memang sudah ia tunggu. Jauh-jauh hari ia memang ingin ikut dihias menjadi gadis Ngarot. “Bukan saya atau peserta arak-arakan saja, mereka yang hanya ingin nonton juga sudah nunggu-nunggu,” ungkap gadis umur 16-an tahun ini.

Chintia mengaku tidak dibayar untuk ikut adat Ngarot Lelea. Malahan keluarganya suka rela mengeluarkan biaya untuk sewa baju maupun biaya rias. Tapi bagi Chintia hal itu tidak ada masalah, karena ia merasa senang bisa berpartisipasi di adat tersebut. “Mudah-mudahan Ngarot tetap ada terus. Kami senang dan bangga kalau Ngarot tetap ada,” ujarnya.

Sinergi Pertamina

Eksistensi adat Ngarot Lelea menjadi hal yang menarik perhatian Pertamina. Head of Communication Relations & CID Zona 7 Pertamina EP, Subholding Upstream Regional Jawa, Wazirul Luthfi, mengatakan, Desa Lelea menjadi desa di wilayah operasi Pertamina, yang berdekatan dengan jaringan pipa transmisi Jawa Barat, dan juga stasiun pengumpul Pertamina.

Salah satu hal menarik, menurut Wazirul, Desa Lelea menjadi desa budaya, yang berbeda dengan desa yang lain. Adat Ngarot Lelea yang bisa bertahan hingga kini, menurutnya, perlu untuk terus dilestarikan, “Budaya ini perlu dilestarikan, dan Pertamina ingin bersinergi bersama masyarakat untuk menjaganya,” kata Wazirul.

Perwira PHE Pertamina bergabung dengan masyarakat Lelea mempersiapkan pesta adat Ngarot Lelea. - (republika/joko sadewo)

Dalam prosesnya, Pertamina memulai dengan melakukan assesment dan diskusi dengan masyarakat Lelea. Tujuannya untuk mengetahui hal-hal yang dibutuhkan masyarakat dalam menjaga tradisi dan budaya Lelea.

Masyarakat Lelea juga menyambut baik kehadiran Pertamina untuk berkolaborasi menjaga budaya dan kesenian setempat. Terlebih Pertamina hadir dengan membawa program yang berbasis kebutuhan mereka.

Pertamina bersama dengan pakar kemudian melakukan penelitian, yang dimulai dari sejarah recovery aksara asli dari Lelea, yang dulunya belum tertulis, untuk didokumentasikan. “Ketiga tentang budaya dan kesenian Lelea. Serta ada budaya besar di Lelea, yaitu perayaan adat Ngarot,” jelas Wazirul.

Wazirul melihat event Ngarot memang sudah rutin diselenggarakan di Desa Lelea, namun dari sisi informasi dan publikasinya masih harus ditingkatkan.

Salah satu hal yang menjadi perhatian Pertamina adalah sinergi antara kelompok muda dan generasi tua Lelea. “Ini perlu dilakukan karena faktanya ada beberapa kelompok kesenian di Lelea ini yang sudah tergusur, bahkan sudah tidak ada,” kata Wazirul.

Ia mencontohkan, kelompok kesenian mulai dari Reog, Genjring, Tayub, dan lain-lain, yang dulunya banyak di Desa Lelea, sekarang mulai sedikit bahkan hilang. Sehingga saat pelaksanaan Ngarot, mereka harus menyewa dari kecamatan lain. “Ini yang menjadi catatan ke depan agar ada edukasi dan recovery untuk bisa tetap eksis,” ungkap Wazirul.

Agar eksistensi kelompok kesenian Lelea bisa terjaga maka mereka harus diberikan kesempatan berpartisipasi dan memiliki nilai ekonomis. Pertamina dalam setiap eventnya selalu berusaha melibatkan kelompok-kelompok kesenian ini.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler