Bagaimana Cara Mudik yang Islami? Ini Kata MUI
MUI menjelaskan tata cara mudik islami yang bisa dijadikan panduan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sudah banyak masyarakat Indonesia yang kini melakukan mudik untuk merayakan Idul Fitri bersama keluarga di kampung halaman.
Karena itu, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Abdul Muiz Ali menjelaskan tata cara mudik islami yang bisa dijadikan panduan masyarakat, termasuk cara melaksanakan ibadah.
Dia mengatakan, dalam istilah fikih orang yang bepergian atau dalam perjalanan disebut musafir. Ketika melakukan mudik, menurut dia, maka boleh meringkas sholatnya dan bahkan boleh tidak melaksanakan ibadah puasa.
"Bagi musafir boleh mengerjakan sholat dengan cara diringkas (qashar sholat), menggabung dua sholat fardhu dalam satu waktu (jamak sholat) dan juga boleh tidak berpuasa," ujar Kiai Muiz kepada Republika.co.id, Rabu (26/3/2025).
Lalu bagaimana cara mudik yang islami?
Menurut Kiai Muiz, perjalanan mudik hendaknya dapat memperhatikan anjuran dan ketentuan sebagai berikut.
1. Berdoa
Pada saat hendak mudik ketika sudah memulai melakukan perjalanan hendaknya kita memohon kepada Allah agar selamat sampai tujuan.
Berikut ini doa yang selalu dibaca Rasulullah shalallahu alaihi wasallam setiap bepergian.
اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ
Artinya: "Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pengganti dalam keluarga. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesulitan perjalanan, kesedihan tempat kembali, doa orang yang teraniaya, dan dari pandangan yang menyedihkan dalam keluarga dan harta." (HR Tirmdzi dan Ibnu Majah)
2. Menggabung dan Meringkas Sholat
Perjalanan yang sudah mencapai kurang lebih kilometer (kilometer) maka seseorang diperbolehkan meringkas sholatnya atau menggabung dua sholat dalam satu waktu.
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
Artinya: "Ketika kalian bepergian di bumi, maka bagi kalian tidak ada dosa untuk meringkas salat." (QS An-Nisa: 101)
Praktik meringkas sholat (qashar sholat) hanya berlaku untuk sholat bilangan empat rakaat seperti Asar dan Isya yang kemudian diringkas menjadi dua rakaat.
Sedangkan praktik menggabungkan dua sholat (jamak sholat) dalam satu waktu hanya bisa dilakukan untuk sholat zhuhur digabung dengan ashar, maghrib digabung dengan isya. Untuk sholat subuh tidak bisa digabung apalagi diringkas.
جَمَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا خَوْفٍ، قَالَ: قُلْتُ يَا أَبَا الْعَبَّاسِ: وَلِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ قَالَ: أَرَادَ أَنْ لاَ يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ.
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjamak antara sholat zhuhur dan ashar di Madinah bukan karena bepergian juga bukan karena takut. Saya bertanya: Wahai Abu Abbas, mengapa bisa demikian? Dia menjawab: Dia (Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) tidak menghendaki kesulitan bagi umatnya." (HR Ahmad)
3. Boleh tidak Puasa
Seseorang yang melakukan perjalanan dengan ketentuan jarak tempuh sebagaimana boleh menggabung (jamak) atau meringkas (qasar) sholat, ia juga diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Puasa yang ditinggalkan karena bepergian wajib diganti setelah bulan Ramadhan.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Artinya: "...Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain..." (QS Al Baqarah: 185)
Dalam kitab fikih ulama banyak menjelaskan ketentuan perihal boleh atau tidaknya bagi seseorang yang sedang bepergian untuk tidak puasa. Misalnya antara lain disebutkan sebagai berikut.
( وَ ) يُبَاحُ تَرْكُهُ ( لِلْمُسَافِرِ سَفَرًا طَوِيلا مُبَاحًا ) فَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ كَمَا تَقَدَّمَ فِي بَابِ صَلاةِ الْمُسَافِرِ . ( وَلَوْ أَصْبَحَ ) الْمُقِيمُ ( صَائِمًا فَمَرِضَ أَفْطَرَ ) لِوُجُودِ الْمُبِيحِ لِلإِفْطَارِ . ( وَإِنْ سَافَرَ فَلا ) يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ الْحَضَرِ وَقِيلَ يُفْطِرُ تَغْلِيبًا لِحُكْمِ السَّفَرِ
Artinya: "Dan dibolehkan meninggalkan berpuasa bagi seorang musafir dengan perjalan yang jauh dan diperbolehkan (mubah). Bila dengan berpuasa seorang musafir mengalami mudarat maka berbuka lebih utama, bila tidak maka berpuasa lebih utama sebagaimana telah lewat penjelasannya pada bab shalatnya musafir. Bila pada pagi hari seorang yang bermukim berpuasa kemudian ia sakit maka ia diperbolehkan berbuka karena adanya alasan yang membolehkannya berbuka. Namun bila orang yang mukim itu melakukan perjalanan maka ia tidak dibolehkan berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang tidak bepergian. Dikatakan juga ia boleh berbuka dengan memenangkan hukum bagi orang yang bepergian" (Jalaludin Al-Mahali, Kanzur Raghibin Syarh Minhajut Thalibin juz 2, hal. 161)
Dalam kitab Mughnil Muhtaj juga dijelaskan:
وَلَوْ نَوَى وَسَافَرَ لَيْلًا، فَإِنْ جَاوَزَ قَبْلَ الْفَجْرِ مَا اُعْتُبِرَ مُجَاوَزَتُهُ فِي صَلَاةِ الْمُسَافِرِ أَفْطَرَ، وَإِلَّا فَلَا
"Bila seseorang berniat puasa dan melakukan perjalanan pada malam hari, bila sebelum terbitnya fajar ia telah melewati batasan yang ditetapkan dalam bab sholatnya musafir maka ia boleh berbuka, bila tidak maka tidak boleh berbuka." (Muhammad Khatib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz 1, hal. 589).
Meski saat perjalanan jauh, seperti mudik boleh tidak puasa, tetapi jika sekiranya ia selama dalam perjalanan mudiknya kuat berpuasa (tidak letih atau lemas yang dapat menggangu kesehatannya), maka memilih berpuasa itu lebih utama.
"Maka memilih waktu yang tepat untuk mudik dan menyiapkan bekal selama dalam perjalanan itu penting. Selain hal di atas tentu tidak kalah pentingnya adalah membekali kita dengan ilmu pengetahuan tentang tata cara ibadah dalam selama dalam perjalanan," kata Kiai Muiz.