Ramadhan dan Kesucian Diri

Ramadhan jadi momentum meningkatkan kapasitas diri.

ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin
Sejumlah warga mengunjungi lokasi Tumbilotohe atau malam pasang lampu di Lapangan Taruna Remaja, Kota Gorontalo, Gorontalo, Rabu (26/3/2025). Pemerintah daerah setempat menggelar Festival Green Tumbilotohe yang dilakukan pada malam ke 27 bulan Ramadhan menampilkan pawai obor, lampu tohetutu, padamala hingga lampu botol dengan menggunakan bahan bakar minyak kelapa.
Red: Erdy Nasrul

Oleh: Nanang Sumanang, guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Adalah salah satu sifat waktu yang dapat melenakan manusia, yaitu akan terasa cepat berlalu apabila sudah dilalui, dan terasa masih lama apabila masih akan dihadapinya.

Seperti puasa di bulan Ramadhan tahun ini yang sudah memasuki masa masa akhir, perasaan baru kemarin kaum muslimin mengadakan Tarhiban penyambutan bulan Ramadhan, dan ucapan-ucapan Marhaban ya syahru Ramadhan, Marhaban syahru Shiyami, Marhaban ya syahru Ghufron berseliweran di group group whatsapp atau media sosial lainnya.

Di Davao City, Filipina, masyarakat muslimnya biasa menggunakan istilah Istiqbaalan sebagai pengganti Tarhiban, dan Ahlan wa Sahlan selain kata Marhaban. Secara tradisi, baik Tarhiban muupun Istiqbaalan adalah kegiatan masyarakat muslim mempersiapkan diri dalam menyambut bulan Ramadhan. Persiapan ini dimaksudkan untuk mengkondisikan spiritual, intelektual, mental, moral, dan fisik kita dalam menyambut bulan Ramadhan.

Pengkondisian penyambutan bulan Ramadhan ini biasanya diisi dengan pemberian motivasi dan keutamaan keutamaan bulan Ramadhan, tanya jawab yang berhubungan dengan puasa, yang biasanya diasuh oleh orang yang mempunyai kompetensi dan otoritas dalam bidang keagamaan, atau persiapan fisik lainnya seperti membersihkan diri, rumah, serta kuburan orang tua atau leluhur dan sebagainya.

Berbeda dengan kata Istiqbaalan yang berasal dari kata Qa-ba-la yang berarti sebelum dan Ahlan wa Sahlan dari kata Ahlun dan Sahlun yang berarti keluarga dan saudara, Ahlan wa Sahlan mengandung arti bahwa tamu yang datang akan diberlakukan sebagai saudara, dan akan diberikan kemudahan selama bertamu oleh tuan rumah akan kami jadikan seperti saudara dan akan kami berikan kemudahan, sementara kata Tarhiban dan Marhaban berasal dari kata Ra-ha-ba yang berarti dataran yang sangat luas, dimana dulu para pedagang bangsa Arab yang membawa barang dagangannya bisa beristirahat untuk memepersiapkan perjalanan selanjutnya.

Kegiatan perdagangan yang melintasi antar negara, seperti direkam dalam surat al-Quraisy yang menceritakan perjalanan perdagangan bangsa Quraisy ketika musim dingin mereka berdagang ke negara Yaman (selatan), dan ketika musim panas mereka berdagang ke negara Syam (utara), memerlukan ketahanan fisik yang kuat. Selain waktu tempuh yang lama, cuaca, dan medan yang berat, serta faktor keamanan membuat mereka harus mempersiapkan diri agar kondisinya fit kembali untuk melanjutkan perjalanannya, dan biasanya mereka akan beristirahan di tanah yang luas (Rahbah).

Arti kata Rahbah kemudian berkembang dari tanah lapang untuk istirahat dan mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan kembali menjadi bengkel, tempat memperbaiki sesuatu.

Ketika kata marhaban digandengkan dengan kata Ramadhan, maka sesungguhnya bulan Ramadhan menjadi “bengkel” bagi umat manusia untuk mengistirahatkan diri dari hiruk pikuk dunia yang melalaikan, merenung segala kealfaan diri dan niat yang kuat untuk memperbaikinya.

 

Allah yang Maha Kuasa dan Maha Besar, dengan ke-Maha Kasih dan Sayangnya telah memilih satu bulan dari dua belas bulan lainnya untuk dijadikan “bengkel” bagi perbaikan spiritual, intelektual, mental, moral dan fisik manusia.

Ketika Allah telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai “bengkel” kemanusiaan manusia, maka semuanya pada akhirnya tergantung kepada manusianya itu sendiri, apakah kita akan mengimanani bulan Ramadhan akan dapat memperbaiki diri ini menjadi lebih baik, atau tidak mengimani sama sekali. Maka sangat relefan sekali Allah SWT memanggil hambanya untuk melakukan puasa pada bulan Ramadhan dengan menggunakan kata “Wahai orang yang beriman…”.

Baca Juga


Tidak cukup hanya beriman saja, tetapi juga kita wajib membuat daftar list segala kekurangan dan dosa-dosa yang telah kita lakukan selama ini (introspeksi) agar kita dapat memperbaiki diri kepada yang lebih baik lagi di bulan Ramadhan ini, inilah yang kemudian dinamakan Ihtisaaban.

Untuk mengakui segala kelemahan ternyata sangatlah tidak mudah. Pepatah kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan menggambarkan kondisi kejiwaan manusia yang sangat sulit untuk mengakui kelemahan dan dosa-dosanya. Introspeksi (Ihtisaban) memerlukan kejujuran dan keterbukaan diri untuk menghakimi diri sendiri. Qulil haq lau kaana murron, katakanlah yang hak (benar) sekalipun itu terasa pahit, ternyata akan terasa lebih pahit apabila kita mengatakan kebenaran itu kepada diri kita.

Puasa Ramadhan bukan hanya masalah menahan lapar dan haus saja. Karena kalau hanya menahan lapar dan haus, mengapa Rasulullaah SAW menganjurkan untuk menyegerakan berbuka puasa (takjil), dan mengakhirkan waktu sahur, dan bukankah Allah menyukai yang mudah mudah saja dan tidak menyukai yang memberatkan manusia dalam beribadah kepadaNya.

 

Esensi puasa Ramadhan adalah mengembalikan fitrah manusia pada kesejatiannya, sebagai hamba Allah, dan makhluk sosial yang diberikan kemuliaan, sehingga apabila sudah menyelesaikan ibadah puasa, diharapkan dapat benar benar kembali kepada fitrahnya sebagai hamba Allah dan makhluk sosial yang mempunyai status dan peran dalam bermasyarakat.

Mengakui segala dosa, kelemahan dan kealfaan sangatlah penting, karena manusia adalah tempat salah dan lalai, ketika manusia mengakui kealfaan dan dosa dosanya maka hilanglah rasa ego dan kesombongan kita yang menghalangi manusia untuk menerima kebenaran dan fitrahnya. Allah dengan cinta kasihNya lalu mengajarkan kepada manusia untuk sering sering membaca doa Allahumma innaka ‘afuwun kariim, tuhibbul ‘afwa, fa’fu ‘annaa, yang kalau diartikan secara bebas “Ya Allah Tuhan kami, sesugguhnya Engkau Maha Pengampun, dan menyukai orang orang yang meminta ampun, oleh karena itu ampunilah kami ya Allah”. Hai manusia ingatlah bahwa kau adalah makhluk yang lemah, makhluk yang gampang salah dan lalai, banyak banyaklah kamu meminta ampun kepadaKu, demikian makna tersirat dari do’a di atas.

Dalam doa shalat tarawih ataupun witir untuk terus menerus mengingatkan diri kita sebagai hamba Allah dan makhluk sosial. Re-orientasi hidup harus dikembalikan lagi pada rel yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah yang seharusnya selalu berorientasi kepada akherat dan menjauhkan diri dari perangkap keduniawian yang fana ini, Wa fid dunya zaahidiin, wabi aakhiroti roogibhiin, Ya Allah jadikanlah kami orang orang yang zuhud terhadap dunia ini (tidak berorientasi keduniawian), jadikanlah kami orang orang yang rindu akan akheratMu.

 

Wa ‘alash sholawaati muhaafidziin, waliz zakati faa ‘iliin, spiritual terus dijaga dengan cara selalu menyambungkan ruh ini dengan yang Maha Berkuasa, Allah SWT dengan selalu memelihara dan menegakan shalat. Setelah itu, janganlah lupa peran kita sebagi makhluk sosial, maka harus juga memperhatikan masyarakat sekeliling kamu dengan symbol membayarkan zakat jika sudah memenuhi syarat syaratnya.

Re-orientasi ini sangat penting saat ini, dimana manusia sekarang berlomba lomba menumpuk harta, tahta dan jabatan, sikat sana, sikut sini, jilat menjilat dan korupsi yang alhirnya menghancurkan kemanusiaan itu sendiri.
Orientasi wa limaa ‘indaka thoolibiin wa qodlooi roodliin hanya meminta kepada Allah semata dan menerima dengan ikhlash dan mensyukuri apa yang Allah telah tentukan akan menjauhkan manusia dari sifat rakus, serakah dan tamak.

Wa bin na’maa i syaakiriin, wa ‘alal balaai shoobiriin ya Allah jadikanlah hambaMu ini hamba yang selalu bersyurukur atas segala nikmat yang Engkau telah limpahkan, dan jadikanlah hambaMu ini hamba yang selalu sabar dalam menghadapi setiap tantangan dan cobaan. Sikap selalu bersyukuru menjadikan manusia tidak akan mau mengambil sesuatu yang bukan haknya, dan apabila ada kegagalan, dia tidak akan menyalahkan orang lain.
Selamat berbuka puasa dan selamat hari Raya Idul Fitri dan Mohon maaf lahir dan batin

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler