Buya Hamka Ungkap Pergeseran Makna Wali atau Aulia
Buya Hamka ungkap makna wali.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Buya Hamka bernama lengkap Haji Abdulmalik Abdulkarim Amrullah dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan yang dimaksud dengan wali atau aulia dalam Alquran. Yaitu orang-orang yang beriman beramal shalih dan bertakwa, yang terus melatih diri dalam ibadah.
Apabila kita pergi ke hulu pangkal agama, yaitu Alquran, kita mendapat keterangan yang sejelas ini. Alquran juga jadi pegangan para sahabat Nabi Muhammad SAW dan ulama-ulama salaf.
Tetapi kemudian, setelah di sekitar kurun-kurun ketiga Hijriyah, setelah timbul berbagai macam gerakan tasawuf, timbullah arti yang lain dari kalimat "wali" itu yang sudah sangat jauh menyimpang dari maksudnya yang pertama, yang jelas nyata dalam ayat Alquran.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اَلَآ اِنَّ اَوْلِيَاۤءَ اللّٰهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَۚ
Alā inna auliyā'allāhi lā khaufun ‘alaihim wa lā hum yaḥzanūn(a).
Ketahuilah bahwa sesungguhnya (bagi) para wali Allah itu tidak ada rasa takut yang menimpa mereka dan mereka pun tidak bersedih. (QS Yunus Ayat 62)
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَۗ
Al-lażīna āmanū wa kānū yattaqūn(a).
(Mereka adalah) orang-orang yang beriman dan selalu bertakwa. (QS Yunus Ayat 63)
Mengenai pergeseran makna wali dari yang sebenarnya, Buya Hamka dalam tafsirnya menerangkan, dikatakanlah bahwasanya yang disebut Waliullah adalah manusia-manusia istimewa yang sangat tinggi derajatnya, dan berkuasa atas seluruh alam ini, bisa menahan jalan matahari, bisa dengan isyaratnya saja menahan air sungai mengalir, bisa setiap hari Jumat sholat Jumat di Masjidil Haram dan Tawaf keliling Kabah, walaupun tempat tinggalnya di pulau Jawa dan Sumatera misalnya.
Tersebutlah di dalam kitab Manaqib Sayyid Abdul Qadir Jailani, bahwa pada suatu hari ada seorang yang sangat fasik meninggal dunia. Selama hidupnya orang fasik ini tidak mengerjakan perintah agama, dan tidak mengerti segala kewajiban beragama, yang diketahuinya hanya satu saja, yaitu bahwa Sayyid Abdul Qadir Jailani Wali Quthub yang paling besar.
Kalau Nabi Muhammad SAW disebut Khatamul Anbiya, maka Sayyid Abdul Qadir ini adalah Khatamul Aulia. Lain dari itu tidak ada pengetahuannya yang lain.
Kemudian orang fasik ini meninggal lalu dimasukkan ke dalam kubur, maka datanglah Malaikat Munkar dan Nakir, menanyakan hal-hal yang akan ditanyakan setelah manusia masuk ke dalam alam kubur.
Ditanyai siapa Tuhan engkau, dijawabnya: “Abdul Qadir.”
Ditanyai pula siapa Nabi engkau, dia menjawab: “Abdul Qadir.”
Ditanyai juga siapa saja imam engkau, dia pun menjawab: “Abdul Qadir.”
Ditanyai pula apa agama engkau, dia pun menjawab: “Abdul Qadir.”
Singkatnya, segala pertanyaan dijawabnya: “Abdul Qadir.”
Maka bingunglah kedua Malaikat itu, lalu keduanya melaporkan kepada Allah, akan apakan orang ini. Maka bersabdalah Tuhan: “Surgalah tempat orang itu, sebab dia telah mencintai Wali-Ku.”
Tulis Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar, banyak lagi cerita lain dalam Manaqib itu, yang untuk menerima kebenarannya, hendaklah terlebih dahulu kita membongkar kepercayaan kita kepada Wahyu dari Allah SWT di dalam Alquran dan Sabda dari Nabi Muhammad SAW di dalam hadis-hadis.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
قُلْ لَّآ اَمْلِكُ لِنَفْسِيْ ضَرًّا وَّلَا نَفْعًا اِلَّا مَا شَاۤءَ اللّٰهُ ۗ لِكُلِّ اُمَّةٍ اَجَلٌ ۚاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ فَلَا يَسْتَأْخِرُوْنَ سَاعَةً وَّلَا يَسْتَقْدِمُوْنَ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku tidak kuasa (menolak) mudarat dan tidak pula (mendatangkan) manfaat kepada diriku, kecuali apa yang Allah kehendaki.” Setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan sesaat pun dan tidak (pula) dapat meminta percepatan. (QS Yunus Ayat 49)
Buya Hamka menegaskan, hendaklah terlebih dahulu dibakukan Surat Yunus Ayat 49. Yaitu Rasulullah SAW sendiri mengakui bahwa beliau tidak menguasai manfaat dan mudharat untuk dirinya.
Di dalam kitab Manaqib Syaikh Samman di Madinah disebut pula bahwa kalau kapal hendak tenggela, panggilan: “Ya Samman!” niscaya akan selamat daripada tenggelam.
Cerita-cerita “Wali” semacam inipun sangat banyak tersebar di Indonesia. Menurut orang Aceh, Syaikh Abdurraut al-Fanshuri adalah Waliullah yang sangat besar. Ketika dia berhadapan dengan gurunya Syaikh Muhammad al-Qusyasyi di dalam negeri Madinah al-Munawwarah, telah bertandinglah wali-wali memperlihatkan keramat masing-masing.
Maka tersebutlah bahwa seketika gurunya menanyakan apakah buah-buahan yang paling ganjil di Jawi (Jawa, Indonesia), beliau menjawab Durian. Lalu gurunya menyuruh menghadirkan durian itu di saat itu juga. Maka beliau masukkan tangan kanannya ke dalam lengan jubahnya yang kiri, lalu dikeluarkannya durian dari lengan jubah itu.
Cerita orang Jawa tentang Wali Songo, lebih melebihi hebatnya. Sunan Bonang katanya belayar ke Makkah tidak naik kapal, tetapi di atas sehelai tikar sembahyang. Muridnya, Sunan Kalijogo disuruhnya menunggunya di tepi pantai Demak. Maka sampai tiga tahun Sunan Kalijogo itu menunggu gurunya pulang, tidak makan dan tidak minum, hanya duduk tafakkur sambil zikir sehingga beliau fana.
Ketika gurunya datang kembali, didapatinya telah tumbuh pohon bambu di atas debu yang terkumpul menimbuni badan Sunan Kalijogo itu. Maka terpaksalah diminumkan air kerak ke dalam mulutnya supaya dia tidak mati, karena akan terkejut perutnya menerima nasi.
Ketika penulis tafsir Al-Azhar ini ziarah ke kubur Syaikh Burhanuddin di Ulakan, daerah Pariaman Sumatera Barat (1947), bertemulah di sana puluhan orang yang mendakwakan dirinya bermuqim di kuburan itu memohonkan berkat beliau.
Maka bertemulah sebuah batu licin datar di hadapan kuburan itu. Di tengah-tengah batu itu kelihatan bekas batu lain yang dipukul-pukulkan kepadanya, sehingga berlobang.
Kata orang-orang yang tinggal di kuburan itu, di atas batu itulah selalu Syaikh Burhanuddin memukul zakarnya (kemaluannya) apabila syahwat beliau timbul dalam mengerjakan Suluk. Mereka tidak mengatakan apakah tidak hancur lumat zakarnya karena ditumbuk dengan batu di atas batu.
Di dalam kitab Thabaqatul Auliya (tingkat-tingkat wali-wali), karangan lmam Sya‘rani, bertemulah kita riwayat beberapa orang yang disebut wali. Sebagaimana kita katakan tadi, hendaklah terlebih dahulu kita membuang kepercayaan kepada Alquran, baru dapat kita percaya bahwa mereka itu adalah wali.
Misalnya Imam Sya‘rani meriwayatkan bahwa ada seorang wali yang bernama Syaikh Sya‘ban al-Majdzub selalu bertelanjang, dan yang ditutupnya hanya sekedar dua kemaluannya saja dengan kulit.
Ada pula seorang Wali Majdzub yang lain bernama Syaikh Ali Wahisy, yang sangat banyak keramatnya. Beliau itu selalu berdiri di hadapan rumah pelacuran, menunggu orang-orang yang datang berzina dengan perempuan lacur, setelah mereka itu keluar, beliau berkata: “Berdirilah supaya aku beri engkau syafaat dan hapus dosamu.” Artinya, wali itu jadi pelindung para pelacur.
Tersebut pula dalam Manaqib Sayyid Abdul Qadir Jailani, bahwa pada suatu hari, salah seorang murid beliau meninggal dunia. Sangatlah sedih hati ibunya karena kematian anaknya yang sangat dicintainya itu. Sehingga dia datang mengadu kepada Sayyid Abdul Qadir Jailani. Melihat perempuan itu menangis, jatuhlah iba kasihan dalam hati Sayyid, sedang roh murid itu telah dimasukkan ke dalam sebuah peti penyimpanan roh yang dikumpulkan oleh Malaikat buat segala arwah yang diambilnya pada hari itu dan dibawanya terbang ke langit.
Melihat Malaikat itu telah terbang membawa peti roh itu, dikejarlah oleh Sayyid, yaitu beliau terbang ke udara mengejar Malaikat Maut meminta diserahkan roh muridnya itu kepada beliau akan dikembalikan kepada jasadnya yang sedang terlantar di rumah, belum dikubur. Tetapi Malaikat Maut tidak menyerahkan. Lalu disentakkan peti itu oleh Sayyid dari pegangan Malaikat Maut, sehingga terlepas. Maka bertaburanlah sekalian arwah yang ada dalam peti itu, pulang kembali kepada jasad mereka masing-masing, sehingga bukan murid itu saja yang kembali hidup, melainkan sekalian roh yang ada dalam peti itu kembali pulang ke jasadnya dan semua hidup kembali.
Mukjizat Nabi-Nabi
Kita pelajari dari dalam Alquran tentang Mukjizat Nabi-nabi. Setiap kita baca kisah mukjizat yang shahih itu, kita melihat jelas bahwa Nabi-nabi dan Rasul-rasul itu tidak berkuasa, tidak sanggup melakukan sebagaimana yang dikuasai oleh Allah SWT.
Seumpama Nabi Musa, walaupun dua tiga kali tongkatnya telah menunjukkan keganjilan (keajaiban), namun setiap Nabi Musa terdesak seumpama akan menyeberangi Lautan menyeberangkan Bani Israil, atau seketika Bani Israil meminta agar diberi air minuman, tidaklah Nabi Musa terlebih dahulu dapat berbuat apa-apa sebelum perintah Allah datang.
Barulah tongkat Nabi Musa itu menghasilkan yang ganjil lagi setelah datang perintah Allah kepada Nabi Musa, misalnya: “Pukulkanlah tongkatmu ke laut,” atau “Pukulkanlah tongkatmu ke batu," dan lain sebagainya.
Tetapi bila kita baca cerita-cerita tentang wali dalam kitab-kitab dongeng dalam suasana tashawuf yang demikian, nyata sekali bahwa Wali atau Aulia itu dianggap sebagai Tuhan di samping Allah, lebih tinggi martabatnya daripada Rasul-rasul dan Nabi.
Pengikut-pengikut Syaikh Ahmad ar-Rifa‘i (di Mesir) percaya bahwa Syaikh Ahmad Rifa‘i berkuasa menghidupkan dan mematikan, membahagiakan orang atau menyengsarakan, membuat kaya atau memiskinkan, dan beliau telah sampai ke Maqam yang menyebabkan sekalian langit yang tujuh tingkat itu ada di bawah kakinya.
Di dalam kitab “Al-Bahjatur Rifa‘iyah” disebutkan bahwa sementara masih hidupnya Syaikh Ahmad Rifa‘i pernah menjual setumpak kebun yang ada dalam surga kepada murid-muridnya, dengan ditentukan bahwa di sebelah Timur berbatas dengan kebun si anu, di sebelah Barat, Utara dan Selatan dengan kebun si fulan.
Dalam Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menuliskan, dengan perkembangan ajaran tashawuf semacam ini, nyatalah bahwa arti Wali dan Aulia yang sejelas itu di dalam Alquran, yaitu orang-orang yang benar-benar taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, telah berbelok jauh sekali.