Tokoh Salafi Mesir Tolak Fatwa Jihad Melawan Israel, Sebut tak Realistis
Burhami disebut sebagai pendukung kudeta Mohamed Morsi.
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO — Seorang ulama Salafi terkemuka pro-pemerintah Mesir, Yasser Burhami, pada pekan ini menolak fatwa jihad Persatuan Cendikiawan Muslim Internasional (IUMS) untuk melawan Israel. Burhami mengatakan bahwa fatwa itu tidak realistis dan bertentangan dengan perjanjian damai Mesir tahun 1979 dengan Israel, lapor Middle East Eye.
Burhami yang merupakan kepala gerakan Salafi Mesir, merupakan salah satu pendukung utama Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi. Burhami juga pendukung kudeta tahun 2013 terhadap pendahulunya yang terpilih secara demokratis, Mohamed Morsi.
Grand Mufti Mesir Nazir Ayyad juga menolak fatwa jihad melawan Israel tersebut. Dia mengatakan, pada Senin (7/4/2025), sikap dari IUMS terbilang tidak bertanggung jawab karena mengeluarkan fatwa yang mengatakan semua Muslim yang mampu berkewajiban melakukan jihad melawan Israel karena kekejamannya di Gaza.
Ayyad, yang merupakan otoritas tertinggi untuk mengeluarkan pendapat keagamaan di Mesir, menolak fatwa tersebut. Dia mengatakan tidak ada kelompok atau entitas individu yang berhak mengeluarkan fatwa tentang masalah-masalah sensitif dan kritis tersebut yang melanggar prinsip-prinsip syariah dan tujuan-tujuannya yang lebih tinggi."Tindakan-tindakan tersebut dapat membahayakan keamanan masyarakat dan stabilitas negara-negara Muslim," tambah dia.
Sekjen IUMS Syekh Ali Al Qaradaghi mengeluarkan pernyataan fatwa jihad untuk melawan Israel. Pernyataan Qaradaghi, yang juga didukung oleh 14 ulama Muslim terkemuka lainnya, menyerukan kepada semua negara Islam untuk meninjau perjanjian damai mereka dengan Israel. Bagi umat Islam di Amerika Serikat didorong menekan Presiden Donald Trump agar "memenuhi janji kampanyenya untuk menghentikan agresi dan membangun perdamaian".
IUMS mengatakan semua negara Muslim memiliki kewajiban hukum untuk segera campur tangan secara militer, ekonomi, dan politik untuk menghentikan genosida dan penghancuran menyeluruh ini dan untuk memberlakukan pengepungan terhadap Israel.
"Kegagalan pemerintah Arab dan Islam untuk mendukung Gaza saat sedang dihancurkan dianggap oleh hukum Islam sebagai kejahatan besar terhadap saudara-saudara kita yang tertindas di Gaza," kata sekretaris jenderalnya, Ali al-Qaradaghi, dalam fatwa yang dikeluarkan pada Jumat lalu.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendukung langkah Internasional Union Muslim Scholars (IUMS) yang menerbitkan fatwa jihad untuk keduakalinya demi menghadapi genosida yang dilakukan penjajah Israel.
Prof Sudarnoto Abdul Hakim, Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, menegaskan, fatwa tersebut sejalan dengan Keputusan Ijtima Ulama Fatwa MUI yang menegaskan wajib hukumnya bagi umat Islam membela Palestina.
"Bahkan dalam Ijtima’ MUI ini juga direkomendasikan pengiriman pasukan untuk melindungi warga Gaza dan Palestina secara umum dari genosida dan penghancuran yang dilakukan oleh Israel,"ujar Sudarnoto lewat pernyataan tertulis kepada Republika, Senin (7/4/2025).
Dalam sejumlah pernyataan lepas, dia menegaskan, MUI juga mendorong agar negara-negara anggota OKI melakukan konsolidasi internal untuk melakukan langkah-langkah yang terukur untuk menghentikan kekejian Israel yang secara terus menerus dilakukan. Untuk itu, Sudarnoto menegaskan, Fatwa Jihad Ulama Dunia ini harus didukung secara meluas.
Menurut dia, poin-poin detail Fatwa Jihad memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa pendekatan yang lebih komprehensif dan serentak terkonsolidasi secara internasional perlu dilakukan segera khususnya oleh dunia Islam dalam melawan sekaligus menundukkan Israel, sekaligus mewujudkan kemerdekaan Palestina.
"Kita tidak boleh membiarkan pembunuhan dan penghancuran besar-besaran yang dilakukan oleh teroris terbesar abad ini yaitu Israel dan didukung oleh Amerika terus menerus dilakukan. Karena itu diperlukan kekuatan internasional yang efektif untuk melawan dan menundukkan agresor dan kekuatan-kekuatan aliansi jahat ini,"tegas dia.
Israel telah menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina sejak perangnya di Gaza dimulai pada Oktober 2023. Israel telah menghancurkan daerah kantong Palestina tersebut, menggusur sebagian besar penduduknya, dan dalam beberapa minggu terakhir memberlakukan pengepungan yang telah menghalangi semua bantuan makanan dan medis untuk masuk.
Sebuah kasus yang diajukan oleh Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional menuduh Israel melakukan genosida. Mahkamah Kriminal Internasional juga telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya, Yoav Gallant.