Tarif Trump Rugikan Warga AS, Media Barat: Banyak Konglomerat Buka Rekening di Luar AS

Warga kaya AS mengkonversi kekayaannya ke selain dolar.

Presiden AS Donald Trump dan Xi Jinping di KTT pemimpin G20 di Osaka, Jepang, 29 Juni 2019. Sekarang keduanya berhadap-hadapan dalam perang tarif yang dibuat Amerika.
REUTERS/Kevin Lamarque
Presiden AS Donald Trump dan Xi Jinping di KTT pemimpin G20 di Osaka, Jepang, 29 Juni 2019. Sekarang keduanya berhadap-hadapan dalam perang tarif yang dibuat Amerika.
Rep: Muhammad Nursyamsi Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden pengganti Joe Biden, Donald Trump, membuat gebrakan yang bikin heboh dunia. Dia menerapkan tarif yang tinggi untuk berbagai barang impor yang masuk ke negaranya.

Baca Juga


Israel yang selama ini adalah 'sodara dekat' Amerika, juga dikenakan tarif, yang membuat Netanyahu malu ketika datang jauh-jauh ke Washington. Dalam memutuskan kebijakan ini, Amerika juga mengumandangkan sentimen anti-China yang merupakan negara pesaing Amerika nomor wahid. Menhan Pete Hegseth menjelaskan diskriminasi ekonomi anti China di berbagai forum internasional yang membuat Negeri Tirai Bambu merespons dengan tidak banyak suara, tapi langsung dengan aksi nyata yang menyakitkan Amerika.

Di bawah kendali Presiden Xi Jinping, China langsung menghentikan penerimaan pesawat Boeing, menghentikan pengiriman tambang tanah jarang yang sangat dibutuhkan Amerika. Kemudian masih banyak lagi manuver Xi Jinping, yang membuat elite Amerika pusing.

Amerika menaikkan tarif dagang khusus buat China hingga 245 persen. Namun di kemudian hari, Trump kebingungan, ternyata begitu besar ketergantungan negara yang dipimpinnya terhadap China. Dia kemudian merevisi kebijakan tarif buat China. Khusus buat barang-barang elektronik seperti ponsel dan sebagainya dibuat kelonggaran.

Bahkan pada Sabtu kemarin, Trump memberikan sinyal baru. Dia mengisyaratkan kemungkinan mengakhiri perang tarif dengan China. "Saya tidak ingin tarif naik karena pada titik tertentu Anda akan membuat orang tidak membeli," kata Trump di Gedung Putih pada Kamis (17/4) waktu setempat, dikutip dari Reuters, Sabtu (19/4/2024).

"Jadi, saya mungkin tidak ingin menaikkan harga lebih tinggi atau bahkan tidak ingin naik ke level terakhir."

Trump seperti ingin alur perdagangan dunia, khususnya dengan China, kembali berjalan seperti belum adanya heboh lonjakan tarif. "Saya mungkin ingin menurunkan harga ke level yang lebih rendah," ia menambahkan.

Bayangkan, Trump sudah membuat pusing banyak negara dengan kebijakannya. China yang terkenal dengan seni perang Sun Tzu, sudah kadung menyiapkan banyak strategi untuk menghadapi perang dagang, eh sekarang Trump malah loyo dan mengendurkan tensi perang dagang. 

 

Dengan rencana Trump menghentikan kegaduhan, apakah ini berarti dampak kebijakan tarif Trump akan berhenti pula? Ternyata ini yang jadi masalah berikutnya. Tidak main-main, dampak perang dagang dan ketidakmatangan Trump membuat kebijakan, membuat warga, khususnya konglomerat Amerika, bergerak yang berpotensi merugikan Amerika sendiri.

Buka rekening di Swiss

NBC News melaporkan dalam laporan khusus bahwa semakin banyak orang Amerika kaya yang membuka rekening bank di Swiss, karena takut akan risiko yang mungkin mereka hadapi di Amerika Serikat.

Situs web yang sama mencatat bahwa pihak lain bertindak secara politis, didorong oleh apa yang mereka lihat sebagai penurunan supremasi hukum di Amerika Serikat, untuk membuka rekening bank Swiss di bawah pemerintahan Trump. Ini adalah bagian dari kampanye untuk "menghilangkan unsur Amerika" dari portofolio investasi mereka, menurut para investor dan bank.

 

Bank-bank Swiss mengindikasikan mereka telah melihat peningkatan minat dan transaksi dari warga Amerika berkekayaan tinggi yang membuka rekening investasi dalam beberapa bulan terakhir, menurut laporan tersebut.

 

 

“Hal ini terjadi secara bergelombang,” kata Pierre Gabris, CEO Alpen Partners International, sebuah firma penasihat keuangan Swiss. “Ketika mantan Presiden Barack Obama terpilih, kita melihat gelombang besar. Kemudian datang pandemi COVID-19 sebagai gelombang lainnya… dan sekarang tarif AS menyebabkan gelombang baru.”

 

"Setiap klien memiliki motivasi berbeda untuk membuka rekening bank," jelas Gabriel. "Banyak yang ingin mendiversifikasi investasi mereka dari dolar, yang mereka yakini akan semakin melemah karena beban utang AS yang tinggi. Politik Swiss yang netral, ekonomi yang stabil, mata uang yang kuat, dan sistem hukum yang dapat diandalkan merupakan faktor-faktor yang menarik."

Ia menambahkan, "Yang lain didorong oleh politik, dan apa yang mereka lihat sebagai penurunan supremasi hukum di Amerika Serikat di bawah pemerintahan Trump. Yang lain masih membuka rekening Swiss untuk membeli emas fisik di Swiss, yang terkenal dengan tempat penyimpanan dan penyulingan emasnya."

Ia melanjutkan, "Banyak juga yang mencari tempat tinggal atau kewarganegaraan kedua di Eropa dan ingin membeli real estat," menganggapnya sebagai "rencana alternatif."

Warga Amerika ingin mendiversifikasi investasi mereka dari dolar

Menurut Gabriel, "Membuka rekening bank Swiss relatif sederhana, tetapi harus mematuhi undang-undang pengungkapan AS yang ketat." Dia menjelaskan bahwa "meskipun bank-bank besar AS tidak diizinkan membuka rekening Swiss untuk klien, sebagian besar memiliki hubungan rujukan dengan sejumlah kecil perusahaan Swiss yang terdaftar di Komisi Sekuritas dan Bursa AS dan diizinkan menerima investor AS."

 

Senada dengan itu, Bank Vontobel SFA, yang diyakini sebagai bank Swiss terbesar yang terdaftar di Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat (SEC) untuk klien AS, menolak berkomentar mengenai masalah tersebut, menurut NBC News. Sementara itu, bank swasta Swiss Pictet mengatakan telah melihat "peningkatan signifikan" dalam permintaan klien di perusahaannya yang berkantor pusat di Swiss dan terdaftar di SEC, Pictet North America Advisors.

Situs web tersebut melanjutkan, "Meskipun beberapa dekade lalu, membuka rekening bank Swiss mungkin merupakan praktik penghindaran pajak, saat ini praktik tersebut diawasi secara ketat dan digunakan secara luas, termasuk dalam formulir dan laporan pajak."

“Banyak warga Amerika menyadari bahwa 100% portofolio investasi mereka dalam dolar AS, jadi mereka berpikir, ‘Mungkin saya perlu mendiversifikasi investasi saya,’” kata Gabriel.

Beberapa hari yang lalu, situs web Amerika Axios melaporkan gejolak di pasar , yang mengguncang citra dolar dan obligasi Treasury sebagai tempat berlindung yang aman dan meningkatkan keraguan mendalam tentang masa depan sistem keuangan global, menanggapi kekhawatiran investor.

Organisasi Perdagangan Dunia juga memperkirakan penurunan 0,2% dalam perdagangan barang global pada tahun 2025, dengan penurunan tajam dalam ekspor Amerika Utara dan peringatan akan kontraksi lebih lanjut jika ketegangan politik dan tarif bersama terus berlanjut.

Indonesia

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah merespons cepat dalam menanggapi kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat (AS). Airlangga bersama delegasi Indonesia berkunjung untuk menemui pejabat utama AS yang terkait dengan isu dan kebijakan tarif antara lain Secretary of State AS, United States Trade Representative (USTR) dan Secretary of Commerce AS, serta Secretary of Treasury AS.

"Indonesia termasuk salah satu negara yang diterima lebih awal oleh Pemerintah AS untuk membahas kerja sama ekonomi bilateral RI-AS dalam mewujudkan perdagangan yang adil dan berimbang," ujar Airlangga dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (18/4/2025).

Memulai pertemuan dan negosiasi dengan AS di hari pertama, Airlangga dan Delegasi Indonesia telah bertemu dengan Ambassador Jamieson Greer (USTR) dan Howard Lutnick (Secretary of Commerce AS), serta dua Menteri AS yang langsung bertanggungjawab dan menangani kebijakan tarif AS pada Kamis (17/4/2025). Airlangga mengatakan pertemuan tersebut fokus membahas negosiasi dan upaya strategis mengantisipasi pemberlakuan kebijakan tarif resiprokal AS terhadap Indonesia.

"Pemerintah Indonesia telah menyampaikan tawaran dan permintaan kepada AS untuk mencapai perdagangan yang adil dan berimbang antara lain membahas peningkatan pembelian Energi, Produk Pertanian, dan EPC, serta mengoptimalkan kerja sama terkait Critical Minerals," ucap Airlangga. 

 

Selain itu, sambung Airlangga, pertemuan tersebut juga membahas pemberian insentif dan fasilitas bagi perusahaan AS dan Indonesia untuk mendorong investasi, dan membahas pula upaya memperlancar prosedur dan proses impor produk AS ke Indonesia, serta beberapa investasi strategis di AS maupun di Indonesia. Airlangga menyampaikan pemerintah juga menyampaikan pentingnya memperkuat kerja sama pendidikan, sains, ekonomi digital, dan financial services. 

"Pemerintah Indonesia menekankan pentingnya penetapan tarif yang lebih rendah dari negara kompetitor untuk produk ekspor utama yang tidak akan bersaing dengan industri dalam negeri di AS," lanjut Airlangga. 

Airlangga juga menekankan pentingnya memastikan ketahanan rantai pasok dari produk strategis dalam menjaga economic security. Airlangga menyampaikan AS merespons sangat positif penawaran dan permintaan Indonesia dan bersedia untuk menindaklanjuti segera pada level teknis, dengan segera memulai negosiasi di tingkat teknis dengan target menyelesaikan kerangka perjanjian dalam 60 hari. 

"Pihak AS telah menyepakati bahwa isu kebijakan tarif dan kerja sama bilateral RI-AS akan dibahas dan diselesaikan dalam waktu 60 hari ke depan," kata Airlangga. 

Airlangga mengatakan AS membuka potensi untuk menyusun kerangka kerja sama bilateral dalam bentuk Strategic Economic Partnership yang meliputi kemitraan perdagangan dan investasi, kemitraan terkait critical minerals, dan kemitraan koridor rantai pasok yang resilien.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler