Media Israel: Netanyahu Bernafsu Perang , tapi SDM Berkurang Parah, IDF Menuju Kehancuran

Prajurit Israel terus menolak perintah perang Netanyahu.

Banyak tentara Israel mati akibat gagal bertempur di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, dan Suriah. IDF hadapi krisis militer yang parah akibat perang tak berkesudahan yang diperintah Netanyahu.
EPA-EFE/ABIR SULTAN
Banyak tentara Israel mati akibat gagal bertempur di Gaza, Tepi Barat, Lebanon, dan Suriah. IDF hadapi krisis militer yang parah akibat perang tak berkesudahan yang diperintah Netanyahu.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Ambisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk terus perang tak pernah berkurang. Segala perintah dia keluarkan untuk melangusngkan bakuhantam. Namun ternyata, perintah itu tak berbanding lurus dengan ketersediaan sumber daya untuk perang. 

Baca Juga


Sumber militer di Tel Aviv mengungkapkan bahwa Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Eyal Zamir, mengeluh di depan rapat kabinet resmi tentang kekurangan tenaga kerja yang parah di militer. Ia menegaskan bahwa kekurangan ini merupakan hambatan besar dalam mencapai tujuan perang di Jalur Gaza dan dapat mencegahnya tercapai sepenuhnya.

Selama diskusi baru-baru ini dengan elite politik, Zamir menekankan, menurut apa yang dilaporkan Yedioth Ahronoth pada hari Senin, bahwa kekurangan prajurit tempur ini membatasi kemampuan tentara untuk sepenuhnya mencapai tujuan pemerintah Israel.

Zamir mencatat bahwa pemerintah yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu terus mengandalkan peralatan militer dan pejuang IDF untuk melancarkan perang, tanpa upaya politik paralel yang dapat melengkapi operasi militer di lapangan.

Situasi tentara saat ini tidak memadai untuk mencapai tujuan yang dinyatakan, terutama mengingat tidak adanya rencana politik untuk menyertai upaya militer dan memberikan alternatif bagi Hamas di Jalur Gaza.

Menteri Israel disambar geledek 

Pemerintah telah membocorkan bahwa perkataan Zamir bagaikan petir yang menyambar para menteri, terutama di kubu ekstrem kanan yang dipimpin oleh menteri Itamar Ben-Gvir dan Bezalel Smotrich, serta sayap ekstremis partai Likud.

 
Orang-orang ini telah melakukan segala cara yang mereka bisa untuk menghasut mantan Kepala Staf, Herzi Halevi, agar meninggalkan jabatannya karena ia sama sekali tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah, dan mereka membawa Zamir sendiri kepada Kepala Staf untuk memperkenalkan kebijakan baru yang agresif dan konfrontatif.

 

Dia kemudian menggunakan argumen dan kata-kata yang sama untuk menjelaskan mengapa dia tidak dapat mencapai tujuan perang, yaitu melenyapkan Hamas sebagai organisasi dan sistem pemerintahan, dan mengembalikan tentara yang diculik.

Para menteri terkejut dengan semangat independen yang mulai ditunjukkan Zamir, karena ia telah menyatakan kesetiaannya kepada Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di awal sesi. Mereka mulai bertanya-tanya apakah dia telah menipu mereka hingga dia memperoleh kekuasaan, atau apakah dia berkoordinasi dengan Netanyahu untuk membawa perubahan mendadak, berdasarkan keinginan dan perintah pemerintah AS.

Kekurangan sangat parah

Divisi tenaga kerja militer Israel telah berulang kali mengonfirmasikan kekurangan personel yang parah dalam beberapa bulan terakhir, tetapi dalam beberapa minggu terakhir, ia telah berbicara tentang krisis kekurangan pasukan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam beberapa dekade.

 

Lebih dari 100.000 tentara cadangan telah berhenti bertugas, sementara beberapa menolak untuk bergabung dalam perang karena apa yang dilaporkan media Israel sebagai alasan "moral".

Media berbahasa Ibrani mengutip sumber terpercaya yang mengatakan bahwa persentase prajurit cadangan yang bergabung dengan unit tempur adalah antara 60 dan 70 persen dalam skenario terbaik, sementara beberapa melaporkan persentase yang lebih rendah, berkisar antara 40 dan 50 persen.

Zamir menjelaskan bahwa komitmen untuk wajib militer ke dalam jajaran tentara pendudukan, bahkan dalam unit tempur, telah menjadi sangat rendah.

Prestasi berubah jadi kehancuran

Kepala Staf Israel juga menekankan bahwa prestasi prajurit di medan perang mulai terkikis karena kurangnya dukungan politik yang efektif, dan memperingatkan bahwa kebuntuan yang berkelanjutan dalam mencari alternatif bagi kekuasaan Hamas di Gaza akan merusak keuntungan apa pun di lapangan. Surat kabar itu menyimpulkan dengan menyatakan bahwa kabinet keamanan tetap bertekad untuk mengabaikan alternatif politik atau rencana pascaperang apa pun, meskipun Zamir menyerukan kepada para menteri untuk "meninggalkan ilusi mereka," seperti yang ia gambarkan, mengingat kekurangan pasukan yang serius.

Patut dicatat bahwa lembaga politik sayap kanan, yang dipimpin oleh Netanyahu, menganggap terlibat dalam pengakuan semacam itu seperti mencetak gol bunuh diri, dan memperingatkan bahwa menerbitkan berita seperti itu dapat mendorong Hamas untuk memperketat persyaratannya dalam kesepakatan tersebut. Namun, pimpinan TNI menganggap keterusterangan tersebut merupakan senjata ampuh di tangan TNI dalam mempererat rasa saling percaya antara TNI dengan masyarakat.

IDF bangkang perintah Netanyahu

Sekelompok 1.000 anggota dan mantan personel cadangan Angkatan Udara Israel pada Kamis (10/4) menyerukan pembebasan semua sandera yang masih ditahan di Jalur Gaza, “meskipun hal itu berarti harus mengakhiri perang” melawan kelompok Palestina, Hamas.

“Kelanjutan perang tidak lagi mendorong tercapainya tujuan-tujuan yang telah diumumkan dan justru akan menyebabkan kematian para sandera, tentara IDF (militer), dan warga sipil tak bersalah,” bunyi surat terbuka yang dipublikasikan oleh para mantan personel cadangan tersebut di sejumlah media Israel.

Surat itu menyerukan “pemulangan segera” para sandera Israel dari Gaza, dan menyatakan bahwa perang yang sedang berlangsung kini hanya melayani “kepentingan politik dan pribadi.”

 

 

“Hanya melalui kesepakatan para sandera dapat dipulangkan dengan aman, sementara tekanan militer justru memperbesar risiko kematian sandera dan membahayakan keselamatan tentara kita,” tulis mereka, sambil menyerukan warga Israel untuk “bergerak dan mengambil tindakan.”

Mantan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Dan Halutz, termasuk salah satu penandatangan surat tersebut.

Pemimpin otoritas Israel, Benjamin Netanyahu, mengecam para penandatangan surat itu.

“Mereka adalah kelompok ekstremis pinggiran yang kembali mencoba memecah belah masyarakat Israel dari dalam,” kata Netanyahu dalam pernyataannya.

Ia menuduh mereka memiliki satu tujuan, yaitu “menjatuhkan pemerintahan. Mereka tidak mewakili tentara maupun rakyat.”

Kepala pertahanan Israel, Israel Katz, menyatakan bahwa surat tersebut merusak “legitimasi” perang di Gaza, dan mendesak pimpinan militer serta angkatan udara untuk menangani isu ini “dengan cara yang paling tepat.”

 

Menurut harian Haaretz, Kepala Angkatan Udara Israel memutuskan untuk memberhentikan para cadangan aktif yang menandatangani surat tersebut, namun tidak menyebutkan jumlahnya.

Sementara itu, hampir 150 perwira Angkatan Laut Israel menandatangani petisi yang mendesak pemerintahan Netanyahu untuk menghentikan perang di Gaza dan memastikan pembebasan para sandera yang masih ditahan di sana, sebagaimana dilaporkan oleh harian Yedioth Ahronoth.

 

 

Kanal berita Channel 12 melaporkan bahwa ratusan prajurit yang pernah bertugas dan masih aktif dalam cadangan di Korps Lapis Baja dan Angkatan Laut turut bergabung dalam protes yang dipelopori Angkatan Udara, serta mengirim dua surat tambahan yang menuntut diakhirinya perang di Gaza dan pemulangan para sandera.

 

Tak lama kemudian, stasiun televisi tersebut melaporkan bahwa puluhan dokter cadangan militer turut mengirim petisi kepada pemerintah, menuntut diakhirinya perang di Gaza -- sebuah indikasi meningkatnya gelombang pembangkangan dari dalam tubuh militer Israel.

Petisi tersebut ditujukan kepada pejabat pertahanan israel, Israel Katz, dan Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata, Eyal Zamir. Isinya menyatakan: “Kami, para dokter dan tenaga medis cadangan yang bertugas di berbagai unit militer Israel, menuntut pemulangan segera para sandera dan penghentian perang di Jalur Gaza,” seperti dikutip kanal tersebut.

“Pada 7 Oktober 2023, kami menjawab panggilan untuk membela Israel, namun setelah lebih dari 550 hari pertempuran -- yang telah membawa dampak besar bagi negara ini -- kami dengan berat hati merasa bahwa kelanjutan perang kini lebih melayani kepentingan politik dan pribadi, bukan tujuan keamanan yang jelas,” lanjut mereka.

 

Israel memperkirakan masih ada 59 sandera yang ditahan di Gaza, setidaknya 22 di antaranya dipastikan masih hidup. Mereka seharusnya dibebaskan pada fase kedua kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan, yang mensyaratkan Israel untuk menarik seluruh pasukannya dari Gaza dan mengakhiri perang secara permanen.

Namun, Israel kembali melanjutkan serangan dan melanggar kesepakatan gencatan senjata pada Januari. Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, Israel telah menewaskan lebih dari 50.800 warga Palestina di Gaza dan meratakan wilayah kantong tersebut menjadi puing-puing.

Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan kepala pertahanan, Yoav Gallant, atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.

Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas agresinya di wilayah tersebut.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler