Kartini – Kartini Pejuang dari Tanah Gontor
Pondok Modern Darussalam Gontor terus mendidik santri untuk menjadi SDM berdaya saing
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Setiap 21 April, Indonesia memperingatkan hari Kartini, seorang wanita pendobrak kegelapan, yang menggelorakan perjuangan untuk bangkit dari keterpurukan. Jiwa wanita semacam ini merasuk ke dalam hati banyak wanita Indonesia, tak terkecuali mereka yang berada di Tanah Gontor, desa tempat ulama tangguh mendakwahkan kearifan Islam di selatan Ponorogo Jawa Timur.
Hari ini Gontor sudah menjadi desa yang di dalamnya terdapat Pondok Modern Darussalam Gontor, tempat ribuan santri mencari ilmu. Mereka datang dari berbagai daerah, bahkan negara. Semuanya membaur dalam budaya mencari ilmu yang dibarengi dengan akhlak mulia. Mereka mengikuti disiplin dan sunah pondok yang ditanamkan sejak lama.
Itu Gontor zaman sekarang, bagaimana dengan zaman dahulu? Buku Biografi KH Imam Zarkasyi menjelaskan, dahulu tak banyak orang mengenal Gontor. Terlebih pada abad ke-19, orang mengenal nama itu karena daerah tersebut seram.
Kata Gontor berarti enggon dan kotor. Artinya tempat kotor. Maksudnya kotor dengan kemaksiatan dan perbuatan tercela. Tempat tersebut menjadi sarang penjahat, tempat mabuk, tempat judi dan berbagai kemaksiatan.
Di tengah situasi demikian, seorang kiai Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo, hanya berjarak beberapa kilometer dari Pondok Gontor sekarang, memerintahkan santri kesayangannya untuk berdakwah di sana. Kiai Khalifah – nama si kiai – meminta santri kesayangannya, Raden Sulaiman Jamaludin untuk pergi ke Gontor. Tidak sendirian, Sulaiman dibersamai istrinya yang dikenal dengan sebutan Nyai Sulaiman Jamaludin bersama 40 santri Gebang Tinatar. Jumlah tersebut dimaksudkan agar mereka dapat melaksanakan Sholat Jumat di sana.
Dalam perkembangannya, ada sejumlah wanita mulia yang berjuang menghancurkan kegelapan di Gontor, berikut ini beberapa srikandi tersebut.
Istri Kiai Raden Sulaiman Jamaludin
Orang mengenalnya Nyai Sulaiman Jamaludin. Jika mengunjungi Kompleks Pemakaman Keluarga Pondok Modern Darussalam Gontor, maka akan menemukan makam almarhumah tepat di samping makam sang suami, Kiai Raden Sulaiman Jamaludin.
Nyai Sulaiman merupakan wanita tangguh yang mau membersamai sang suami berdakwah di tempat yang penuh dengan kemaksiatan, perjuangan yang penuh dengan kesulitan. Tak peduli ada tantangan apa di sana, dia bersamai sang suami menyebarluaskan benih kearifan Islam, yang kelak mengubah tradisi Gontor menjadi jauh lebih baik seperti sekarang ini.
Nyai Sulaiman adalah putri Kiai Khalifah, putra Kiai Ageng Wirosobo Setono Betik Mojo Agung. Istri Kiai Khalifah merupakan anak Kiai Ageng Muhammad Besari, pendiri Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari Ponorogo, cikal bakal sejumlah pesantren besar di Jawa. Jika ditelusuri lebih jauh, maka akan tersambung kepada Raden Rahmatullah (Sunan Ampel), Syekh Jamaluddin Akbar al Husaini bin Ahmad bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alawi bergelar Ammul Faqih, terus tersambung hingga Nabi Muhammad SAW.
Sudarmi
Wanita kedua yang dikenal tangguh di Gontor adalah Nyai Sudarmi. Ibu tujuh anak ini menjadi ‘tulang punggung’ keluarga. Suaminya, Kiai Santoso Anom Besari wafat dalam usia muda pada tahun 1918. Saat itu, tiga pendiri Gontor: KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Zarkasyi, masih dalam masa belajar.
Tanpa suami, Ibu Sudarmi membesarkan tujuh anak yang dilahirkannya, termasuk tiga orang pendiri Gontor tersebut yang kini dikenal sebagai trimurti pendiri Gontor.
Ketika itu kehidupan di Gontor sungguh sulit. Indonesia baru dalam pikiran orang, belum lahir. Sementara penjajahan di mana-mana. Pejuang yang pernah ngaji kepada Kiai Santoso, M Amin (114 tahun), menceritakan bagaimana susahnya belajar ketika itu. Pria yang pernah jadi pemegang tandu Jenderal Sudirman itu masih kecil, tapi punya semangat belajar yang tinggi. Dari daerah Siman, dia berjalan kaki menuju Gontor. Tidak seperti anak sekarang yang belajar membawa buku. Amin tidak berani membawa apapun. “Karena kalau ketahuan Belanda bawa buku, kita akan langsung dianiaya,” ujar Amin suatu ketika.
Meski tidak mencatat, dan hanya mendengar, Amin ingat betul Kiai Santoso selalu menjelaskan keharusan menjaga akidah Islam dalam keadaan bagaimanapun. Bahwa akidah adalah keyakinan yang harus tertanam di hati. Kemudian dipraktikkan dalam keseharian, dan diwujudkan dalam akhlak mulia.
Tak hanya Amin, akidah yang kuat yang didakwahkan Kiai Santoso juga menjadi pegangan Nyai Sudarmi dalam mendidik anak-anaknya. Dia banting tulang untuk menyekolahkan anak-anaknya ke Pesantren Siwalan Panji, Pesantren Jemsaren, dan banyak lagi, sambil bermunajat kepada Allah, semoga kelak mereka menjadi insan yang bermanfaat untuk masyarakat luas. Setelah belajar di sejumlah tempat, tiga anak Sudarmi menghidupkan kembali Pondok Gontor yang sudah mati. Usaha ketiga anak itu terus berlanjut hingga sekarang yang dikenal dengan Pondok Modern Darussalam Gontor.
Sutichah
Selesai belajar di sejumlah pesantren, Kiai Ahmad Sahal kembali ke Gontor. Dia kemudian mengundang remaja dan anak-anak sekitar Gontor untuk belajar dan ngaji bersamanya. Mulailah dia menghidupkan Pondok Gontor yang mati sejak 1918 tahun sang ayah KH Santoso Anom Besari wafat.
Di antara santri pertama Kiai Ahmad Sahal adalah Sutichah, seorang gadis yang kelak ia jadikan pendamping hidup. “Ibu itu loyalisnya bapak,” kenang KH Hasan Abdullah Sahal, putra Kiai Ahmad Sahal yang kini memimpin Pondok Modern Darussalam Gontor. Apa kata Kiai Ahmad Sahal, pasti ditaati, dipahami, dan dikerjakan oleh Sutichah.
Pada 1948, di saat pemberontakan PKI Madiun pecah, dia harus merelakan suaminya pergi bersama KH Imam Zarkasyi dan santri-santri ketika itu ke arah Trenggalek. Namun dalam perjalanan itu, mereka ditangkap gerombolan PKI dan hampir saja ditembak mati. Namun hal itu tak terjadi, karena pasukan Hizbullah yang dipimpin putra KH Hasyim Asy’ari, KH Yusuf Hasyim, datang menyelamatkan mereka.
Kelak di kemudian hari, Sutichah juga mendukung anak-anaknya mengembangkan pendidikan di Ponorogo dengan mendirikan lembaga pendidikan. Nyai Sutichah menyaksikan perkembangan Pondok Modern Darussalam Gontor yang begitu pesat hingga akhir hayatnya.
Siti Partiyah
Srikandi lainnya adalah Siti Partiyah, istri KH Imam Zarkasyi. Berdasarkan catatan Tuan Guru Hasanain Juwaini, alumnus Gontor dan ulama di NTB, Siti Partiyah kerap melaksanakan Sholat Duha di Masjid Pusaka. Suatu ketika dia bertemu dengan anak yang tidak mampu membayar biaya pendidikan di Gontor. Istri KH Imam Zarkasyi ini kemudian membantu pembiayaan sang anak hingga selesai. Tak hanya seorang, ada banyak anak yang mendapatkan kebaikan Siti Partiyah.
Perjuangan hidup yang dilaluinya tidaklah mudah. Sepeti Sutichah, dia juga harus merelakan sang suami KH Imam Zarkasyi bersama saudaranya KH Ahmad Sahal dan santri-santri pergi menghindari kejaran PKI yang dipimpin Muso Munawar dan Amir Syarifudin. Hal itu terjadi setelah Partiyah menjadi istri KH Imam Zarkasyi selama delapan tahun.
Dalam Buku Biografi KH Imam Zarkasyi diceritakan, Partiyah bersama KH Imam Zarkasyi hidup dalam keadaan yang sangat sederhana. Mereka saling menguatkan untuk keberlanjutan pendidikan santri-santri di Pondok Modern Darussalam Gontor.
Kini Pondok Modern Darussalam Gontor tak lagi menghadapi kesusahan seperti pada masa menghadapi pemberontakan PKI. Keluarga besar Gontor kini melanjutkan perjuangan para leluhur dengan membangun dan meneruskan pendidikan sehingga dapat mencetak generasi penerus bangsa yang berdaya saing.
Para srikandi di Gontor selalu diberikan pemahaman, bahwa mereka harus mengutamakan pembangunan pondok. Juga mendukung dan menyelesaikan tugas pondok dengan baik, sehingga tradisi di sana selalu lestari dan berjalan dengan baik seperti dahulu dikerjakan Nyai Sulaiman Jamaludin, Nyai Sudarmi, Sutichah, dan Siti Partiyah.