Hardiknas 2025: Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua
Pemerintah berkomitmen wujudkan pendidikan bermutu untuk semua.
Oleh : Muhammad Muchlas Rowi*
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada pesan penting yang bisa kita tangkap dan refleksikan dari ajang Konsolidasi Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah yang digelar Senin-Rabu (28-30 April 2025) kemarin di Kota Depok, Jawa Barat.
Pertama, ini adalah kali pertama dalam lima tahun terakhir seluruh pemangku kepentingan pendidikan—baik pusat maupun daerah—berkumpul dan melakukan konsolidasi menyeluruh. Acaranya tak begitu formal, tapi mencerminkan kesadaran kolektif bahwa pendidikan memerlukan penyelarasan arah dan langkah dari seluruh elemen bangsa.
Kedua, Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyadari sepenuhnya tanggung jawab yang tengah diembannya. Dengan membaca ulang data dan kondisi nyata pendidikan hari ini—mulai dari kesenjangan akses hingga kualitas pembelajaran—Ia mengajak kita semua untuk memandang pendidikan bukan cuma sebagai program kerja, melainkan sebagai mandat peradaban.
"Pendidikan bermutu untuk semua," ucap Abdul Mu’ti, bukan sebagai slogan, tetapi sebagai janji yang harus ditepati.
Dari keseluruhan pesan yang beliau sampaikan, kita dapat menarik satu garis reflektif: bahwa pendidikan Indonesia hari ini dapat dilihat melalui dua dimensi utama. Dimensi konservatif, yang menjaga dan merawat nilai-nilai luhur serta identitas bangsa. Dan dimensi progresif, yang menjawab tantangan zaman dan menyiapkan generasi muda untuk menghadapi masa depan yang terus berubah.
Merawat Amanat Sejarah
Pendidikan di Indonesia memiliki akar yang kuat dalam sejarah dan nilai-nilai luhur kebangsaan. Ia bukan sekadar layanan administratif, melainkan hak asasi setiap anak bangsa, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan ditegaskan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Pendidikan adalah wujud janji negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Masuk dalam Asta Cita pembangunan nasional, pendidikan menjadi instrumen utama dalam penguatan sumber daya manusia, perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas. Ini bukan sekadar angka dalam dokumen negara, tapi arah kebijakan yang berlandaskan moral dan keadilan sosial.
Spirit Hardiknas yang berakar dari pemikiran Ki Hadjar Dewantara masih hidup hingga kini. Semboyannya—Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani—masih menjadi kompas dalam penyusunan kebijakan, termasuk dalam penguatan karakter melalui program 7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat yang dibuat Abdul Mu’ti: bangun pagi, olahraga, gemar belajar, beribadah, makan sehat, bermasyarakat, dan tidur tepat waktu.
Meskipun secara umum angka partisipasi sekolah (APS) di Indonesia terus meningkat dan mendekati universal, tantangan ketimpangan wilayah masih nyata. Masih ada daerah dengan APS SMA di bawah 70%. Lebih dari 60% ruang kelas SD dalam kondisi rusak. Selain itu, hasil PISA 2022 mencatat bahwa 75% siswa usia 15 tahun kesulitan memahami bacaan panjang, dan 82% belum mampu menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Warisan tak akan berarti tanpa keberlanjutan. Dan cita-cita luhur tak akan berwujud jika tak kita jaga dalam kerja yang nyata.
Apalagi kita tahu, dunia kini berubah begitu cepat—lebih cepat dari yang bisa diprediksi oleh kurikulum lama atau sistem belajar konvensional. Teknologi terus melesat, jenis pekerjaan baru bermunculan, dan tantangan global datang silih berganti. Pendidikan harus menjadi jembatan yang lentur dan cerdas menuju masa depan. Inilah pentingnya dimensi progresif.
Kita hidup di masa ketika batas-batas antarprofesi melebur. Anak-anak yang kini duduk di bangku SD mungkin akan bekerja di bidang yang bahkan belum diciptakan hari ini. Kecerdasan buatan bukan lagi sekadar topik riset, tapi telah merasuk ke dalam hampir semua aspek kehidupan—dari industri hingga rumah tangga. Teknologi deepfake, disinformasi digital, hingga algoritma media sosial menuntut literasi baru yang lebih dari sekadar kemampuan membaca.
Di sisi lain, perubahan iklim semakin nyata, dan krisis pangan mulai menghantui negara-negara di dunia. Semua ini menegaskan bahwa pendidikan masa kini tidak bisa hanya berpijak pada buku teks, tetapi harus memberdayakan nalar kritis, adaptasi teknologi, serta empati sosial yang tinggi.
Dalam lanskap perubahan secepat ini, pendidikan yang stagnan justru akan menjadi penghambat kemajuan. Maka, keberanian untuk mereformasi, mengevaluasi, dan menyesuaikan arah menjadi keharusan.
Merancang Masa Depan
Pendidikan masa depan, sebagaimana digagas Abdul Mu’ti, tidak bisa hanya mengandalkan penguasaan konten. Ia harus memampukan peserta didik untuk berpikir mendalam, kritis, dan reflektif. Konsep pembelajaran mendalam atau deep learning yang akan diterapkan bertujuan menciptakan proses belajar yang lebih berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan. Dalam pendekatan ini, peserta didik tidak hanya mengingat informasi, tetapi mengolahnya melalui olah pikir, hati, rasa, dan raga.
Pembelajaran yang hanya menekankan pada penguasaan materi tidak lagi cukup; anak-anak perlu dilatih untuk berpikir sistemik, membuat koneksi lintas disiplin, serta memiliki kepekaan etis dan sosial. Inilah esensi dari pembelajaran mendalam: membentuk manusia yang bukan hanya cerdas, tetapi juga sadar dan berdaya.
Selain itu, pendidikan bukan hanya tentang hari ini, tapi juga tentang masa depan yang belum kita lihat. Sebagaimana disampaikan Menteri Abdul Mu’ti, "Pendidikan memberi bekal untuk menjawab tantangan masa depan." Maka, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang antisipatif dan adaptif.
Kita hidup dalam era yang ditandai oleh disrupsi besar: Revolusi Industri 4.0, kecerdasan artifisial, keamanan siber, perubahan iklim, krisis pangan, transisi energi, kesenjangan ekonomi, hingga ketidakpastian kesehatan global. Semua ini menuntut literasi baru—bukan hanya baca tulis, tetapi juga digital, teknologi, dan komputasional.
Kemendikdasmen telah melangkah maju dengan kebijakan progresif. Mata pelajaran Koding dan Kecerdasan Artifisial akan diperkenalkan mulai sejak kelas 5 SD sebagai mata pelajaran pilihan. Ini dirancang dengan metode plugged, unplugged, dan berbasis internet, agar semua anak—termasuk yang minim infrastruktur—tetap bisa belajar dengan cara yang relevan.
Di sisi evaluasi, sistem ujian tidak lagi menjadi alat penentu kelulusan semata, melainkan alat diagnostik yang membantu guru dan sekolah merancang strategi perbaikan. Asesmen Nasional, Tes Kemampuan Akademik (TKA), dan Tes Diagnostik menjadi alat ukur baru yang lebih manusiawi dan berorientasi proses.
Mereka tak hanya harus pintar, tapi juga tangguh, kolaboratif, dan sadar peran dalam dunia yang makin kompleks.
Tentu, semua arah perubahan ini tak bisa berjalan sendirian. Pendidikan yang baik bukan hanya soal kebijakan pusat, tetapi soal kerja bersama lintas pihak dan lintas batas. Transformasi pendidikan tidak akan berarti tanpa keterlibatan semua pihak. Saat ini, 95% satuan pendidikan dikelola oleh pemerintah daerah. Dari total anggaran pendidikan sebesar Rp 724 triliun, 48% di antaranya ditransfer ke daerah melalui TKD.
Artinya, Pemda memegang peran kunci. Mereka harus mampu memetakan kebutuhan, menyinergikan data antar dinas, menjalin kemitraan dengan sekolah swasta, dan memaksimalkan penggunaan Rapor Pendidikan sebagai alat refleksi dan perencanaan berbasis data.
Namun, tak cukup hanya pemerintah. Pendidikan bermutu hanya bisa tercipta jika ada kolaborasi 4 aktor utama: pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan sektor swasta. Inilah partisipasi semesta. Ketika semua unsur bangsa bersatu dalam misi besar pendidikan, di situlah harapan tumbuh. Tapi harapan itu harus dijaga dan diwujudkan dalam langkah nyata.
Hardiknas 2025 bukan sekadar perayaan, tetapi pengingat: bahwa anak-anak kita tak boleh menjadi korban dari ketidakseriusan kita dalam membenahi pendidikan. Dan hanya dengan partisipasi semesta, janji itu bisa ditepati. Untuk semua. Tanpa kecuali.
*Staf Khusus Menteri Bidang Transformasi Digital dan Kecerdasan Artificial Kemendidasmen RI