Perludem Prihatin dengan PSU, Masih Banyak Menyisakan Masalah

Dari total 19 daerah yang menggelar PSU, tercatat 11 daerah mengajukan sengketa ke MK

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Warga memasukkan surat suara ke dalam kotak suara saat pemungutan suara ulang Pilkada Kabupaten Kutai Kartanegara di TPS 22 Arwana di Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Sabtu (19/4/2025). Pemungutan suara ulang pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kutai Kartanegara itu berlangsung di 1.447 TPS dengan daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 552.469 pemilih di 20 kecamatan.
Rep: Muhammad Noor Alfian Choir Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA — Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyoroti pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) dalam Pilkada serentak yang dinilai masih menyisakan banyak persoalan. PSU yang semestinya menjadi ruang koreksi terhadap pelaksanaan Pilkada, justru kembali menimbulkan sengketa hukum.

Baca Juga


Peneliti Perludem, Haykal, menyatakan keprihatinannya terhadap pelaksanaan PSU yang dinilai tidak sungguh-sungguh.

“Nah ini kan menjadi suatu hal yang cukup menyedihkan menurut saya. Bahwa PSU ini seharusnya menjadi ruang untuk mengoreksi proses pelaksanaan Pilkada, malah kemudian bermasalah juga. Sehingga berujung pada banyaknya sengketa yang kemudian dibawa lagi ke Mahkamah Konstitusi (MK),” ujarnya.

Pihaknya menyebut dari total 19 daerah yang menggelar PSU, tercatat 11 daerah mengajukan sengketa hasil ke MK. Totalnya terdapat 13 permohonan, dengan dua daerah — Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Banjarbaru — masing-masing menyumbang dua permohonan.

“Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan PSU tidak dilakukan secara maksimal dan berpotensi menghasilkan hasil yang juga dipertanyakan,” tambahnya.

Mahkamah Konstitusi dijadwalkan akan membacakan putusan terhadap tujuh permohonan pada Ahad (5/5) pukul 08.30 WIB. Enam diantaranya merupakan sengketa hasil PSU di Kabupaten Siak, Gorontalo Utara, Puru, Taliabu, Plotka, dan Petalau. PSU di daerah tersebut berlangsung dalam dua gelombang, yakni 28 Maret, serta 5 dan 9 April.

 

Kendati demikian, Perludem mengapresiasi respons cepat MK dalam menangani perkara-perkara sengketa PSU. “MK terlihat cukup responsif. Hal ini menunjukkan MK tidak ingin proses PSU ini berlarut-larut, karena daerah-daerah tersebut butuh kepastian hukum untuk kelangsungan pemerintahan.”

Lebih lanjut, ia menyebut ada enam pokok permasalahan yang dikemukakan para pemohon dalam gugatan sengketa PSU. Pertama, terkait keterpenuhan syarat calon kepala daerah. “Saya cukup terkejut karena hal ini masih menjadi masalah di PSU. Kalau sampai terbukti, bisa terjadi PSU ulang, atau istilahnya jadi ‘PSU-ku’, pemungutan suara ulang-ulang,” ujarnya.

Kedua, persoalan politik uang yang dilakukan secara langsung maupun terselubung, termasuk selama bulan Ramadan. “Beberapa kasus menunjukkan politik uang dibungkus dalam kegiatan safari Ramadan, bantuan masjid, dan sebagainya. Bahkan ada pola baru, yakni membayar pemilih agar tidak datang ke TPS.”

Ketiga, pelanggaran dalam proses pemungutan suara. Keempat, penyalahgunaan program pemerintah oleh petahana, seperti yang diputus MK dalam perkara Mahakam Ulu. Kelima, tindakan persekusi terhadap pemilih, yang bertujuan menghalangi kelompok tertentu datang ke TPS. “Ini hampir sama seperti politik uang, yaitu upaya membatasi partisipasi pemilih yang dianggap tidak mendukung pihak tertentu.”

Perludem menegaskan bahwa masalah-masalah tersebut tidak berbeda jauh dengan sengketa pasca pemungutan suara Pilkada 27 November 2024. “Ini menandakan bahwa kualitas pelaksanaan PSU belum mengalami perbaikan berarti. Kita berharap ke depan ada perbaikan sistemik agar PSU tidak lagi menjadi ruang pengulangan masalah,” katanya mengakhiri.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler