Jakarta Juga Pernah Masukkan 'Siswa Nakal' ke Barak, Bagaimana Hasilnya?
Anak terlibat tawuran di Jakarta dulu dijebloskan ke 'Sekolah Kodim' di Condet.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gagasan memasukkan anak-anak “nakal” ke barak militer untuk dididik sedianya bukan barang baru. Di tengah epidemi tawuran yang melanda Jakarta pada 1990-an silam, hal serupa pernah dijalankan. Apakah cara itu kemudian terbukti efektif?
Pada awal hingga pengujung dekade 1990-an itu, jalan-jalan di Jakarta laiknya medan perang bagi anak-anak SMK dan SMA. “Tiga tahun gue sekolah, hampir setiap hari tawuran. Waktu itu pergi sekolah seperti taruhan nyawa,” ujar Lembah yang bersekolah di salah satu SMK di Jakarta pada awal 1990-an.
Kala itu para siswa berjalan bergerombol dengan “basis” masing-masing. Segala senjata mematikan untuk tawuran disiapkan. Perkelahian dilakukan kerap kali tanpa ada sebab musababnya. Yang penting bertarung. Siswa-siswa di Jakarta berguguran di tepi-tepi jalanan.
Menelusuri arsip Republika, pada 1993, tentara turun tangan. Adalah Pangdam Jaya Mayjen TNI AM Hendropriyono yang kala itu punya ide untuk memasukkan para siswa terlibat tawuran ke barak. Program itu kemudian beken disebut Sekolah Kodim yang bertempat di Rindam Jaya di Condet, Jakarta Timur.
Gagasan sekolah Kodim itu muncul setelah ada kecaman atas penahanan para pelajar yang berkelahi atau terjaring razia senjata tajam. Ada kekhawatiran setelah keluar dari sel, siswa itu bukan kapok, tapi malah makin beringas. Dari situ timbullah ide mendidik mereka secara khusus di Kodam Jaya.
Nuansa belajar di sekolah yang merupakan program bersama Kanwil Depdikbud DKI, Pemda DKI, Bakolak Inpres, Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya itu berbeda dari sekolah lain. Gedung sekolahnya di markas ABRI, lama belajar hanya delapan hari dan tidak dipungut SPP. Pendidikan yang diberikan mencakup disiplin, olahraga, pelajaran baris berbaris dan Bela Negara.
Sejak awal rencana itu sudah memicu keberatan karena dinilai tak berbeda dengan penahanan siswa terlibat tawuran. "Silahkan saja mengkritik. Ini terbuka kok. Tujuannya juga mulia, untuk mengurangi kekacauan," kata Hendropriyono saat itu. Selama Hendropriyono menjabat, program itu terus dijalankan. Ratusan pelajar masuk barak. Kebanyakan anak-anak STM.
Apakah kemudian fenomena tawuran berhenti? Sebaliknya, perkelahian pelajar makin menjadi-jadi. Republika mencatat, pada Pameran Pembangunan Agustus 1995, tingkah laku para remaja di Jakarta itu jadi kerisauan utama. Di stan Polda Metro Jaya kala itu dipajang sebuah potret berukuran besar. Pengunjung pameran dibuat bergidik melihat potret yang dipajang di sisi pintu masuk itu.
Seorang remaja berseragam sekolah putih abu-abu tergeletak dalam posisi setengah tertelungkup. Bajunya yang putih menjadi dominan merah oleh darah dari luka-luka bacokan di sekujur tubuhnya. Tengkuk yang menjadi fokus pemotretan, terlihat luka menganga sepanjang setengah lingkaran leher dengan tulang menyembul. ''Luka bacokan celurit di tengkuk yang mematahkan tulang belakang itulah yang menewaskannya,'' kata penjaga stan.
Potret itu satu dari beberapa potret perkelahian pelajar yang dipajang polisi dalam pameran menyambut 50 Tahun Kemerdekaan Indonesia. “Kami sengaja memamerkan potret itu karena berniat menggugah para pelajar agar menghindari perkelahian antara sesama mereka sendiri. Paling tidak, mereka diingatkan akibat berkelahi yang sebenarnya tidak perlu mereka lakukan,'' kata Bambang Permantoro, kadispen Polda Metro Jaya kala itu.
Pemprov Jakarta mencatat saat itu sekitar 50 sekolah di Jakarta tergolong sebagai sekolah bermasalah, melonjak dari angka sebelumnya yang hanya delapan sekolah. Khususnya, karena sekolah-sekolah tersebut memiliki pelajar yang suka tawuran. Selama 1995, pelajar-pelajar dari 50 sekolah itu, melakukan tawuran dengan sekolah lain, minimal dua kali. Sebagian besar merupakan pelajar STM.
Data tersebut kontras dengan usaha pembinaan yang dilakukan BPKS (Badan Pembinaan Kenakalan Sekolah) di bawah naungan Pemda DKI. Badan ini telah memiliki sekitar 200 program kegiatan untuk membina anak sekolah. Baik kegiatan orang tua, guru, dan perbaikan dalam lingkungan sekolah itu sendiri. Namun disimpulkan, anak-anak bermasalah cenderung enggan mengikuti sekolah budi pekerti sebagaimana telah dilakukan Pemda DKI di kawasan Cibubur.
Guru besar psikologi Universitas Indonesia Prof Dadang Hawari saat itu menilai tindakan represif dengan mengadakan razia terhadap pelajar atau mengadakan Sekolah Kodim tak cukup. Menurutnya, akar masalah yang sesungguhnya harus dilihat dari kondisi masyarakat secara keseluruhan.
"Anak-anak remaja kita bukan anak-anak bodoh yang tidak tahu apa-apa," katanya. "Anak-anak itu juga melihat kemiskinan, kebodohan, kesenjangan sosial, dan ketidakadilan terjadi di sekitar mereka." Keadaan itu oleh Dadang dilihat sebagai penyebab anak-anak pelajar kehilangan pegangan. Tatanan kehidupan sosial, ekonomi, dan politik menjadi semakin tak jelas di mata mereka. Kita semua, kata dia, "sudah terkondisi dengan semua itu".
Datang SBY...
Pada 1996, Kepala Staf Kodam Jaya (Kasdam) Brigjen TNI Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya semacam mengakui bahwa Sekolah Kodim yang telah berjalan saat itu bukan cara yang paling efektif. Ia menyatakan pola baru perlu direncanakan sehingga dapat memberikan hasil maksimal kepada para pelajar yang terbina dalam sekolah itu.
''Nanti akan kita bahas berapa lama pendidikan dalam sekolah itu bisa membentuk pelajar yang baik. Termasuk lokasinya, bentuk pembinaan, dan siapa yang akan mengajar. Sekarang ini 'kan masih ada pro dan kontra tentang sekolah Kodim tersebut. Kita hanya ingin mencari jalan keluar paling baik,'' katanya pada April 1996.
Perwira yang nantinya terpilih sebagai presiden ke-5 Republik Indonesia itu menyatakan, pihaknya tengah membahas konsep menanggulangi perkelahian pelajar di Jakarta yang tak bersifat reaktif. SBY, ia dikenal kemudian, mengusulkan langkah yang cenderung kepada upaya pencegahan.
Diantaranya dengan pembenahan struktur sekolah, melengkapi sarana sekolah, pembenahan mekanisme waktu pelajaran yang memungkinkan para pelajar tidak lagi bebas berkeliaran, juga meningkatkan kepedulian pelajar terhadap lingkungan.
Menurutnya, pemecahan terhadap kenakalan pelajar, tak boleh melulu dengan cara menangkap mereka. Sebab, cara ini tidak memecahkan masalah. ''Pokoknya, kita akan mencari penyebab perkelahian para pelajar itu sampai kepada akar-akarnya,'' ucap Yudhoyono. Dia mendukung Operasi Kilat Jaya yang saat itu rutin dilakukan pihak kepolisian. Namun tindakan seperti itu, dinilai baru pada tindakan sebatas shock therapy.
Kesadaran serupa juga mulai diamini DPRD dan Pemprov Jakarta. Ketua DPD Golkar DKI Jakarta Tadjus Sobirin, misalnya, menyebutkan penyediaan sarana olahraga bagi anak-anak sekolah lebih penting. Pemprov DKI ia sarankan memperhatikan penyediaan sarana olahraga untuk pelajar agar energi berlebih mereka bisa tersalurkan. Selain itu, Tadjus juga mendesak agar Pemprov DKI memperbanyak bus reguler dan bus sekolah sebagai sarana angkutan para pelajar Jakarta.
Pada akhirnya, program Sekolah Kodim di Jakarta dihentikan sepenuhnya. Siswa yang digembleng melalui program itu pada Juli 1997 menjadi angkatan terakhirnya. Sepanjang pelaksanaannya, sekolah itu telah “meluluskan” sekitar 300 anak. Tawuran di Jakarta masih berlanjut setelah itu dan baru mereda memasuki milenium baru. Levelnya tak pernah lagi mencapai kebrutalan pada 1990-an.
Sartono Mukadis, psikolog ternama Universitas Indonesia yang berpulang pada 2009 lalu sejak lama juga mewanti-wanti, generasi muda adalah cerminan masyarakat tempat mereka tumbuh dan dibesarkan. Alih-alih menghakimi mereka, ajaklah berbicara dalam bahasa mereka. Saat diwawancarai Republika pada 1996, ia mengritik tajam soal kecenderungan penghakiman terhadap anak-anak muda.
“Sudahlah, orang-orang tua generasi pasca '45 jangan terlalu banyak omong. Beri kesempatan kepada generasi muda sekarang, generasi pascatrauma, untuk bicara. Mereka punya bahasa sendiri, jargon sendiri, mereka punya kebanggaan sendiri yang berbeda dengan kebanggaan yang dimiliki generasi lain. Berikan kepercayaan pada mereka untuk berbuat bagi bangsa dan negaranya. Jangan jadikan anak-anak komoditas politik, misalnya dengan mendirikan ormas-ormas kepemudaan, yang muaranya sebenarnya politis, hanya untuk mempertahankan kedudukan orang-orang generasi saya ini. Generasi ini, generasi yang tidak tahu apa-apa, tapi sok ngatur. Kita sendiri, para orang tua yang brengsek, kita ejek anak-anak kita brengsek.”