Model Legislasi Tripartit Mempermudah Proses Pembuatan UU
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar hukum tata negara, Refly Harun, mengatakan model legislasi tripartit yang dijalankan pascaadanya putusan MK akan memudahkan proses pembuatan undang-undang (law making process).
Menurut Refly, dengan adanya putusan MK tanggal 27 maret 2013, presiden, DPR, dan DPD seharusnya memiliki posisi yang sama. “Presiden seharusnya punya satu suara yang diwakili menteri-menterinya, DPR punya satu suara diwakili pokja atau panjanya, dan DPD punya satu suara diwakili pokja atau panjanya.” Kata Refly kepada RoL, Kamis (3/7).
Refly mengatakan, permasalahan yang muncul selama ini dalam pembahasan Undang-undang adalah DPR tidak satu suara. Dengan begitu, ketika pembahasan undang-undang dilakukan, DPR memiliki 9 suara dari 9 fraksi karena masing-masing fraksi memiliki suara yang berbeda.
“Ke depan fraksi-fraksi ini sebelum sepakat tidak perlu mengundang presiden dan DPD. Jadi harus ada kesepakatan internal dulu. Jadi nantinya presiden punya 1 suara, DPR juga punya 1 suara, DPD juga punya 1 suara.” kata Refly.
Menurut Refly, apabila fraksi-fraksi di DPR telah mempunyai kesepakatan internal, suara DPR dalam pembahasan undang-undang tidak lagi menjadi suara fraksi, melainkan suara lembaga. Dengan begitu, proses pembuatan undang-undang akan menjadi lebih mudah karena tidak melibatkan terlalu banyak pendapat.
“Pendapat yang muncul adalah pendapat masing-masing lembaga. Jadi ketika ketiganya bertemu nantinya sudah membawa standing opinion-nya masing-masing.” ujar Refly.
Dengan proses semacam ini, kata Refly, ke depan pembahasan undang-undang bisa hanya dilakukan oleh DPR dan DPD saja. “Ke depan malah presiden tidak perlu lagi ikut dalam pembahasan undang-undang. Karena suara presiden itu sudah dititipkan dalam agenda di DPR.” kata Refly.