MPR Bedah Buku tentang Pers

MPR
Ketua Badan Kajian MPR RI Bambang Sadono
Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Sosialisasi 4 Pilar MPR Bambang Sadono meluncurkan dua buah buku baru, belum lama ini. Satu buku diterbitkan bulan Januari 2017 dengan judul dan bahasan tentang pers di Indonesia oleh 60 Catatan Generasi Yang Lebih Senior dan 60 Catatan Generasi yanga Lebih Muda pada bulan Maret 2017. Bambang merupakan salah satu orang pers dan politikus yang terlibat langsung dalam pembuatan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Buku ini dibedah Selasa (4/4) di perpustakaan MPR.

Sekretaris Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Wina Armada Sukardi dalam tulisannya berjudul "Petarung dengan Strategi Cerdik" mencatat sekurang-kurangnya ada tiga peranan Bambang Sadono dalam pembentukan UU Pers. Pertama, dalam hal pertanggungjawaban pidana pers. Bambang Sadono berusaha keras agar dalam UU Pers juga diterapkan sistem pertanggungjawaban pidana murni, yakni siapa berbuat dialah yang harus bertanggung jawab.

"Pandangan ini wajar saja. Walaupun Bambang Sadono wartawan, latar belakang pendidikannya bidang hukum sehingga pola pikirnya sangat dipengaruhi oleh teori-teori dan asas-asas hukum," kata Wina yang pernah sebagai Sekretaris Jenderal PWI Pusat.

Kedua, adalah menghilangkan keinginan dari pihak pemerintah. Bambang Sadono dan anggota DPR RI lainnya kala itu kompak mengkhawatirkan kewajiban pendaftaran diri bagi perusahaan pers bakal menjadi alat pemerintah untuk memberedel kembali pers dengan alasan tidak ada atau tidak memenuhi syarat pendaftaran. Muncul pula kekhawatiran bahwa pendaftaran itu bakal menjadi alat oleh penguasa untuk mengekang kemerdekaan pers dengan mengubah kewajiban pendaftaran itu menjadi semacam lisensi wajib bagi pers.

Upaya Bambang Sadono dan kawan-kawan berhasil, tidak ada izin dan pendaftaran untuk perusahaan pers dalam UU. Itulah kelahiran salah satu anak dari rahim Reformasi yang kemudian tumbuh menjadi kemerdekaan pers.

Peranan Bambang Sadono yang ketiga yang menurut dia signifikan dalam proses UU Pers adalah dalam problematik penyiaran iklan rokok. Kala itu ada dua kutub besar yang saling berhadapan. Di satu pihak, ada gerakan yang sangat kuat agar iklan rokok dilarang total. Berbagai dampak negatif rokok menjadi alasan kubu ini untuk melenyapkan iklan rokok dari ranah media.

Pada pihak lain, ada industri rokok yang juga ngotot agar iklan rokok harus tetap diperbolehkan. Selain alasan ekonomi, juga bakal mematikan industri rokok terkait dengan larangan itu. "Ini dilema yang tidak ringan. Memilih salah satu pihak dapat merugikan pihak lain dan sebaliknya. Jadi, bak buah simalakama," kata Wina.

Bambang Sadono mengambil jalan tengah, yakni iklan rokok tetap boleh, tetapi dengan syarat tidak boleh ada peragaan bentuk rokok apa pun dalam iklan itu. Usulan pilihan inilah yang diterima dalam UU Pers.


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler