Pencipta Lambang Garuda dan Lagu Hari Merdeka Seorang Habib

Humas MPR
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid
Red: Budi Raharjo

REPUBLIKA.CO.ID,BOGOR -- Setelah membuka dan memberi pengarahan pada Sosialisasi Empat Pilar MPR RI di Universitas Ibn Khaldun Bogor, siang harinya, Kamis (24/8), Wakil Ketua MPR Dr Hidayat Nur Wahid tampil lagi di depan para santri tingkat SMA Pondok Pesantren Terpadu Darul Qur'an Gunung Sindur. Ponpes terletak di wilayah Bogor, Jawa Barat.

Di depan sekitar 200 siswa-siswi SMA Darul Qur'an, Hidayat tampil santai. Dia mengawali pengarahannya dalam bahasa Arab yang disambut hangat para santri. Tapi, kemudian Hidayat melanjutkan pidatonya dalam bahasa Indonesia diselingi bahasa Arab.

"Di siang hari ini, apa pun kondisinya, pendidikan kita tidak pernah kehilangan jati dirinya, melanjutkan apa yang menjadi tradisi," ujar Hidayat.

Menurut Hidayat, dari dulu yang namanya pendidikan keislaman sangat berpihak pada negara, menyelamatkan Indonesia dari penjajahan Belanda atau penjajah lainnya. "Begitulah sejarahnya," ucap Hidayat.

Maka siang ini, lanjut Hidayat, kita melanjutkan sejarah dengan peran yang sangat baik. Dan, kemudian dikokohkan kembali melalui sosialisasi Empat Pilar MPR. "Sosialisasi ini kita lakukan bukan karena MPR mencari-cari pekerjaan, tapi karena perintah Undang-undang (UU No 17 Tahun 2014)," ujar dia.

Sosialisasi yang sudah dilakukan sejak MPR dipimpin Hidayat (2004-2009) ini penting untuk mereka yang kadang lupa atau dibuat lupa karena ditutup-tutupi. Misalnya, siapa yang membuat atau memenangkan sayembara membuat lambang negara, Garuda Pancasila, atau pencipta lagu Hari Kemerdekaan.

Pencipta Garuda Pancasila adalah seorang habib yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW, dan seorang sultan dari Kerajaan Islam di Pontianak, Kalimantan Barat. Namanya, Sultan Abdul Hamid Alkadri. Sementara pencipta lagu Hari Kemerdekaan adalah Muhammad bin Husein Al Mutahar yang juga seorang habib.

"Inilah yang kadang dilupakan atau tidak diketahui sehingga pelajar kita, mahasiswa kita, para santri kita belum ketemu di mana relasi bangsa Indonesia dan umat Islam sehingga dengan mudah terjadi salah paham," kata dia. "Karena tidak ada dalam Alquran dan hadis, maka dianggap bid'ah, Republik Indonesia dianggap bid'ah. Padahal, tidak semua bid'ah."



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Maka, kata Hidayat, inilah yang harus dikoreksi. Supaya bangsa ini tidak salah jalan, tidak salah paham, yang kemudian mudah diajak menjadi radikalisme, komunisme, liberalisme, atau ateis. Sosialisasi ini dijalankan supaya warga bangsa Indonesia, khususnya umat Islam atau kalangan santri, paham betul bagaimana sistem di Indonesia dan bagaimana relasinya dengan umat.

"Serta bagaimana kita mengisi kemerdekaan Indonesia ini, supaya warisan perjuangan ini bisa kita jaga," ungkap Hidayat.


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler