Pemerintah Diminta Atasi Masalah Sebelum Buka Ajaran Baru

Pengamat menilai masih banyak kendala teknis dan psikologi iringi tahun ajaran baru

MPR
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai masih banyak kendala teknis dan psikologi iringi tahun ajaran baru
Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masih banyak kendala teknis dan psikologis dihadapi orang tua, guru dan murid dalam menghadapi tahun ajaran baru, di tengah belum terkendalinya Covid-19 di tanah air. Pemerintah diminta segera mengambil sejumlah langkah sebagai dasar pengambilan kebijakan yang tepat, guna terselenggaranya proses belajar mengajar yang aman dan memadai di tengah pandemi.


Sejumlah pendapat itu berkembang dalam diskusi online bertema Memahami Data Terpilah Covid-19 dan Mempersiapkan Kenormalan Baru Anak dalam Pandemi, yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (3/6).

Memberi sambutan dalam pembukaan diskusi tersebut, penggagas Forum Diskusi Denpasar 12, yang juga Wakil Ketua MPR RI bidang Penyerapan Aspirasi Masyarakat dan Daerah, Lestari Moerdijat. Dia berharap hasil diskusi yang melibatkan sejumlah pakar ini bisa jadi masukan bagi pemerintah dalam menyelenggarakan proses belajar mengajar di tengah wabah Covid-19. 

"Intinya agar generasi penerus bangsa mendapatkan pendidikan yang layak dan aman di masa pandemi," ujar Lestari.

Diskusi yang dipandu Staf Ahli Wakil Ketua MPR RI, Arimbi Heroepoetri itu diikuti 103 peserta dan menghadirkan narasumber yaitu, Ghafur Akbar Dharma Putra (Deputi 6 bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), Retno Listyarti, M.Si (Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia), dan Annelia Sari Sani, S.Psi (Psikolog, Ketua Satgas Ikatan Psikolog Klinis Indonesia untuk Penanggulangan Covid-19).

Selain itu juga menghadirkan Ratih Ibrahim (Psikolog, CEO & Founder Personal Growth), Prof. Dr Komaruddin Hidayat (Pendidik yang juga Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia),  dan Ahmad Baedowi AR (Pendidik, Ketua DPP Partai NasDem Bidang Kaderisasi dan Pendidikan Politik) sebagai panelis dalam diskusi tersebut.

Deputi 6 bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Ghafur Akbar Dharma Putra mengakui pihaknya memandang penting adanya data terpilah atau data yang lebih rinci di bidang pemberdayaan manusia.

Pengumpulan data, menurut Ghafur, tidak bisa lagi hanya dipilah menjadi dua bagian berdasarkan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi lebih rinci dari itu, jelasnya, bisa berdasarkan umur seperti, balita, remaja, dewasa, lansia, bahkan juga difabel atau tidak dan seterusnya. "Dengan data terpilah sejumlah kebijakan di bidang pembangunan manusia bisa diaplikasikan lebih tepat sasaran," ujarnya.

Dalam menghadapi sejumlah kendala di masa wabah Covid-19, tambah Ghafur, Kemenko PMK berkoordinasi lintas Kemenko dengan Kemenko Perekonomian yang mengurusi penerapan kenormalan baru.

Dengan pola koordinasi tersebut, jelas Ghafur, dibutuhkan sejumlah kajian antarinstansi untuk memutuskan sebuah kebijakan, termasuk dalam memutuskan pelaksanaan tahun ajaran baru di masa pandemi. Berdasarkan mekanisme tersebut, tambah Ghafur, pembukaan sekolah pada tahun ajaran baru akan menjadi pilihan terakhir.

Pendidik yang juga Rektor Universitas Islam Internasional Indonesia, Prof. Dr Komaruddin Hidayat berpendapat, proses pendidikan yang baik terjadi bila ada komunikasi yang baik antara orang tua dan guru. "Guru bermitra dengan orang tua dalam mendidik anak."

Dengan mengetahui apa yang dibutuhkan siswa, jelas Komarudin, guru atau sekolah dapat memberikan pola pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan anak. "Komunikasi yang baik antara guru dan orang tua sangat dibutuhkan dalam kondisi saat ini, dimana proses belajar perlu banyak penyesuaian di masa pandemi ini," ujarnya.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti mengungkapkan, hasil survei yang dilakukannya melalui akun facebook menunjukkan keinginan untuk segera masuk sekolah antara anak dan orang tua bertolak belakang. Sebanyak 63,7 persen anak menginginkan segera masuk sekolah karena jenuh dan tidak nyaman belajar jarak jauh, sisanya 36,3 persen menolak. 

Sebaliknya 66 persen orang tua menolak segera masuk sekolah, sisanya bersedia anaknya segera masuk sekolah. "Para orang tua mempertanyakan kesiapan infrastruktur sekolah menghadapi ancaman Covid-19, demikian juga dengan kekhawatiran penularan Corona yang terus bertambah," ujarnya.

Retno berharap pemerintah merespon kondisi tersebut dengan membuat kurikulum darurat, agar proses belajar di masa pandemi bisa memenuhi standar pendidikan yang memadai.

Ketua Satgas Ikatan Psikologi Klinis Indonesia untuk penanggulangan Covid-19, Annelia Sari Sani mengungkapkan, kekhawatiran menghadapi tahun ajaran baru dihadapi oleh banyak keluarga yang sumber penghasilannya terdampak Covid-19. Terganggunya perekonomian keluarga, menurut Annelia, berdampak pada tidak terpenuhinya kebutuhan anak untuk memenuhi persyaratan belajar jarak jauh."Kondisi ini mengganggu kesehatan mental anak dan orang tuanya," ujar Annelia.

Sementara itu, Ratih Ibrahim, psikolog yang juga CEO dan Founder Personal Growth menegaskan, kondisi ketidakpastian dalam menghadapi kenormalan baru menimbulkan kecemasan tersendiri bagi orang tua dan anak. Gangguan kesehatan mental menjadi ancaman orang tua dan anak dalam menghadapi masalah pendidikan.

Menanggapi banyaknya upaya penyesuaian di masa pandemi Covid-19 yang harus dilakukan oleh sekolah, Ketua DPP Partai NasDem Bidang Kaderisasi dan Pendidikan Politik, Ahmad Baedowi AR menegaskan harus ada politik anggaran yang mendukung kondisi tersebut. "Sesuaikan postur anggaran dengan kebutuhan dan ubah unit cost analysis anggaran pendidikan dari per anak menjadi per sekolah. Dengan begitu semua kebutuhan sekolah dapat direalisasikan dengan segera," ujar Baedowi.

Sementara itu jurnalis senior Saur Hutabarat melihat kecemasan yang dialami para orang tua menghadapi tahun ajaran baru di tengah wabah Covid-19, lebih karena tidak ada kejelasan soal jaminan keamanan terhadap anak-anak mereka, bila harus masuk sekolah.

Persyaratan epidemiologi belum menunjukkan aman, terkait Ro nya belum konsisten di bawah 1, tingkat kematian masih cukup tinggi.

Belajar dari pelonggaran saat dibukanya sekolah pascawabah Covid-19 di negara lain, menurut Saur, kalau pun semua persyaratan untuk membuka sekolah itu terpenuhi, pemerintah juga harus punya mekanisme 'pengereman' yang segera bila terjadi penularan baru di sekolah. Pemerintah harus punya mekanisme penutupan sekolah dengan segera dan mengaktifkan belajar jarak jauh kembali.

Agar sekolah dapat melakukan penyesuaian dengan kondisi pandemi Covid-19, dia sepakat dengan usulan Baedowi, agar pemerintah merevisi struktur anggaran pendidikan menggunakan unit cost analysis sekolah, bukan berdasarkan jumlah anak didik. "Dengan begitu sejumlah penyesuaian yang dibutuhkan sekolah bisa segera direalisasikan." 

Tanpa anggaran yang memadai, jelas Saur, semua rencana penyesuaian dalam bentuk kelancaran belajar jarak jauh, pengaturan jarak, tempat cuci tangan dan perlengkapan lainnya, sulit untuk direalisasikan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler