HNW Usul MPR Bentuk Mahkamah Kehormatan

Pembentukan Mahkamah ini sebagai respons kongkret atas kesepakatan MPR dengan KY

MPR RI
Wakil Ketua MPR RI dari F-PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW), mengusulkan agar MPR membentuk Mahakamah Kehormatan Majlis.
Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI dari F-PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW), mengusulkan agar MPR sebagai lembaga yang sudah membuat TAP MPR Tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, agar juga serius merealisasikan ketentuan soal etika tersebut. Salah satu caranya melalui pembentukan Mahkamah Kehormatan Majlis.

"Pembentukan Mahkamah ini juga sebagai respons kongkret atas kesepakatan MPR dengan Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang akan menyelenggarakan Konvensi Nasional ke II tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara," ujar HNW dalam siaran persnya, Kamis (13/8).

Baca Juga



MPR RI pada 2001, saat masih menjadi Lembaga Tertinggi Negara telah membuat TAP MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, harusnya memang tak ketinggalan dalam komitmen beretika. Salah satunya dalam pembentukan badan penegakan etika, karena DPR dan DPD, dua lembaga legislatif yang lain, malah sudah membentuknya.

DPR mempunyai Mahkamah Kehormatan Dewan, dan DPD mempunyai Dewan Kehormatan Dewan (DBD). Karenanya seharusnyalah bila MPR RI segera membentuk lembaga sejenis, misalnya dengan nama Mahkamah Kehormatan Majlis (MKM).

Memang semua anggota MPR adalah sekaligus anggota DPR atau anggota DPD. Tetapi ada berbagai kegiatan yang khas di MPR, diikuti oleh anggota MPR sebagai anggota MPR, dan itu tidak terdapat di DPR atau DPD. Misalnya kegiatan terkait sosialisasi 4 pilar MPR, kegiatan di Badan-badan MPR serta kegiatan terkait pelaksanaan hak MPR dan anggota MPR terkait pengkajian/pelaksanaan/perubahan terhdadap UUD, TataTertib MPR dan lain-lain.

Dengan pembentukan Mahkamah Kehormatan tersebut, MPR menghadirkan komitmen lebih kuat untuk melaksanakan berbagai ketentuan hukum yang dibuatnya sendiri, menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat MPR sebagai lembaga pemusyawaratan rakyat, dan marwah Pimpinan serta Anggotanya dan Lembaga MPRnya.

Sebagaimana diketahui, berbagai lembaga Negara telah memiliki lembaga penegak kode etik. Komisi  Yudisial (KY) telah memiliki  Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu  (DKPP ), DPR RI memiliki Makahamah Kehormatan Dewan  (MKD ), begitu juga DPD yang memiliki  Badan Kehormatan Dewan (BKD ), hingga Komite Etik/Dewan Pengawas KPK RI.

Dengan penegakan kode etik yang terdapat di berbagai lembaga negara tersebut, maka diharapkan para penyelenggara negara, termasuk di MPR, semakin terdorong untuk semakin amanah melaksanakan amanat rakyat, dan bisa meminimalisir kasus pelanggaran hukum yang bermula dari pelanggaran etik, sehingga berbagai kasus pelanggaran etik tak terjadi sehingga tak perlu lagi dihadapkan dengan peradilan umum.

Usulan HNW ini juga merupakan dukungan atas urgensi adanya Mahkamah Etik yang disampaikan oleh ketua MPR, Bambang Soesatyo, yang menyatakan bahwa ketiadaan Mahkamah Etik, orang yang diputus melakukan kesalahan etika oleh masing-masing penegak kode etik, mengajukan banding atau mencari keadilan ke peradilan umum, entah melalui Mahkamah Agung maupun PTUN. Padahal antara etika dan hukum, adalah dua hal yang berbeda. Orang yang bersalah secara etika, belum tentu bersalah di mata hukum. "Namun yang bersalah di mata hukum, sudah pasti bersalah di mata etika," ujarnya.

Landasan pembentukan Mahkamah Etik bisa mengacu kepada TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Dan langkah ini juga sejalan dengan rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Sidang Umum tahun 1996 yang merekomendasikan agar seluruh negara anggotanya, termasuk Indonesia, membangun 'ethic infra-structure in public offices', yang mencakup kode etik dan lembaga penegak kode etik. Indonesia telah merespon hal itu dengan membentuk berbagai lembaga penegak kode etik.

Mahkamah Etik atau Mahkamah Kehormatan MPR ini, oleh HNW diusulkan untuk bisa dibentuk dan dideklarasikan oleh MPR pada saat peringatan HUT MPR ke 75, 29 Agustus 2020. Dan bila terlaksana, maka hal itu akan jadi modal moral MPR saat akan terlibat lanjutkan pembahasan Pembentukan Konvensi Nasional ke II soal Ethika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, pada Oktober atau November 2020, yg oleh MPR RI akan diadakan bersama Komisi Yudisial (KY), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Dalam Konvensi tersebut, rencananya selain menghadirkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, juga menghadirkan berbagai pimpinan penegak kode etik. Dari mulai Ketua Komisi KY, Ketua DKPP, Ketua MKD DPR RI, Ketua BK DPD RI, Ketua Dewan Etik MK RI, Ketua KASN, Ketua Majelis Kehormatan PERADI, Ketua Majelis Etika Ikatan Notaris Indonesia, Ketua Dewan Pers, para Ketua Dewan Kehormatan masing-masing partai politik yang berada di DPR RI, serta lembaga penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung.

"Melalui konvensi tersebut diharapkan lahir berbagai gagasan dan kesepahaman tentang pentingnya keberadaan Mahkamah Etik. Dengan demikian mengurangi beban kerja penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan peradilan umum karena tak perlu lagi repot menangani masalah etika. Sehingga Indonesia bisa mencatat sejarah baru di dunia, sebagai negara yang memelopori penegakan etika secara transparan, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara," urai Bambang Soesatyo.

Mahkamah Etik akan menjadi ujung dari proses penegakan etik dan setiap putusan etika yang diputuskan berbagai penegak kode etik yang terdapat di lingkup MPR. Di sampiing itu, menurut HNW, keberadaan Mahkamah Etik MPR juga akan membentengi dan menyemangati MPR (Pimpinan dan Anggotanya) untuk lebih menjaga marwah mereka saat laksanakan tugas dari/di MPR, meningkatkan kepercayaan Rakyat thd MPR, juga sebagai bentuk pengamalan terhadap Pancasila, khususnya Sila I dan II, yang selalu disosialisasikan MPR,” pungkas HNW.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler