Cara Wujudkan 30 Persen Keterwakilan Perempuan di Parlemen
Perlu gerakan bersama wujudkan 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perlu sebuah gerakan yang didukung semua pihak dalam proses penguatan kebijakan afirmatif 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen.
"Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat luas terkait peran perempuan di berbagai bidang, termasuk di parlemen, perlu sebuah gerakan yang bisa mendobrak budaya patriaki yang menjadi pemahaman umum masyarakat saat ini," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat saat menjadi narasumber secara daring dalam Focus Group Discussion bertema Kebijakan dan Strategi Partai Politik pro Target 30 persen Perempuan di Parlemen - Road Map Keterwakilan Perempuan di Parlemen pada 2024, Selasa (27/10), lalu.
Acara FGD tersebut dihadiri peserta dari Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Komisi Pemilihan Umum, Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia, Perludem dan sejumlah perwakilan partai politik. Alasannya, menurut Lestari, seringkali terjadi lingkungan tidak mendukung meski kapasitas perempuan sudah memadai. Hal ini membuat perempuan enggan berpartisipasi.
Lestari yang akrab disapa Rerie itu menegaskan perlu dukungan semua pihak dalam mendorong peningkatan peran perempuan di berbagai bidang, termasuk di parlemen.
Partai politik dan Pemerintah, tegas Rerie, harus berkomitmen untuk mendorong peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen. Misalnya lewat revisi sejumlah kebijakan dan upaya pendidikan politik terhadap masyarakat secara luas.
Tujuan pendidikan politik itu, jelas Rerie,
untuk memberi pemahaman kepada masyarakat pentingnya peningkatan keterwakilan perempuan di berbagai bidang, termasuk peningkatan keterwakilan keanggotaan perempuan di parlemen.
Menurut Rerie, yang juga anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, kebijakan 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen mendesak untuk diwujudkan. Dalam sebuah politik gagasan, jelas Rerie, keragaman perspektif dalam pembentukan sebuah kebijakan, termasuk perspektif perempuan, sangat mempengaruhi kualitas kebijakan yang dihasilkan.
Rerie mengatakan, meski saat ini sudah ada kebijakan afirmasi dalam bentuk persyaratan pencalonan keanggotaan legislatif yang ditetapkan. Hal ini berupa 30 persen calon legislatif yang diajukan partai politik harus diisi perempuan. Hanya saja kebijakan afirmasi itu masih perlu sejumlah langkah penguatan.
Dari sisi kapasitas perempuan, misalnya, jelas Rerie, masih perlu peningkatan pengetahuan dalam bidang politik. Dengan kapasitas pengetahuan politik yang memadai, tambahnya, kehadiran calon legislatif perempuan tidak sekadar untuk pemenuhan persyaratan semata.
Rerie mengharapkan dukungan berbagai pihak, termasuk Pemerintah, dalam peningkatan kapasitas perempuan di bidang pengetahuan politik.
"Pemerintah mungkin bisa menjadikan jumlah perempuan dalam satu fraksi di parlemen sebagai salah satu persyaratan yang menentukan besaran alokasi dana untuk partai politik," tutur Rerie mengusulkan.
Tentu saja, tegas Rerie, yang tidak kalah penting dalam penerapan pendidikan politik perempuan adalah dukungan dan keberpihakan partai politik itu sendiri.
Menurut Rerie, dengan peluang adanya tambahan alokasi dana dan keberpihakan partai politik dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan politik perempuan, upaya pemenuhan 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen akan semakin terbuka.