KPU akan Evaluasi Profesionalitas Penyelenggara Pilkada 2020

Putusan MK banyak mengabulkan permohonan perkara perselisihan hasil pilkada.

Republika/Putra M. Akbar
Pelaksana tugas Ketua KPU RI Ilham Saputra (kanan)
Rep: Mimi Kartika  Red: Ratna Puspita

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan melakukan evaluasi terhadap jajaran penyelenggara Pilkada 2020. Hal ini berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang banyak mengabulkan permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) tahun 2020 dibandingkan pilkada-pilkada sebelumnya. 

Baca Juga


"Tentu ini akan menjadi bahan evaluasi bagi kami. Kami akan melaksanakan evaluasi di akhir bulan ini," ujar Pelaksana tugas Ketua KPU RI Ilham Saputra kepada Republika, Rabu (24/3). 

Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan sebagian atas 16 perkara dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya terhadap satu perkara sengketa hasil pilkada. MK memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) atas 16 permohonan dan penghitungan suara ulang untuk satu permohonan. 

Menurut Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, putusan MK tersebut menjadi indikasi kinerja yang tidak baik dari para penyelenggara pemilihan. Baik kinerja KPU maupun Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). 

"Tentu MK tidak akan putuskan adanya pemungutan suara ulang, penghitungan suara ulang, maupun diskualifikasi calon kalau seluruh kinerja penyelenggara pemilu kita sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada," ujar Titi kepada Republika, Rabu (24/3). 

Titi mengatakan, memang ada kecurangan dan pelanggaran prosedur yang ditemukan MK pada saat proses pemeriksaan perkara dalam persidangan. Kecurangan dan pelanggaran ini mencederai integritas pemilihan sehingga perlu dikoreksi melalui perintah pemungutan suara ulang. 

Kecurangan tersebut mulai dari penggunaan hak pilih lebih dari satu kali, daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak valid alias mencurigakan, penggunaan sistem noken yang tidak sesuai prosedur, maupun perlakuan terhadap surat suara dan kotak suara yang tidak sesuai ketentuan pemilihan. 

Dengan demikian, kata Titi, hasil penyelesaian sengketa pilkada di MK ini perlu menjadi evaluasi dan refleksi bagi penyelenggara pemilu. Khususnya KPU dan Bawaslu dalam meninjau ulang kinerja pada penyelenggaraan Pilkada 2020. 

Beberapa waktu lalu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyebutkan, prinsip profesional paling banyak dilanggar selama penanganan aduan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu periode Januari 2020 sampai 12 Maret 2021. Sebanyak 406 orang penyelenggara pemilu diadukan ke DKPP karena melanggar prinsip profesional pada tahapan pemilihan. 

"DKPP selalu mengingatkan penyelenggara di berbagai forum bahwa kalau tata kelola bisa dipersiapkan dengan baik dan diimplementasikan dengan baik maka potensi pelanggaran kode etik akan turun secara signifikan," kata Ketua DKPP Muhammad dalam rapat bersama Komisi II DPR RI belum lama ini. 

Sementara, kata dia, modus-modus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu paling banyak adalah perlakuan tidak adil, kelalaian proses pemilu, dan tidak melaksanakan tugas/wewenang. Ia mengatakan, sebaran jumlah teradu yang diputus DKPP paling banyak berada di Papua, disusul Sumatra Utara, di atas 50 orang. 

Muhammad memerinci, tahapan Pilkada 2020 yang banyak ditemukan pelanggaran antara lain proses pendaftaran pasangan calon. Kemudian, persoalan pembentukan badan ad hoc KPU maupun Bawaslu, penanganan laporan oleh Bawaslu, verifikasi dukungan pencalonan, serta penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan. 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler