REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Endro Yuwanto *)
Dampak krisis pandemi virus corona alias covid-19 sudah menyebar kemana-mana di segala sektor. Termasuk urusan perut. Pemotongan gaji hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah banyak menimpa para pencari nafkah.
Pemotongan gaji juga menimpa para pesepak bola di tengah berhentinya kompetisi liga. Pemotongan gaji pesepak bola memang sangat wajar dilakukan di tengah krisis corona. Klub-klub top di Eropa pun menerapkan hal yang sama. Tapi, yang berlaku di Indonesia, di kompetisi Liga 1 dan Liga 2, justru mencuatkan polemik.
Di Indonesia, gaji seluruh pemain dan ofisial dipangkas hingga 75 persen. PSSI lewat surat keputusan bernomor SKEP/48/III/2020 pada 27 Maret menyatakan, klub wajib membayar maksimal 25 persen dari nominal kontrak untuk periode Maret hingga Juni 2020. Keputusan ini diambil setelah operator kompetisi PT Liga Indonesia Baru (LIB) menerima usulan sejumlah klub dengan dalih kondisi force majeure karena wabah covid-19.
Namun, keputusan PSSI terkesan diambil sepihak karena tanpa terlebih dahulu berkoordinasi dengan para pemain yang tergabung dalam Asosiasi Pesepak Bola Profesional Indonesia (APPI) dan juga klub secara keseluruhan. PSSI sudah menerapkan aturan baku minimal 25 persen sebagai batas bawah gaji pemain. Artinya, tiap pemain hanya berhak mengantongi 25 persen dari gaji semestinya.
Hitung-hitung kasarnya, ambil rata-rata pemain Indonesia misalnya mendapat kontrak Rp 200 juta selama semusim. Dengan metode pembayaran di Indonesia, si pemain biasanya akan mendapat uang muka sebesar 25 persen atau sekitar Rp 50 juta, sisanya Rp 150 juta dibayar per bulan selama semusim atau sekitar 10 bulan. Sehingga pemain hanya akan mengantongi Rp 3,75 juta di masa penangguhan kompetisi. Memang, ada pemain yang dikontrak lebih tinggi tapi banyak juga yang dikontrak dengan nilai lebih rendah, misalnya para pemain di Liga 2.
Segelintir pemain mengaku pasrah. Sudah sejak lama, para pemain Indonesia memang tidak berani angkat bicara. Sehingga wajar jika tidak terdengar keluhan atau protes dari para pemain saat gajinya dipotong secara besar-besaran. Sementara, sebagian lainnya yang tak berani bersuara mengandalkan APPI sebagai corong untuk protes.
APPI tak tinggal diam. Mereka mempertanyakan pemotongan gaji sebesar 75 persen yang diberlakukan klub-klub di Indonesia berdasarkan surat keputusan dari PSSI. Bahkan, APPI juga melaporkannya ke Federasi Internasional Asosiasi Pesepak Bola Profesional (FIFPro) sebagai asosiasi pemain profesional internasional.
Setelah mendapat laporan, FIFPro pun heran dengan keputusan PSSI yang turut campur dengan kebijakan gaji pemain akibat pandemi covid-19. Hal semacam itu dinilai tidak lazim di sepak bola internasional. Federasi tidak boleh ikut campur dalam negosiasi gaji karena hal tersebut sudah memasuki wilayah klub dan pemain. Bahkan, Federasi Sepak Bola Dunia (FIFA) yang mengeluarkan pedoman di tengah pandemi covid-19 juga menyatakan hal seperti itu.
Dalam laman resminya, FIFA menyadari pandemi virus corona berdampak besar pada pemasukan klub. Hal itulah yang membuat FIFA sangat mendorong klub dan pemain untuk bekerja sama menemukan kesepakatan keluar dari masalah tersebut.
Di belahan dunia lain, termasuk di Asia Tenggara, Indonesia tidak sendirian menerapkan aturan pemotongan gaji untuk pemain. Dua negara sepak bola besar lainnya di Asia Tenggara, Thailand dan Malaysia, juga menerapkan hal yang sama. Hanya saja, terjadi perbedaan cukup mencolok di dalamnya.
Di Malaysia dan Thailand, kebijakan pemotongan gaji sempat mendapatkan pertentangan dari para pemain. Namun, pihak federasi belum menentukan nominal resmi mengenai pemotongan gaji, meski sama-sama sepakat kompetisi dihentikan. Walau masih menimbulkan pertentangan antara klub, asosiasi pemain, dan liga, pemotongan gaji tetap dilakukan secara mandiri. Alhasil, tiap-tiap klub di sana menerapkan persentase yang berbeda-beda sesuai kesepakatan dengan pemain.
Pemangkasan gaji memang menjadi ide lumrah di tengah krisis finansial yang dialami klub-klub, termasuk di Indonesia. Terlebih hampir semua klub di Tanah Air tak memiliki aset. Mereka hanya mengandalkan sponsor dan berharap dari hak siar. Plus dari penjualan tiket yang kadang tak seberapa. Namun, pemangkasan gaji pemain 75 persen tak lantas bisa dimaklumi begitu saja.
PSSI sendiri telah mendapatkan surat dari FIFPro yang mempertanyakan kebijakan dalam pemotongan gaji tersebut. FIFPro, dalam surat bertanggal 4 April 2020, meminta penjelasan PSSI mengapa keputusan tersebut dikeluarkan tanpa berdiskusi dengan pemain melalui asosiasi pemain domestik, dalam hal ini adalah APPI. Ini tidak sejalan dengan praktik di tingkat internasional, seperti FIFPro yang selalu berdialog dengan FIFA dan Federasi Sepak Bola Asia (AFC). FIFPro pun meminta PSSI untuk segera menindaklanjuti situasi tersebut.
Sekarang bola ada di tangan PSSI untuk membuka jalan tengah berupa dialog atau musyawarah secara tripartit dengan klub dan pemain. Memang, dialog langsung tidak mudah dilakukan sekarang ini dalam kondisi pandemi covid-19 di Tanah Air. Meski demikian, pasti ada cara untuk bisa mempertemukan semua pihak dengan memanfaatkan teknologi.
Bisa dibilang, kesalahan terjadi di awal pengambilan keputusan karena pemain sebagai obyek tidak dilibatkan. Andaikan dilibatkan dari awal dan sudah menjadi kesepakatan bersama, tentu tidak akan terjadi penolakan. Karena itu sudah menjadi kesepakatan bersama dan para pemain sebenarnya juga paham dengan kondisi klub. Ini seperti masalah klasik lainnya yang kerap terjadi di Indonesia. Hanya masalah komunikasi.
*) Jurnalis Republika Online