REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sunarsip
Pada 14 April, Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan rilis terkait outlookekonomi dunia. Dalam outlook-nya yang berjudul "The Great Lockdown" tersebut, IMF memproyeksikan ekonomi dunia pada 2020 akan mengalami kontraksi sebesar -3,0 persen, jauh lebih buruk dibanding ketika krisis keuangan 2008-2009 yang hanya terkontraksi -0,1 persen.
IMF memperkirakan, the great lockdownsaat ini akan menjadi resesi terburuk sejak the great depressionpada era 1930-an. IMF memperkirakan kerugian kumulatif selama 2020 dan 2021 terhadap produk domestik bruto (PDB) global mencapai 9 triliun dolar AS, lebih besar dibandingkan gabungan PDB Jepang dan Jerman.
IMF juga memberikan sinyal bahwa ekonomi dunia berpotensi pulih pada 2021. IMF memper kirakan ekonomi dunia pada 2021 dapat tumbuh 5,8 persen. Hanya, IMF memberikan beberapa catatan agar pemulihan dapat terjadi pada 2021.
Pertama, pandemik Covid-19 berakhir pada semester kedua 2020. Kedua, kebijakan yang diambil pemerintah di setiap negara dalam meminimalisasi dampak Covid-19 terhadap pencegahan kebangkrutan pada korporasi, pengangguran (jobless), dan stabilitas sistem keuangan berjalan efektif.
Upaya mencegah kebangkrutan di sektor korporasi (swasta dan BUMN) memang perlu menjadi perhatian bagi pemegang otoritas ekonomi. Ini mengingat, kebangkrutan di sektor korporasi dapat me nim bulkan dampak turunan (multiplier effect) yang luas.
Kebangkrutan korporasi akan berdampak pada turunnya PDB, bertambahnya pengangguran, tingginya gagal bayar (default) utang korporasi, dan peningkatan kredit bermasalah di perbankan (nonperforming loan). Selanjutnya, kebangkrutan korporasi ini berpotensi mengganggu stabilitas keuangan dan meluasnya krisis ekonomi.
Sejarah membuktikan krisis multidimensi di Indonesia pada 1997-2000 di dalamnya disebabkan pula oleh akibat adanya kebangkrutan massal di korporasi. Krisis ekonomi saat itu awalnya baru sebatas krisis akibat depresiasi nilai tukar rupiah yang sebenarnya dampaknya masih relatif kecil pada 1997.
Namun, korporasi sedang mengalami kesulitan keuangan akibat kebutuhan valuta asing (valas) yang tinggi, terutama untuk membayar utang luar negeri (ULN). Pasokan valas yang terbatas menyebabkan lonjakan depresiasi nilai tukar rupiah yang selanjut nya berdampak pada kebangkrutan korporasi secara masif dan akhirnya berdampak sistemis pada sistem keuangan.
Belajar dari berbagai pengalaman krisis sebelumnya, wajar bila IMF memberikan perhatian tinggi terhadap upaya pencegahan kebangkrutan korporasi agar ekonomi mampu pulih pada 2021. Pertanyaannya, lalu bagaimana upaya otoritas ekonomi kita dalam mencegah kebangkrutan korporasi ini?
Lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor's (S&P) pada akhir Maret lalu merilis outlook-nya terkait prospek korporasi di tengah Covid-19. Hasilnya, S&P banyak melakukan penurunan (downgrade) outlook terhadap korporasi di sejumlah negara. Korporasi di Asia Pasifik menghadapi tantangan lingkungan ekonomi yang sama buruknya dengan kondisi pada 1997. Perekonomian Cina memang mulai kembali ke kondisi normal, tetapi masih bergerak lambat.
Sementara, kenaikan penyebaran Covid-19 yang tajam di Asia (di luar Cina) diperkirakan akan memukul sisi permintaan (demand). Korporasi yang paling terdampak (highly-impacted) selama Covid-19 ini meliputi penerbangan, otomotif, perhotelan, produk konsumer, gaming, ritel, bahan bangunan, pertambangan, perminyakan, dan infrastruktur transportasi.