REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Tamsil Linrung*)
Perekonomian dunia di ambang resesi. Tak ada negara yang bisa menghindari krisis kali ini. Merata. Semua kena dampaknya. Tak terkecuali Indonesia.
Yang dapat dilakukan adalah meminimalisir dampak resesi. Terutama terhadap masyarakat bawah. Namun pemerintah gamang. Kesulitan memilih skala prioritas di antara banyak opsi yang harus diambil. Dalam waktu yang super singkat.
Kegamangan itu bahkan terlihat sejak awal ketika diperhadapkan pada opsi lockdown atau membiarkan aktivitas seperti biasa karena alasan menjaga perputaran roda ekonomi. Apalagi sebelum kasus Corona Virus Desease 2019 atau Covid-19 diumumkan, pemerintah bahkan melakukan manuver untuk menggenjot sektor ekonomi. Menyiapkan anggaran jumbo untuk diguyurkan ke sektor pariwisata. Dengan insentif fiskal sebesar Rp 4,1 triliun. Termasuk Rp 298,5 miliar khusus menarik wisatawan asing.
Di sini sebetulnya terbaca alam pikir pemerintah. Dua bulan yang lalu, ketika China, Korea Selatan hingga Jepang mulai geger Corona, sektor ekonomi justru prioritas pemerintah. Sama sekali tak ada mitigasi Corona. Pemerintah malah terkesan meremehkan. Dengan berbagai statement yang bernada guyonan.
Pada pertengahan Februari, pemerintah bahkan bereaksi keras. Menantang hasil penelitian pakar Epidemiologi Harvard Profesor Marc Lipsitch yang menyatakan bahwa Corona sudah terdeteksi di Indonesia. Padahal, bila saja informasi itu direspons sigap, situasinya tentu bisa dikendalikan dengan meminimalisir dampak sejak awal.
Faktanya, kini semua berbalik 180 derajat. Ambyar, istilah anak muda sekarang. Virus mematikan itu kadung mewabah. Tersebar di banyak daerah. Dalam kurun waktu kurang dari sebulan. Dengan kenaikan jumlah kasus signifikan dari hari ke hari. Meski banyak pihak meragukan kredibilitas data yang diekspos pemerintah itu.
Dan bisa ditebak, sektor ekonomi termasuk kena dampak paling parah. Pemerintah, melalui Menteri Keuangan sudah bisa menerawang bahwa ekonomi akan mengalami crash landing. Aktivitas bisnis, produksi, hingga pusat-pusat konsumsi seperti mal dihentikan seketika. Social distancing demi meredam dan memutus mata rantai penyebaran si virus mematikan.
Kenneth S. Rogof Ekonom Harvard mengatakan, ini akan jadi induk dari segala krisis keuangan. Ekonomi akan meluncur ke titik terburuk dalam 100 tahun terakhir. Lembaga-lembaga kredibel internasional sudah merilis prediksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini. Menurut JP Morgan, ekonomi global akan tumbuh minus 1,1%, lalu Economist Intelligence Unit memprediksi minus 2,2%, serta IMF memprediksi minus 3%.
Resesi pasti terjadi. Tinggal kedalaman dan daya rusaknya belum terbaca. Akan berbeda di setiap negara. Secara alamiah, situasi ini mengukur dan menguji kapasitas pemerintah. Di berbagai level. Baik pusat maupun daerah. Tentu saja tidak mempan dipoles.
Karena itu, publik, rakyat, perlu terlibat mengawasi agar penggunaan anggaran dilakukan secara transparan, terukur dan efektif. Hentikan semua proyek-proyek fisik dan pengeluaran tidak esensial. Kecuali yang terkait langsung untuk menyelamatkan kebutuhan dasar masyarakat. Pusatkan anggaran untuk menghentikan laju penyebaran Corona dan meminimalisir dampak terhadap perekonomian.
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) adalah alarm pertama dari sebuah krisis. Sebelum membentuk rentetan dampak turunan yang mengerikan. Dan gelombang PHK itu sudah terjadi. Seperti dilansir Kementerian Tenaga Kerja, hampir dua juta pekerja yang di-PHK dan dirumahkan.
Pada saat yang sama, anggaran pengaman sosial Kartu Prakerja yang dirilis pemerintah justru menuai kritik. Salah sasaran. Bukan saja dibutuhkan oleh mereka yang baru lulus dan akan masuk ke industri kerja, namun tak kalah penting bagaimana anggaran tersebut dapat diperoleh oleh jutaan masyarakat yang telah terkena PHK. Apalagi, pemerintah menganggarkan Rp20 triliun untuk program Prakerja.
Persoalannya, program tahap awal sebesar Rp5,6 trilun bukan dinikmati sepenuhnya oleh masyarakat yang berhak. Tapi sebagian besar malah masuk ke kantong-kantong penyedia layanan (vendor) materi pelatihan online yang di antaranya merupakan perusahaan milik Staf Khusus Presiden.
Hal ini mengingatkan kepada kita terhadap siklus kejatahan terhadap keuangan negara dan skandal anggaran yang kerap terjadi dalam situasi krisis. Sudah banyak tercatat dalam sejarah. Mulai dari BLBI pada krisis 1998 hingga skandal Century pada krisis 2008.
Yang disayangkan, polemik anggaran tersebut melibatkan anak-anak muda yang tadinya kita harapkan menjadi penjaga moral kekuasaan. Dari pemberitaan kita juga tahu, ternyata bukan cuma satu atau dua orang yang tersandung masalah conflict of interest. Namun ada tiga stafsus muda. Dan patut dicatat, tak ada dalih yang dapat membenarkan praktik nepotisme itu.
Ini satu catatan merah terkait penggunaan anggaran yang telah direalokasi dengan konsiderasi Perppu No 1 2020 yang keabsahannya digugat. Sebab perubahan terhadap APBN dilakukan tanpa melibatkan legislatif yang oleh UUD NKRI 1945, DPR mendapatkan mandat budgeting (Hak Budget). Peniadaan pembahasan APBN-P dengan alasan efesiensi adalah sebuah kekeliruan yang fatal. Apalagi jika disertai asumsi bahwa APBN tidak mengalami perubahan dalam siklus pembahasannya.
Kalaupun itu terjadi, maka tetap harus diputuskan dalam pembahasan APBN-P yang putusannya adalah APBN-Perubahan disepakati 'Tidak Mengalami Perubahan'. Kenapa? Karena pembahasan APBN-P adalah suatu keniscayaan sebagai amanat UUD NKRI 1945.
Tidak bisa dipungkiri, bahwa asumsi makro pasti akan mengalami perubahan dalam siklus enam bulanan, bahkan pernah terjadi kurang dari itu termasuk ketika terjadi tsunami di Aceh. Perubahan APBN ketika terjadi tsunami di Aceh (ketika itu saya menjadi anggota Banggar, dan beberapa kali hal serupa terjadi ketika saya memimpin Banggar), itu hanya dilakukan dalam kurun waktu kurang dari 3x24 jam.
Saat ini tidak bisa dihindari APBN-P mestilah diajukan pemerintah. Dengan adanya kebutuhan penanganan Covid-19. Juga terutama perubahan asumsi makro yang diakibatkan oleh turunnya harga minyak, penerimaan pajak yang meleset jauh, dan perubahan-perubahan lain berakibat terjadinya pertumbuhan ekonomi yang diprediksi minus.
Maka tidak ada jalan lain kecuali harus dilakukan perubahan APBN melalui mekanisme APBN-P. Bila tidak, maka ini bisa menjadi tumpukan pelanggaran yang bisa menjadi jalan terjadinya impeachment. Pemerintahan Jokowi saat ini, tidak lagi dalam posisi seperti di periode awal pemerintahannya yang sangat berhasil dalam melemahkan DPR dan mendapat koor dari masyarakat sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah yang begitu banyak menaruh harapan atas janji-janji politiknya.
Apalagi, pelanggaran terhadap konstitusi tersebut juga diikuti oleh salah urus kepentingan kebutuhan dasar masyarakat dan mencuatnya rasa ketidakadilan. Seperti salah sasaran anggaran Prakerja dan kasus pengistimewaan pengemudi transportasi online yang mendapat harga promosi BBM dari Pertamina, hingga harga BBM dan tarif listrik yang mestinya turun di tengah anjloknya harga minyak dunia. Belum lagi beban masyarakat terhadap iuran BPJS, yang tiga bulan berjalan tagihannya tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 terkait Jaminan Kesehatan tentang kenaikan iuran Per 1 Januari 2020.
Jika akumulasi ketidakadilan ini semakin membesar, ada saatnya rakyat kehilangan kesabaran. Maka, sudah cukup Pak Presiden. Jangan biarkan situasi ini berkelanjutan. Sebab kini mulai terjadi arus balik kesadaran publik. Yang bila ini terus menerus diabaikan, maka berisiko terhadap situasi kehidupan berbangsa kita.
*) penulis adalah Senator Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia