REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Selamat Idul Fitri. Idul Fitri tahun ini kita lewati dengan sedikit berbeda, tidak ada shalat jamaah Idul Fitri, tak ada silaturahim atau halal bihalal. Tentu saja tidak ada jalan-jalan ke tempat rekreasi mengingat semua tempat wisata ditutup selama pandemi covid-19.
Bicara jalan-jalan, salah satu tempat favorit warga Jakarta saat Lebaran adalah Taman Impian Jaya Ancol (TIJA) di Jakarta Utara. Pada tahun-tahun sebelumnya, pengunjung sampai membludak selama sebulan setelah Lebaran. Bisa mencapai jutaan orang.
Hal demikian juga terjadi di tempo doeloe. Sampai tahun 1960-an selama Lebaran warga ramai-ramai rekreasi ke Zandvoort, yang oleh lidah Betawi disebut ‘sampur’. Jaraknya sekitar 3 km dari Ancol, dan hanya 1 km dari stasion Kereta Api Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Ancol, yang kini tempat rekreasi paling banyak menyedot pengunjung, kala itu masih hutan belukar dan sarang monyet. Hingga kendaraan yang lewat harus perlahan-lahan dan ekstra hati-hati, karena monyet-monyet sering berhamburan keluar. Banyak yang percaya para monyet itu memiliki seorang pemimpin yang dijuluki ‘si kondor’. Tentu saja kini tidak satu pun monyet yang tersisa. Bahkan, semak belukar sudah jadi hutan beton.
Ulama Kondang almarhum KH Abdullah Syafe’ie, melalui radio Asyafi’iyah pada tahun 1970-an dan 80-an, sering menyindir bahwa monyet-monyet di Ancol sekarang bukan lagi berupa binatang tapi manusia yang tingkah lakunya lebih jelek dari binatang.
Maksud sindiran ulama Betawi itu, karena di malam hari para hidung belang dan WTS menjadikan kawasan Ancol sebagai tempat indehoi. Tanpa mengenal malu dan takut akan dosa, mereka melakukan maksiat di pasir tepi pantai, hanya dialingin sebuah pantai. Konon, sekarang ini lebih berani lagi.
Ancol sebagai tempat maksiat dikenal jauh sebelumnya. Dikisahkan, playboy kaya raya Oey Tambahsia dan sejumlah warga tajir lainnya sering bersenang-senang di Ancol. Mereka memiliki soehian (semacam rumah pelacuran) tempat berpesiar dengan para harem (wanita). Bahkan, di salah satu vilanya itu, konon si mata keranjang Oey Tambahsia membunuh seorang gadis yang jadi korbannya.
Kemudian, gadis itu diidentikan sebagai Ariah yang hilang sekitar tahun 1870/1871. Ia meninggal dan jasadnya hilang, setelah menolak hendak diperkosa di sebuah vila di Ancol. Ia kemudian dikenal sebagai ‘Si Manis dari Jembatan Ancol’, yang pada malam hari sering keluar dan menggoda laki-laki, khususnya para sopir yang lewat jembatan.
Kisah itu telah berkali-kali disinetronkan, bahkan pernah difilmkan. Oleh perusahaan film Sarinande dengan produsen dan sutradara Turino Djunaedi dan pemeran utama Lenny Marlina, Farouk Afero dan Kris Biantoro.
Dalam tahun 1950-an, surat kabar Ibukota sering memberitakan kecelakaan lalu lintas yang meminta korban manusia di Jembatan Ancol. Berita-berita burung menyebutkan kecelakaan itu berkaitan dengan munculnya tiba-tiba seorang gadis ayu dekat jembatan Ancol.
Si gadis bahenol terkadang berdiri di tepi jembatan dan terkadang melintasinya. Karena konsentrasi sopir terganggu, mobilnya menabrak pohon. Tidak heran, kala itu para pengemudi bila melewati jembatan ini harus beri kode: membunyikan klakson atau menyalakan lampu sen.