REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyebaran informasi keliru seputar Covid-19 tampak kian masif menyebar menjelang era Normal Baru. Meski isinya tampak tak masuk akal, hoaks terus saja dibagikan, salah satunya melalui grup Whatsapp.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD K-GEH pun mengupas sejumlah hoaks yang banyak disebarkan masyarakat. Melalui siaran Instagram Live melalui akun Instagram pribadinya @dokterari, ia menjelaskan faktanya.
Hoaks: Buka masker tiap 10 menit agar tidak hipoksia
Sebuah hoaks menganjurkan agar orang-orang yang menggunakan masker selama pandemi Covid-19 untuk membuka masker mereka setiap 10 menit. Hal ini dianjurkan agar tidak mengalami hipoksia.
Fakta: Masker bedah sudah dirancang sedemikian rupa agar penggunanya bisa bernapas dan terhindar dari hipoksia. Masker bedah biasanya dianjurkan untuk diganti setelah enam jam penggunaan karena efektivitas perlindungan dari masker sudah menurun.
Masker N95 pun aman digunakan selama sesuai anjuran. Akan tetapi, masker N95 tidak dianjurkan untuk masyarakat awam, melainkan untuk petugas yang berkontak langsung dengan pasien positif Covid-19.
Membuka masker tiap 10 menit justru akan membuat permukaan masker lebih mudah terkontaminasi oleh sentuhan tangan. Padahal, masker tidak boleh dipegang-pegang selama digunakan. Membuka masker tiap 10 menit justru dapat meningkatkan risiko penularan Covid-19.
Dalam penggunaan masker, Prof Ari menyarankan agar masyarakat menggunakan masker sesuai dengan anjuran. Selain itu, masyarakat sebaiknya menghindari masker yang tidak sesuai dengan bentuk wajah dan memberikan perasaan tidak nyaman.
"Gunakan masker yang pas dan membuat nyaman. Tidak benar bahwa orang memakai masker bisa sebabkan hipoksia," ungkap Prof Ari.
Hoaks: Pasien meninggal bukan karena Covid-19
Beberapa pihak ada yang memberikan informasi bahwa penyebab pasien-pasien Covid-19 meninggal bukanlah Covid-19. Informasi ini sangat keliru.
Fakta: Prof Ari mencontohkan, seorang pasien terinfeksi SARS-CoV-2 dan mengalami peradangan paru. Setelah itu, dia mengalami infeksi pada paru atau pneumonia lalu terjadi gagal napas. Peradangan yang luas membuat pasien tersebut memerlukan bantuan ventilator.
Prof Ari mengatakan pasien tersebut mungkin meninggal karena gagal napas. Akan tetapi, gagal napas yang dialami pasien terjadi karena pasien tersebut mengalami Covid-19 akibat terinfeksi SARS-CoV-2.
Contoh lainnya, pasien Covid-19 mungkin meninggal akibat masalah peradangan pada jantung. Masalah ini juga terjadi karena pasien tersebut terkena Covid-19.
"Kalau mau dilihat dari ujungnya, itu kan terjadi dari (infeksi) virus (SARS-CoV-2)," tutur Prof Ari.