REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Prof DR Effendi Gazali, Peneliti Ilmu Komunikasi
Satu halaman daftar perjalanan wartawan bersama Menteri Kelautan & Perikanan (KKP) 2014-2019, Susi Pudjiastuti, tiba-tiba beredar di media sosial beberapa hari ini. Lembaga saya, Komisi Pemangku Kepentingan & Konsultasi Publik (KP2) memiliki data tersebut secara lengkap, puluhan halaman, setidaknya 2017 sampai 2019. Humas KKP pasti memilikinya. Dan banyak bagian di KKP memiliki data tersebut. Atau data itu terkesan sebagai rahasia umum. Namun tidak pernah terlontar keluar.
Saya pribadi, berada pada posisi: data tersebut tidak tepat untuk dilempar ke medsos! Karena ia tidak diberi konteks yang jelas, atau keterangan yang lengkap. Ia seakan-akan sebuah pamflet gelap. Apalagi ia terkesan sebagai upaya "balas dendam" terhadap karikatur wajah menteri KKP yang dimuat sebuah majalah.
Andaikanlah marah pada sebuah majalah, kenapa seluruh media diserang. Kemarahan inipun seperti tidak melihat esensi laporan investigatif yang tidak hanya ditampilkan satu media. Tambahan lagi, orang "bodoh" mana yang berani melawan wartawan dalam jumlah besar?
TEORI KLASIK
Tulisan ini mencoba melihat sisi lainnya. Berkisar pertanyaan klasik tentang penampilan utuh media (Media Performance) di depan penguasa, pasar, pengusaha, iklan, humas, dan semua pemangku-kepentingan lain.
Ada puluhan pertanyaan yang bisa melahirkan diskusi demi kebaikan dunia jurnalisme. Tentu bukan pertanyaan semacam: apakah wartawan boleh diundang menyertai perjalanan seorang pejabat publik? Tentu saja sangat boleh. Pertanyaan yang lebih relevan: apakah seorang wartawan boleh terus-menerus berkali-kali, selama bertahun-tahun, menyertai seorang pejabat publik kemana-mana?
Wajarlah, untuk perjalanan wartawan yang mendapat undangan dari pejabat publik, pasti akan ada budget. Dan kalau budgetnya resmi, sesuai Standar Biaya Umum (SBU) Peraturan Menteri Keuangan, tentu tidak ada masalah. Setiap tahun budget ini dimutakhirkan dan publik bisa mengakses standar itu. Baik mengenai standar pesawat, hotel, transpor lokal, keperluan harian, dan sebagainya.
Dalam praktiknya, bisa muncul pertanyaan: apakah perlu dibedakan antara wartawan yunior dengan pemimpin redaksi? Atau antara wartawan dari media yang banyak khalayaknya dengan media biasa saja? Itu juga bukan pertanyaan yang hakiki. Yang prinsipil justru pertanyaan: apakah penggunaan dana publik ini dicatat secara semestinya sebagai biaya yang dikeluarkan oleh kementerian atau pejabat publik? Artinya, karena menggunakan dana publik, maka setiap saat bisa diminta untuk dilihat oleh publik.
Ini membuka horison baru. Banyak skripsi, tesis, disertasi, riset, bisa lahir dari kumpulan data ini. Misalnya menganalisis, sekiranya ada korelasi antara undangan pada wartawan, biaya iklan atau pariwara, dengan tingkat popularitas seorang pejabat publik.
Ini berarti, mulai sekarang setiap kementerian, pemda, atau institusi publik, sebaiknya siap-siap menjelaskan kepada publik jika ada yang meminta dan menganalisis data tersebut. Kalau semuanya sah dan tertib, tentu tak perlu ada yang gelisah.
WARTAWAN & KONSULTAN
Waktu berlalu kencang sampai ke Era Posmodernis bahkan Postruth dan seterusnya. Tapi posisi wartawan masih berada pada kedudukan "luhur" , setidaknya relatif ditinggikan dari profesi lain. Wartawan diharapkan independen, senantiasa membawa suara publik. Berbeda dengan konsultan, yang bekerja untuk seseorang atau institusi secara profesional.
Bukan berarti seluruh wartawan akan langsung berbeda pendiriannya ketika selalu atau berkali-kali diajak berjalan bersama menteri. Dalam daftar yang beredar itu, amat banyak wartawan yang sangat saya HORMATI karya-karyanya, dan saya anggap TIDAK AKAN terganggu kredibilitasnya dengan pengungkapan data publik apapun.
Di sisi lain, pada suatu titik nanti, baik wartawan maupun konsultan, harus teliti sekiranya ada anggaran dianggap melebihi standar kementerian keuangan. Itu betul-betul harus direkonfirmasi bukan dari dana publik. Atau katakanlah, asalnya dana pribadi.
Pada beberapa konsultan, perjanjian atau pakta integritas ini merupakan pasal yang dicantumkan secara khusus. Tidak boleh dari dana publik atau gratifikasi! Itu pun masih tak ada jaminan. Misalnya ketika belakangan timbul kasus bahwa seorang pejabat publik ternyata menggunakan gratifikasi dari rekanan proyek untuk membiayai survei dan lain-lain. Setidaknya akan ditanya-tanyalah seperti beberapa lembaga survei/konsultan selama ini.
Tak lama lagi, seperti di beberapa negara maju, publik mengharapkan para pejabat publik menyediakan data yang mudah diakses mengenai berapa dana publik yang digunakan untuk perjalanan dengan wartawan, kehumasan, bahkan konsultan.
Namun di antara semua profesi itu, sekalipun angka-angka perjalanannya jelas dan boleh pula pergi berkali-kali selama bertahun-tahun, rasanya wartawan punya posisi lebih khusus di hati publik. Mereka diharapkan tetap paling independen, senantiasa objektif, dan tekun mempertanyakan kewajaran penggunaan dana publik. Justru demi marwah wartawan itu sendiri di tengah persimpangan arus zaman.