Sabtu 30 Jan 2021 09:43 WIB

Transformasi Ekonomi Syariah

Kita bisa melihat duet Jokowi dan Erick Thohir dalam perspektif lintasan sejarah.

Fachry Ali
Fachry Ali

Oleh : Fachry Ali, Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU) Indonesia

REPUBLIKA.CO.ID, --- “Konsolidasi bank-bank syariah BUMN, harus kita lihat sebagai usaha transformatif Erick Thohir mengonsolidasikan kekuatan finansial kalangan Islam, dari artifisial menjadi substansial.”

Apa sebenarnya yang dinantikan sejarah di dalam konteks umat Islam Indonesia? Pertanyaan ini berkaitan dengan berita Republika (25 Jan 2021) tentang terpilihnya Erick Thohir sebagai ketua umum Masyarakat Ekonomi Syariah.

Baca Juga

Lepas dari segi label “ekonomi syari’ah”, kemunculan Erick Thohir ini seperti menjawab panggilan sejarah awal abad ke-20, ketika Sarekat Islam didirikan pada 1912. Gerakan ini, sebagaimana yang kita lihat dalam sejarah, tergerakkan oleh kesadaran ketertinggalan ekonomi di kalangan umat Islam. 

Sadar bahwa perjuangan kemajuan ekonomi ini tak memadai digerakkan dari “bawah”, sebagaimana telah dicoba Sarekat Dagang Islam (SDI) yang dirikan Haji Samanhudi pada 1905, Sarekat Islam memberi warna “politik” pada gerakan kemajuan ekonomi umat ini. 

Dalam arti kata lain, karena persoalan struktural, gerakan ekonomi itu harus mempunyai payung “kekuasaan” untuk mencapai efektifitasnya.

Studi lebih lanjut memang masih harus dilakukan untuk mengetahui dengan lebih terang dampak Sarekat Islam terhadap kemajuan ekonomi umat. 

Untuk sementara, kita bisa mengatakan bahwa sejak saat itu, walau dalam skala yang tak memadai, telah terjadi transformasi pengorganisasian aktivitas ekonomi di kalangan umat. 

Gerakan koperasi aneka produksi komoditas yang menjadi program Sarekat Islam bisa kita lihat sebagai bagian dari kemamuan transformatif pengelolaan sumberdaya ekonomi. 

Ini penting kita tekankan karena secara keselurahan, perekonomian umat Islam kala ini itu masih berlatar belakang agraris. Dampak negatif Sistem Tanam Paksa pemerintah kolonial (1830-70) secara hipotetis masih dirasakan umat pada awal abad ke-20 itu. Yaitu, seperti dinyatakan Clifford Geertz dalam Agricultural Involution (1964), dunia agraria tetap menjadi tumpuan ekonomi masyarakat sebagai akibat dari urbanization without industrialization (urbanisasi tanpa industrialisasi). 

Dalam arti kata lain, walau urbanisasi tetap terjadi, absennya industrialisasi telah menyebabkan penduduk desa di kawasan pertanian tak terserap sebagai angkatan kerja di wilayah perkotaan. 

Sebagai akibatnya, pertumbuhan pesat penduduk di wilayah agraria harus ditanggapi dengan apa yang disebut Geertz sebagai shared poverty (berbagi kemiskinan).

Dalam kendala struktural semacam inilah Sarekat Islam melancarkan gerakannya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement