Kamis 25 Mar 2021 02:10 WIB

Tanggapi Kesehatan Mental dengan Empati

Seseorang harus berempati ketika menghadapi orang membuka diri soal kesehatan mental.

Ilustrasi.
Foto: Pixabay
Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secuplik video berisi komentar juri terhadap kontestan acara Indonesia Next Top Model yang membuka diri soal depresi di masa lalu menjadi perbincangan warganet yang sebagian menganggap juri tidak peka. Psikolog klinis dewasa Muthmainah Mufidah, M.Psi. mengatakan, seseorang harus berempati ketika menghadapi orang yang membuka diri soal masalah kesehatan mental.

"Bayangkan kalau kita yang ada di posisi itu bagaimana? Ini bisa membuat kita lebih hati-hati merespons," kata Co-founder Arsanara Development Partner kepada Antara Rabu (24/3).

Ia pun menyarankan untuk menanggapinya dengan menggunakan kata-kata netral atau kata-kata yang sudah disebut oleh orang tersebut ketika menceritakan masalahnya tanpa menambahkan pandangan pribadi kita. "Misal, 'Oh kamu saat itu sedang merasa enggak enak ya, didiagnosa gangguan depresi.' Mengulangi perkataannya juga bisa menjadi tanda bahwa kita mendengarkan dengan baik," jelas psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Bila ingin bertanya mengenai hal tersebut, ajukanlah pertanyaan terbuka agar dia punya ruang untuk bercerita. Sebaiknya jangan membuat pertanyaan yang hanya mengundang ruang untuk Anda berkomentar.

Ketika mulai mendengarkan cerita orang yang sedang membuka diri, hindarilah konfrontasi, membantah atau melawan. Sebab, langkah pertama dari penanganan kesehatan mental adalah menyadari dan menerima. Akan lebih baik bila Anda membantu orang tersebut menerima kondisinya, bukan melakukan konfrontasi.

"Karena untuk menerima saja sudah tidak mudah, apalagi jika lingkungan menyudutkan, membantah. Di terapi memang ada teknik konfrontasi ini, tapi dilakukan oleh profesional dan disesuaikan dengan kondisi kliennya juga setelah assessment," kata dia.

Jika memang Anda tak tahu respons yang tepat, lebih baik bicara jujur dan mengatakan bahwa Anda bukan ahli dan tidak berpengalaman. Anda juga bisa menawarkan bantuan apa yang bisa diberikan, atau tanyakan respons yang diharapkan dari diri kita. "Karena kebutuhan orang kan berbeda-beda dan tujuan bercerita juga bisa beda-beda."

Tidak perlu langsung memberi petuah di awal. Sebab, belum tentu itu yang dibutuhkan oleh orang yang bercerita. Lagipula Anda, kata dia,  pun belum mengetahui cerita yang seutuhnya. Bila ingin memberikan saran, minta izin terlebih dahulu kepada orang tersebut, atau berikan bila memang diminta.

Langkah selanjutnya adalah arahkan untuk berkonsultasi ke psikolog atau psikiater untuk mendapat bantuan secara profesional. Satu hal yang tak kalah penting adalah tidak merespons dengan gurauan. "Hindari bercandain ya. Karena ini masalah serius dan lagi-lagi kita tidak tahu cerita utuhnya dan proses dia di balik itu," ujarnya.

Bersikap hati-hati dan peka penting ketika menanggapi soal kesehatan mental. Sebab berbeda dari luka fisik, luka batin tidak terlihat dari luar. Proses penyembuhannya pun tidak bisa dilihat secara jelas seperti luka fisik.

Oleh karena itu, mengonfrontasi secara langsung bukan respons yang bijak. Meski sudah sembuh atau membaik, tetap ada kemungkinan gangguan itu terpicu muncul kembali.

Dia berharap orang-orang bisa lebih bijak dalam menanggapi masalah kesehatan mental dan tidak serta merta meniru bentuk respons yang kurang baik.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement